Sejak mengurusi wirausaha baru (WuB) di dinas tempat kerjaku yang baru beberapa bulan ini, aku mulai tahu banyak persoalan wirausaha. Apalagi langsung menangangi para-WuB, khususnya pemuda, yang ternyata seru juga. Kepada mereka, pemerintah kota Banjarmasin, melalui dinas terkait, memberikan bantuan permodalan, dari sewa tempat usaha, sampai peralatan usaha.
Bantuan permodalan itu tentu hanyalah langkah awal. Ibaratnya mengisi udara pada ban yang akan menggelindingkan badan usaha itu. Justru persoalan utama adalah kepada kemampuan menjalankan usaha itu. Ada banyak WuB yang pada awal semangat untuk berusaha. Namun, ketika modal sudah dijalankan, nafas mereka tersengal-sengal. Bahkan, banyak ambruk.
Sebagai gambaran, informasi yang disampaikan Walikota Banjarmasin, Ibnu Sina, kepada media massa, usai membuka sebuah Bimtek, 18 Juni 2019 lalu, menguatkan ilustrasi di atas. Sejak 2016 hingga 2018, Pemko Banjarmasin sudah menghimpun sekitar 2.017 WuB. Hasil evaluasi menunjukkan dari 2.017 orang tersebut hanya 50 persen yang aktif.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah daya beli masyarakat menurun hingga jualan mereka taklaku? Tidak juga. Kenyataan hobi belanja masyarakat takpernah surut. Kebutuhan hidup dan kemudahan dalam cara belanja justru membuat dunia usaha bergairah. Ditambah persaingan harga dengan mutu barang bervariasi membuat masyarakat punya banyak pilihan belanja.
Reinhard Freddy Hutabarat di Kompasiana, 1 Agustus 2017,  menyebutkan yang terjadi sebenarnya adalah shifting (pergeseran pola konsumsi masyarakat) yang diakibatkan oleh perubahan konsumsi dari sistem konvensional ke sistem e-commerce  (online). Dalam pengertian lain, dunia usaha sekarang ini sudah beralih dari perdagangan konvensional ke perdagangan digital.
Dalam beberapa kesempatan, saya bertemu dengan beberapa orang wirausaha muda. Di usia berkisar 20 -- 30 tahun, beberapa di antaranya sudah punya penghasilan 5 -- 10 juta perbulan. Uniknya, mereka tidak punya tempat usaha. Modal pun dari uang saku dan keuntungan yang diputar. Dan usaha itu pun hanya sampingan. Artinya, mereka punya pekerjaan yang lebih utama.
Sebagai contoh, pengakuan usahawan muda yang aslinya dosen di perguruan tinggi swasta di Banjarmasin. Dia hanya memasang foto produk mie instan limau kuit dan pupur bangkal di dua marketplace (laman penjualan). Harganya dinaikkan 50 -- 75%. Ternyata banyak pesanan, terutama konsumen dari luar daerah yang memang susah mendapatkan produk tersebut.
Ada order, baru dia belanja barang seusai pesanan. Selanjutnya, barang yang belum dikemas diserahkan ke jasa pengiriman rekanan marketplace. Jasa pengiriman itulah yang mengatur semua. Begitu barang sampai ke pembeli, marketplace langsung mengirim uang pembelian kepadanya. Begitulah sistem mengaturnya. Seni menjual demikian amat mudah dan tanpa risiko.
Tentu ada banyak cerita pengalaman sukses lain dari para-WuB. Dari usaha kuliner, pakaian, jasa angkut barang, Â sampai jasa pencucian kendaraan yang bisa dipanggil. Dari yang pakai modal besar sampai tanpa modal. Yang saya cermati, mereka semua menggunakan media daring untuk pemasarannya. Tidak hanya satu, semua media alat promosi, termasuk Fb dan IG pribadi.
Begitulah dunia usaha di era industri 4.0 yang lagi tren. Era yang menjadikan internet segalanya. Salah satu dari empat prinsip 'pabrik cerdas' 4.0 adalah Keputusan Mandiri, membuat keputusan dan melakukan tugas semandiri mungkin. Apakah yang membuat ambruknya para-WuB karena ketergantungan dengan pemodal dan tidak punya inisiatif mengembangkan usaha sendiri.
Di balik itu semua, ada budaya yang hilang dari cara belanja dan jualan melalui internet atau online shop ini. Komunikasi sosial antara pembeli dan penjual hampir tidak ada. Bahkan tidak saling mengenal. Semua sudah diwakili oleh papan tombol, perangkat gawai, Â jaringan internet, dan kurir pengiriman. Sistem telah mengubah budaya saling sapa menjadi saling diam. Dan satu lagi, hilangnya budaya akad jual-beli secara lisan.
Saya bersyukur, di kampung tempat tinggal saya, dan mungkin juga di tempat Anda, pagi-pagi masih ada penjual kue, bubur ayam, dan jamu gendong yang menjajakan produknya. Gaya dan warna suaranya saat mempromosikan sangat khas dan bikin rindu. Walaupun masih konvensional, usai belanja, mereka masih sempat pesan, "kalau mau beli lagi, bisa WA saya, Pak!" katanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H