Akhirnya terang sudah wilayah abu-abu yang selama ini diembuskan. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Senin, 26/8/2019, telah mengumumkan dengan resmi wilayah yang akan dijadikan ibukota baru republik ini.Â
Tiga wilayah nominasi yang awalnya diembuskan, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, akhirnya memunculkan satu unggulan, Kalimantan Timur. Adalah kabupaten baru Penajam Paser Utara (PPU) dan kabupaten lama Kutai Kartanegara (KK) yang akhirnya menjadi pilihan.
Tentu ini pilihan yang sudah diperhitungkan secara matang dan bukan main-main. Apalagi menurut keterangan dari Bappenas, mereka sudah melakukan kajian pemilihan ibukota baru ini sejak tiga tahun lalu. Kita tidak meragukan sedikit pun para ahli yang telah menelaah baik buruknya pemilihan tempat di sebuah daerah untuk dijadikan ibukota.Â
Mereka, dengan ilmu pengetahuan dan pengalamannya, pasti punya indikator yang dijadikan dasar penetapannya. Dan presiden, dengan legalitasnya, punya kewenangan untuk memutuskan itu.
Penetapan PPU dan KK sebagai bakal ibukota baru negeri ini, menurut Jokowi, didasarkan pada lima alasan. Pertama, Â risiko kebencanaan di dua wilayah tersebut kecil, jarang terjadi bencana banjir, gempa bumi, tsunami dan kebakaran hutan.Â
Kedua lokasi dua kabupaten tersebut dianggap strategis karena berada di tengah-tengah Indonesia. Ketiga, dua wilayah tersebut berada di wilayah perkotaan yang sudah berkembang. Keempat ialah dua wilayah tersebut dianggap sudah memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Dan kelima di dua wilayah tersebut pemerintah sudah memiliki tanah seluas 180 ribu hektar.
Sebagai orang awam dan sangat mencintai negeri ini, saya sangat mafhum dengan kelima alasan tersebut. Kabupaten PPU yang seluas 3.333 km misalnya, berdasarkan topografinya, Â berada di ketinggian antara 0-500 m diatas permukaan laut. Wilayahnya didominasi perbukitan dan dataran di wilayah bagian barat. Demikian juga, KK yang seluas 27.263 km, Â berada di ketinggian antara 500 hingga 2.000 m di atas permukaan laut.Â
Sebagian besar bergelombang dan berbukit dengan kemiringan landai sampai curam. Pada wilayah pedalaman dan perbatasan pada umumnya merupakan kawasan pegunungan. Berdasarkan data yang ada, kedua kabupaten yang bersisian itu memang tidak pernah dilanda bencana alam dalam skala besar.
Posisi kedua kabupaten itu juga memang strategis karena berada di tengah-tengah Indonesia. Pengertian posisi di tengah-tengah Indonesia ini memang masih relatif. Tidak bisa sekadar dengan melipat kertas peta hingga bertemu titik yang paling tengah. Pasti ada ukuran koordinatnya. Sementara selama ini, titik tengah Indonesia itu diakui berada di desa Umpungeng. yang terletak di 100 km sebelah utara kota Makassar dan 10 km sebelah barat daya ibukota Kabupaten Soppeng.Â
Desa ini dijuluki "posi'na tanae" yang dalam bahasa bugis berarti pusar atau pusat tanah. Untuk sementara, alasan bahwa kedua kabupaten bakal ibukota baru itu, yaitu Kabupaten PPU dan KK, atau pulau Kalimantan pada umumnya memang secara fisik berada di tengah di antara pulau-pulau lain di wilayah kesatuan NKRI. Jarak rata-rata ke seluruh provinsi di Indonesia dianggap cukup pendek, yakni rata-rata 893 kilometer.
Keuntungan yang melekat dari Kabupaten PPU dan KKÂ adalah karena satu tanah dan berdekatan dengan dua kota besar Samarinda dan Balikpapan. Samarinda, sebagai ibukota Kalimantan Timur merupakan kota terbesar di seluruh wilayah Kalimantan.Â
Samarinda sudah memiliki infrastruktur sebuah kota modern yang dilengkapi dengan pusat perdagangan dan sarana lainnya. Begitu pula kota Balikpapan, kota kedua terbesar setelah Samarinda ini telah menjadi pusat industri dan bisnis dengan perekonomian terbesar di Kalimantan.Â
Kedua kota yang sudah mempunyai akses jalan tol ini juga mempunyai bandara internasional masing-masing. Jadi, penetapan bakal ibukota pada kedua kabupaten di dekat dua kota besar ini pasti akan mempercepat pengembangannya menjadi ibukota yang modern dan berdaya saing.
Tersedianya lahan seluas 180 ribu hektar untuk lahan ibukota baru di kedua kabupaten itu pasti bukan masalah. Apalagi menurut presiden, lahan seluas itu memang milik pemerintah. Artinya, tidak akan mengorbankan lahan milik rakyat.Â
Ada ketakutan akan rusaknya hutan lindung dan lahan konservasi, seperti Bukit Soeharto, yang memang milik pemerintah, menjadi bagian dari 180 ribu hektar itu. Namun, dari pernyataan Bappenas bahwa 180 ribu hektar itu adalah ruang terbuka hijau, termasuk hutan lindung. Tidak semuanya dijadikan infrastrukur pembangunan ibukota baru. Jadi masih ada yang akan menjadi hutan kota.
Lepas dari itu semua, ada satu hal yang tidak diungkapkan oleh presiden dalam pengumuman wilayah ibukota baru di Kabupaten PPU dan KK itu. Satu hal itu adalah apakah kedua wilayah itu, atau provinsi Kalimantan Timur pada umumnya, termasuk daerah bebas suku, ras, maupun agama? Sama diketahui bahwa perpindahan ibukota dari Jakarta ke kedua kabupaten itu bukan hanya memindah status ibukota dan memindah bangunan fisik, seperti istana, perkantoran kementerian dan fasilitas publik lainnya, tetapi juga memindah manusianya. Justru persoalan memindah manusia ini yang harusnya mendapat perhatian khusus juga.
Ada sekitar 1 juta atau lebih Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Jakarta akan turut pindah ke ibukota baru. Mereka adalah para pegawai, dari pejabat negara sampai pegawai biasa. Dan perhitungannya menjadi lebih banyak karena tiap 1 orang ASN itu akan membawa anggota keluarganya. Dengan rasio 1 ASN mempunya 1 istri dan 3 anak, maka rata-rata  1 ASN akan membawa 3 anggota keluarga, total menjadi 4 orang.Â
Berarti ada 4 juta lebih warga yang akan boyongan ke Kabupaten PPU dan KK. Belum lagi para pegawai swasta dan wiraswata dari bank, lembaga, dan perusahaan penunjang pemerintahan. Menurut perkiraan, total ada 5 juta orang akan datang dan menghuni wilayah di ibukota baru. Dan mereka berasal dari bermacam suku bangsa dan agama.
Persoalan yang paling krusial kelak adalah apakah kehadiran jutaan warga baru itu pasti akan membawa pengaruh terhadap warga setempat dan penduduk asli di wilayah setempat? Tentu, akan ada kekhawatiran, walaupun kita berdoa agar tidak terjadi, akan ada benturan antar suku dan agama. Bagaimana pun kedatangan jutaan ASN dan keluarganya itu adalah kedatangan para pegawai pusat yang bisa saja akan menimbulkan kecemburuan, baik karena sikap arogan - karena merasa orang pusat, atau pun karena ketidakmampuan beradaptasi dengan situasi, adat, dan budaya warga setempat. Hal semacam ini bisa menimbulkan percikan api yang jika tidak diantisipasi sejak rencana pemindahan ibukota ini sampai pelaksanaannya nanti.
Sepanjang sejarah, Kalimantan Timur termasuk daerah yang rawan konflik, baik konflik suku, ras, maupun agama. Data dari Polda Kalimantan Timur Tahun 2013, seperti dikutip TribunNews Balikpapan, berdasarkan hasil pemetaan potensi konflik sosial  tercatat sebanyak 199 potensi konflik ada di wilayah ini. Konflik terdiri dari jenisnya, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya (Ipoleksosbud) 109 kasus.Â
Kemudian 16 kasus SARA, sumber daya alam terdapat 54 kasus, dan kasus batas wilayah telah dipetakan sebanyak 20 kasus. Peringkat pertama paling banyak konflik terjadi di daerah Kabupaten Kukar dengan 67 kasus Ipoleksosbud, satu kasus SARA, kasus SDA sebanyak enam dan dua kasus batas wilayah.
Kasus-kasus yang terjadi seperti data di atas timbul dari arus bawah yang menyebar secara luas. Contoh beberapa kasus SARA lebih mengedepankan emosi sesaat tetapi akibatnya meluas karena bersinggungan antaretnis. Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur, seperti dikutip SindoNews, menyebutkan, isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) masih rentan terjadi di daerah ini. Isu ini menjadi pontensi paling tinggi kerawanan sosial di masyarakat.Â
Pihaknya memetakan bencana sosial di masyarakat termasuk daerah mana saja yang rawan. Pemetaan daerah rawan bencana sosial dilakukan di lima kabupaten dan kota di Kaltim yakni Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Paser dan Kabupaten Kutai Barat.
Tentu data tersebut tidak bisa dianggap enteng. Kehadiran orang orang baru, yang menjadi 'penguasa' di wilayah mereka, pasti akan menjadi perhatian. Apa yang dilakukan para pendatang, yang sebenarnya untuk bekerja, tetap akan berdampak kepada persoalan lingkungan, tenaga kerja, dan ekonomi. Akan ada perbedaan mencolok dalam segala hal antara pendatang dengan penduduk setempat jika tidak tidak ada kesiapan menerima perbedaan. Hal hal semacam ini bisa menjadi rumput kering yang akan mudah diperciki api konflik karena akan muncul anggapan terjadi ketimpangan sosial. Tentu pemerintah pusat, dalam hal ini, pihak Bappenas, khususnya Presiden harusnya juga mempelajari dan menyiapkan antisipasinya.
Jika boleh sekadar menyesalkan, terlepas dari lima hal yang menjadi dasar penunjukkan Kabupaten PPU dan KKÂ di Provinsi Kalimantan Timur sebagai bakal ibukota baru negeri ini, seperti yang disampaikan presiden.Â
Begitu juga seandainya bakal ibukota itu ditetapkan di Provinsi Kalimantan Tengah, atau Kalimantan Barat, atau pun Kalimantan Utara, maka satu satunya yang bebas rawan konflik hanyalah di Provinsi Kalimantan Selatan.Â
Provinsi dengan luas wilayah paling kecil, yaitu hanya 37.530,52 km dibanding 4 provinsi lainnya ini, belum pernah punya catatan adanya konflik suku, ras, dan agama. Padahal semua suku dan agama mendiami wilayah ini, baik di perkotaan, desa, pegunungan, maupun pesisir. Dan Provinsi Kalimantan Selatan dengan populasi penduduk 3,7 juta jiwa, terbanyak dibanding 4 provinsi lainnya justru tetap menjadi daerah terbuka, tetapi tetap damai.
Bisa jadi kelebihan Kalimantan Selatan hanya satu, yaitu wilayah bebas konflik. Walaupun, lima hal yang menjadi dasar penetapan bakal ibukota baru itu kalau dikaji-kaji sebenarnya juga bisa dipenuhi oleh provinsi ini.Â
Hanya, menurut penilaian Bappenas, Â kadarnya mungkin masih lebih banyak dimiliki Provinsi Kalimantan Timur, dalam hal ini Kabupaten PPU dan KK. Yang perlu digarisbawahi adalah lima hal yang menjadi dasar itu akan berantakan dan menjadi lemah kalau tiba-tiba terjadi konflik suku, ras, maupun agama di wilayah itu. Ibukota baru (seharusnya) bebas rawan konflik. Sayangnya pemerintah tidak menjelaskan soal ini sebagai alasan yang keenam. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H