Pernah melihat gambar sepasang angsa yang saling menautkan kepala dengan  leher membentuk amor atau hati? Gambar itu sangat populer karena dianggap menyimbolkan romantisme.Â
Penggunaan hewan angsa sebagai objek tentu bukan tanpa alasan. Angsa dianggap sebagai hewan monogami, yang hanya punya satu pasangan seumur hidupnya.
Ada sepuluh hewan lagi, selain Angsa, yang dikenal setia hanya kepada satu pasangan. Hewan tersebut adalah burung Merpati, burung Albatros, Ketam Ladam, Buaya, ikan France Angel, Penyu, Rayap, Tikus Padang Rumput, Serigala, dan cacing Schistosoma Mansoni.Â
Sekalipun pasangannya meninggal atau menghilang, hewan tersebut tidak akan pernah kawin lagi.
Manusia tentu bukan hewan. Jika hewan hidup hanya mengandalkan insting, manusia lebih dari itu, bahkan nyaris sempurna sebagai makhluk.Â
Akal, yang disematkan Tuhan kepada manusia menjadikan makhluk dari tanah ini mampu berkreativitas dalam segala hal, termasuk kreatif dalam berkehendak. Tidak heran kalau manusia dianggap bisa lebih buas dari binatang.
Apakah 'kebuasan' itu yang menyebabkan justru manusia dianggap sebagai makhluk yang taksetia kepada pasangannya? Sudah terlalu banyak kasus ketidaksetiaan itu hadir di depan kita, di media massa, di ruang publik, bahkan di dalam rumah kita. Kasus itu hadir dalam beragam latar dan model sebagai sebuah keniscayaan yang takbisa dipungkiri.
Jika hewan yang hanya mengandalkan insting itu mampu menjadi model kesetiaan, sementara manusia tidak. Lantas apa sebabnya.Â
Pepper Schwarts (72) seorang profesor Sosiologi di University of Washington di Seattle menyatakan kalaupun manusia berkomitmen untuk hidup bersama satu orang hingga maut menjelang, hal itu bukan bawaaan ataupun sifat dasar. Melainkan tuntutan sosial.
Saya jadi teringat tentang posisi manusia sebagai makhluk holistik. Manusia dalam konsep ini sebagai makhluk yang terdiri dari unsur biologis, psikologis, sosial, dan spritual, atau sering disebut makhluk biopsikososialspritual.Â
Keempat unsur ini tidak dapat terpisahkan dan saling mempengaruhi. Wajar jika ada pertarungan kekuatan antarunsur tersebut saat akan mengeksekusi sebuah keinginan.
Peran manusia sebagai makhluk sosial sepertinya mendukung teori Schwarts di atas. Tersebab terikat oleh norma sosial dan agama yang berlaku di masyarakat tempat di mana mereka tinggallah, maka manusia 'terpaksa' harus menjadi setia.Â
Apalagi beberapa daerah punya spesifikasi adat tersendiri menyangkut 'kesetiaan' ini, sehingga membolehkan warganya berpoligami.
Ada fenomena menarik bahwa kecenderungan manusia untuk tidak setia pada satu pasangan itu disebabkan adanya gen 'selingkuh' di dalam tubuh manusia. Dalam rantai DNA ada gen DRD4 yang bertugas memproduksi hormon dopamin.Â
Mereka yang memiliki variasi DRD4 akan terbuka secara sosial dan suka mengambil risiko tinggi. Termasuk bercinta di luar komitmen pernikahan.
Ada lagi yang terkait dengan sistem kerja otak manusia. Menurut biological anthropologist Dr. Helen Fisher (72) dalam series Love, manusia memiliki tiga ketertarikan terhadap pasangan, yaitu ketertarikan seksual, romantis, dan kasih sayang.Â
Yang bermasalah adalah ketertarikan ini merujuk ke orang yang berbeda-beda sehingga seseorang bisa menginginkan dua orang sekaligus, satu hasrat seksual, satu soal romantika cinta dan komitmen bersama.
Yang terakhir adalah romantika rumput tetangga. Dampak psikologi "rumput tetangga jauh lebih hijau" menjadi fenomena tersendiri dalam ketidaksetiaan.Â
Ada studi komparatif setelah melihat rumput tetangga lebih cantik atau ganteng, lebih perhatian, lebih seru, lebih ini itu, dibanding di halaman sendiri. Hal itu dipaksa dijadikan pembenaran tindakan ketidaksetiaan.
Yang menarik, persoalan ketidaksetiaan kepada pasangan ini telah melahirkan sejumlah istilah yang sangat populer. Bahkan lebih populer dari kasus sebenarnya yang terjadi. Wanita Idaman Lain (WIL), Pria Idaman Lain (PIL), Selingkuh, sampai Perebut Laki Orang (Pelakor) dan Perebut Bini Orang (Pebinor) ini lebih lekat diingatan publik daripada pokok perbuatannya.
Di luar persoalan gen dan ini itu, masih ada yang bisa 'menyelamatkan' tragedi ketidaksetiaan ini, yaitu pengendalian diri. Klise, memang. Mampukah kita mengendalikan alam bawah sadarnya agar tak sekadar menggunakan insting hewan, tetapi juga akal manusia?
Jangan pedulikan peringatan ini: "Waspadalah, perselingkuhan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tetapi karena kita masih laku!" ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H