Prosesi wisuda merupakan salah satu istiadat yang sakral bagi sebuah lembaga pendidikan. Ia mengandung nilai perjuangan panjang dalam proses menuntut ilmu. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah menamatkan pendidikan yang ditempuhnya.
Wisuda juga sebagai istiadat pemberian ijazah oleh lembaga pendidikan kepada pelajar yang sudah menyelesaikan studinya. Ijazah menandakan seseorang sudah menguasai ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi.
Dulu prosesi wisuda sangat dinanti oleh orang tua yang memberikan kuliah anaknya pada perguruan tinggi. Bahkan demi melihat wisuda buah hatinya rela menjual tanah ataupun hewan ternaknya.Â
Kampus yang terletak jauh dari perkampungan, maka biaya yang dibutuhkan juga luar biasa agar sanak saudara bisa pergi semuanya. Hal ini tidak lain karena nilai kesakralan dari prosesi wisuda sebagai sebuah kebahagiaan tersendiri.
Kebahagiaan orang tua melihat keberhasilan anaknya memakai baju toga dan menerima ijazah. Walaupun dengan segala keterbatasan biaya. Namun mampu menghantarkan mereka ke jenjang yang paling tinggi.Â
Hari ini, prosesi wisuda sedikit demi sedikit telah bergeser nilai kesakralannya. Hampir seluruh lembaga pendidikan melakukan prosesi tersebut. Baik dari tingkat paling dasar sampai paling tinggi.Â
Bahkan tanpa proses belajar yang lama, ijazah dapat diperoleh dengan mudah. Wisuda untuk mendapatkan ijazah dari buah perjuangan panjang menjadi nihil. Pergeseran makna ijazah dalam prosesi wisuda telah hilang.
Walhasil, istiadat memakai baju toga bukan lagi suatu yang spesial. Padahal dalam sejarah pendidikan Islam. Prosesi ini sangatlah istimewa sehingga ia diikuti oleh universitas-universitas ternama di dunia.Â
Prosesi wisuda dengan memakai baju toga (thawb) pertama kali dicetuskan oleh seorang muslimah, Fatima Al-Fihriya pada Tahun 859 di Universitas Qarawayin, Fez Maroko. Salah satu Universitas tertua di dunia.
Bahkan beberapa abad ketika itu, pelajar yang diwisudakan di Universitas Eropa telah mengikuti tradisi ini. Sehingga mencerminkan bahwa mereka bagian dari Universitas Muslim yang berkembang di Barat.Â
Dalam buku "Islam in Europe" Jack Goody menyatakan bahwa pakaian Arab (thawb) yang dipakai ketika debat ilmiah/wisuda menandakan integritas skolastik yang paling alami sehingga hari ini.
Kesan ilmiah dan kewibawaan ilmu tersirat dari cara berpakaian. Penghormatan dan kemuliaan dalam prosesi wisuda menggambarkan pemberian izin (ijazah) keilmuan kepada pelajar dari guru-guru mereka.
Apa yang dipraktekkan Universitas Islam pada awal perkembangannya bukan sebatas ceremonial wisuda. Namun jauh dari itu, ialah sebuah pengakuan keilmuan dari guru kepada murid.
Guru tidak akan memberikan ijazah dengan mudah. Pelajar harus bermulazamah dalam waktu yang lama, menguasai kitab-kitab yang diajarkan gurunya, menghayati kepribadian dan akhlak gurunya, selalu tawadhu' dengan ilmu yang telah dicapai dan berbagai hal lainnya.
Tidak dapat dipungkiri, semua perkara tersebut dilakukan hanya untuk mendapatkan ijazah. Waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan ilmu menjadi berkah dalam kehidupannya.Â
Cara-cara seperti ini dipraktekkan di dunia Islam. Seperti di Jami'ah Al-Azhar, Madrasah Nizamiyyah, Madrasah Muntasiriyyah, Universitas Qarawayin dan berbagai perguruan tinggi Islam lainnya.
Hari ini, nilai filosofis dari istiadat wisuda dan pemberian ijazah telah berpindah haluan. Setidaknya ada beberapa sebab yang menjadikannya terus dipinggirkan.
Pertama, kewibawaan ilmu tidak ditempatkan lagi pada hakikatnya. Siapa saja boleh mengatakan apa saja tanpa dasar ilmu yang kokoh. Berita hoaks bertebaran dimana-mana. Apabila tidak ada fondasi yang kuat maka akan sangat mudah tergelincir.
Kedua, proses akreditasi lembaga pendidikan hanya sebatas memenuhi syarat akreditas. Kredibilitas lembaga hanya sebatas pengakuan pada secarik kertas akreditas. Namun, kualitas keilmuan masih sangat rendah
Ketiga, pendidikan sarat dengan tujuan politik. Berganti satu periode pemerintahan, berganti pula arah pendidikan. Padahal negara bisa merumuskan tujuan akhir pendidikan dalam berbangsa dan bernegara
Keempat, wibawa dan kualitas guru harus terjaga. Untuk menjadi seorang guru baik pendidikan dasar maupun perguruan tinggi. Haruslah mempunyai kepakaran dalam bidangnya masing-masing.Â
Bukan karena sanak saudaranya atau rekanan dapat serta merta menjadi guru. Namun, benar-benar harus memiliki keilmuan yang kuat.
Mudah-mudahan kegundahan ini, dapat terjawab oleh insan yang berhati mulia membangun bangsa dan negara yang tercinta ini. Demi tercapainya kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Wallahu 'Alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H