Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ibu Kota Baru (Harusnya) Bebas Rawan Konflik

4 September 2019   19:59 Diperbarui: 5 September 2019   09:07 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samarinda sudah memiliki infrastruktur sebuah kota modern yang dilengkapi dengan pusat perdagangan dan sarana lainnya. Begitu pula kota Balikpapan, kota kedua terbesar setelah Samarinda ini telah menjadi pusat industri dan bisnis dengan perekonomian terbesar di Kalimantan. 

Kedua kota yang sudah mempunyai akses jalan tol ini juga mempunyai bandara internasional masing-masing. Jadi, penetapan bakal ibukota pada kedua kabupaten di dekat dua kota besar ini pasti akan mempercepat pengembangannya menjadi ibukota yang modern dan berdaya saing.

Tersedianya lahan seluas 180 ribu hektar untuk lahan ibukota baru di kedua kabupaten itu pasti bukan masalah. Apalagi menurut presiden, lahan seluas itu memang milik pemerintah. Artinya, tidak akan mengorbankan lahan milik rakyat. 

Ada ketakutan akan rusaknya hutan lindung dan lahan konservasi, seperti Bukit Soeharto, yang memang milik pemerintah, menjadi bagian dari 180 ribu hektar itu. Namun, dari pernyataan Bappenas bahwa 180 ribu hektar itu adalah ruang terbuka hijau, termasuk hutan lindung. Tidak semuanya dijadikan infrastrukur pembangunan ibukota baru. Jadi masih ada yang akan menjadi hutan kota.

Lepas dari itu semua, ada satu hal yang tidak diungkapkan oleh presiden dalam pengumuman wilayah ibukota baru di Kabupaten PPU dan KK itu. Satu hal itu adalah apakah kedua wilayah itu, atau provinsi Kalimantan Timur pada umumnya, termasuk daerah bebas suku, ras, maupun agama? Sama diketahui bahwa perpindahan ibukota dari Jakarta ke kedua kabupaten itu bukan hanya memindah status ibukota dan memindah bangunan fisik, seperti istana, perkantoran kementerian dan fasilitas publik lainnya, tetapi juga memindah manusianya. Justru persoalan memindah manusia ini yang harusnya mendapat perhatian khusus juga.

Ada sekitar 1 juta atau lebih Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Jakarta akan turut pindah ke ibukota baru. Mereka adalah para pegawai, dari pejabat negara sampai pegawai biasa. Dan perhitungannya menjadi lebih banyak karena tiap 1 orang ASN itu akan membawa anggota keluarganya. Dengan rasio 1 ASN mempunya 1 istri dan 3 anak, maka rata-rata  1 ASN akan membawa 3 anggota keluarga, total menjadi 4 orang. 

Berarti ada 4 juta lebih warga yang akan boyongan ke Kabupaten PPU dan KK. Belum lagi para pegawai swasta dan wiraswata dari bank, lembaga, dan perusahaan penunjang pemerintahan. Menurut perkiraan, total ada 5 juta orang akan datang dan menghuni wilayah di ibukota baru. Dan mereka berasal dari bermacam suku bangsa dan agama.

Persoalan yang paling krusial kelak adalah apakah kehadiran jutaan warga baru itu pasti akan membawa pengaruh terhadap warga setempat dan penduduk asli di wilayah setempat? Tentu, akan ada kekhawatiran, walaupun kita berdoa agar tidak terjadi, akan ada benturan antar suku dan agama. Bagaimana pun kedatangan jutaan ASN dan keluarganya itu adalah kedatangan para pegawai pusat yang bisa saja akan menimbulkan kecemburuan, baik karena sikap arogan - karena merasa orang pusat, atau pun karena ketidakmampuan beradaptasi dengan situasi, adat, dan budaya warga setempat. Hal semacam ini bisa menimbulkan percikan api yang jika tidak diantisipasi sejak rencana pemindahan ibukota ini sampai pelaksanaannya nanti.

Sepanjang sejarah, Kalimantan Timur termasuk daerah yang rawan konflik, baik konflik suku, ras, maupun agama. Data dari Polda Kalimantan Timur Tahun 2013, seperti dikutip TribunNews Balikpapan, berdasarkan hasil pemetaan potensi konflik sosial  tercatat sebanyak 199 potensi konflik ada di wilayah ini. Konflik terdiri dari jenisnya, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya (Ipoleksosbud) 109 kasus. 

Kemudian 16 kasus SARA, sumber daya alam terdapat 54 kasus, dan kasus batas wilayah telah dipetakan sebanyak 20 kasus. Peringkat pertama paling banyak konflik terjadi di daerah Kabupaten Kukar dengan 67 kasus Ipoleksosbud, satu kasus SARA, kasus SDA sebanyak enam dan dua kasus batas wilayah.

Kasus-kasus yang terjadi seperti data di atas timbul dari arus bawah yang menyebar secara luas. Contoh beberapa kasus SARA lebih mengedepankan emosi sesaat tetapi akibatnya meluas karena bersinggungan antaretnis. Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur, seperti dikutip SindoNews, menyebutkan, isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) masih rentan terjadi di daerah ini. Isu ini menjadi pontensi paling tinggi kerawanan sosial di masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun