Coba kita perhatikan pada tahun 2020 awal-awal covid mulai banyak barang dan jasa yang harganya turun, contohnya pada harga penginapan, harga mobil, komoditas seperti batu bara dan minyak, bahkan bahan makanan pokok seperti daging, ayam, dan telur juga harganya sudah mulai turun.Â
Mungkin dulu kita mikir "Kok harga-harga naik terus sih? Berarti ekonomi kita lagi jelek ya?",Â
"Coba kalau ekonomi kita bagus pasti harga-harga pada murah", "Kapan ya harga barang-barang jadi murah?".Â
Nah sekarang di tahun 2020 kemaren sudah mulai kejadian nih harga-harga sudah mulai turun, tapi apa itu berarti ekonomi lagi bagus? Tidak, justru sebaliknya ekonomi kita lagi turun banget.
Dalam sudut pandang ekonomi makro fenomena penurunan harga ini namanya deflasi atau biasa disebut juga dengan inflasi negatif. Menurut Stacia E. H. Sitohang deflasi yaitu kebalikan dari inflasi, di mana secara umum harga suatu barang mengalami penurunan.Â
Jadi, kalau inflasi kan fenomena kenaikan harga, sedangkan deflasi ini adalah fenomena penurunan harga. Inflasi dan deflasi itu bisa berbahaya secara ekonomi apabila kadarnya sudah berlebihan keduanya bisa sama-sama menyebabkan krisis ekonomi walaupun gejalanya ini bertolak belakang.
Contohnya kita bisa lihat krisis ekonomi akibat hiperinflasi di Venezuela sejak tahun 2016 dan krisis ekonomi akibat deflasi parah di Amerika di tahun 1930-an. Loh kenapa ya deflasi bisa menyebabkan krisis ekonomi? Kan bagus dong apabila harga barang-barang jadi murah!.Â
Dalam menilai ekonomi makro kita harus mengerti bahwa ekonomi itu tidak bisa dilihat dari sudut pandang konsumen saja, tapi dari sudut pandang produsen juga. Inget, setiap uang yang kita belanjakan adalah penghasilan bagi orang lain.Â
Artinya apa? Jadi harga-harganya yang semakin murah ini adalah tanda bahwa penghasilan masyarakat semakin menurun dan apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, ini bisa berpotensi menjadi deflasi spiral yang sangat berbahaya.
Sebelum saya bahas lebih jauh tentang dampak dan bahaya deflasi yang berlebihan saya mau jelasin dulu nih akar masalahnya. Hal pertama yang mau dijelaskan adalah kenapa ya harga barang dan jasa itu bisa turun? Apa sih yang membuat para pedagang terpaksa menurunkan harga barang dagangannya? Penyebabnya itu bisa jadi dua faktor ini, yaitu:
- Yang pertama adalah ketersediaan barangnya itu berlebih atau biasa disebut dengan oversupply
- faktor kedua adalah permintaan terhadap barang atau jasa itu menurun atau biasa disebut dengan low demand
Nah yang jelas berbahaya itu adalah faktor yang kedua, yaitu menurunnya permintaan dari konsumen. Penyebabnya bisa jadi macam-macam nih tapi umumnya disebabkan karena daya beli konsumen yang semakin menurun, penurunan daya beli konsumen ini bisa dipicu oleh berbagai hal, yaitu:
- Bisa jadi karena peredaran uang yang berhenti gara-gara ada kredit utang macet yang skalanya sangat besar seperti yang terjadi di Amerika tahun 2008
- Bisa juga karena kondisi setelah perang seperti yang terjadi di Eropa tahun 1920-an atau
- Bisa juga gara-gara wabah pandemi seperti sekarang
Terlepas dari apapun penyebab turunnya daya beli konsumen deflasi itu bisa jadi semakin berbahaya apabila sudah berubah menjadi deflasi spiral.Â
Dimana pada saat turunnya daya beli konsumen dapat memicu lemahnya transaksi perdagangan, perdagangan yang lemah ini, membuat para pengusaha terpaksa menurunkan harga.Â
Harga yang turun ini, memicu kerugian bagi pemilik usaha, kerugian usaha akhirnya memicu PHK massal, PHK massal ini memicu pengangguran, dan banyaknya pengangguran ini akan kembali memicu daya beli konsumen yang semakin menurun dan seterusnya.
Rantai sebab-akibat ini bisa terus berputar semakin parah sehingga namanya disebut dengan deflasi spiral, yang lebih parah lagi apabila penurunan ekonomi ini memicu kredit macet baik dalam skala individu, skala perusahaan, bahkan sampai sekarang negara.Â
Karena tentu saja penurunan transaksi itu efeknya bisa kemana-mana dari penurunan penghasilan sebuah keluarga, penurunan pemasukan di perusahaan, sampai penurunan pendapatan pajak di sebuah negara.Â
Apabila kondisi ini berlarut-larut maka secara teknis buah negara bisa mengalami yang namanya resesi, dimana resesi itu ditandai dengan penurunan pertumbuhan GDP atau pendapatan domestik bruto sampai ke level negatif selama 2 kuartal berturut-turut.
Ironisnya efek psikologis yang ditimbulkan juga bisa semakin memperparah deflasi spiral yang terjadi, di mana masyarakat cenderung menunda berbelanja dan para pengusaha tidak mau mengambil keputusan keuangan untuk menghindari risiko bisnis.Â
Deflasi spiral yang terjadi bisa semakin parah, dan puncak dari skenario terburuk deflasi spiral ini adalah apabila penurunan harga sudah sampai ke industri kebutuhan makanan pokok. Bayangin saja, gimana susahnya para petani, peternak, dan nelayan yang terus merugi karena harga jual produk mereka murah banget, sampai-sampai mereka memutuskan untuk tidak bekerja lagi.Â
Dalam beberapa kasus bahkan ada para petani yang mengambil hasil pertanian seadanya untuk kebutuhan mereka saja dan sisa hasil panen itu dibakar atau dibiarkan membusuk begitu saja.Â
Karena ongkos panen dan transportasinya itu bisa jadi lebih mahal daripada harga jual yang sudah terlalu murah.
Jika tidak ada hasil pangan yang diproduksi ini bisa memicu wabah kelaparan di berbagai tempat, seperti yang sempat terjadi ketika great depression melanda Amerika tahun 1930-an. Nah terus sekarang pertanyaannya Apa dong solusi yang bisa dilakuin untuk mencegah atau meredam dampak dari deflasi spiral ini?Â
Kunci sebetulnya cuma satu yaitu transaksi perdagangan ini harus ditingkatkan lagi supaya ekonomi bisa bangkit.Â
Apabila transaksi perdagangan bisa ditingkatkan secara signifikan ini bisa memutus rantai deflasi spiral, para pengusaha bisa kembali aktif berbisnis, dan para pengangguran bisa kembali mendapatkan pekerjaan. Daya beli konsumen naik, dan transaksi perdagangan juga bisa pulih lagi.
Adapun beberapa solusi yang biasanya diupayakan oleh pemerintah untuk membangkitkan kembali gairah ekonomi, yaitu:
- Menurunkan tingkat suku bunga. Menurunkan tingkat suku bunga acuan sampai ke level yang sangat rendah, nol, atau bahkan negative. Tujuannya apa? supaya para pengusaha itu berani untuk minjem uang kepada bank untuk modal usaha dan akhirnya menciptakan lapangan kerja baru.
- Mencetak uang dan salurkan kesektor produktif. Mencetak uang dan uangnya disalurin ke sektor-sektor produktif yang menyerap tenaga kerja, ini adalah kebijakan yang dilakuin pemerintahan Franklin D.Roosevelt di Amerika tahun 1930an untuk memerangi Great Depression. Dalam sejarah ekonomi, kebijakan rosevelt ini dikenal dengan nama The New Deal.
- Surat berharga pemerintah. Bank Sentral melakukan pembelian terhadap surat-surat berharga di pasar uang seperti obligasi surat Bank Indonesia dan surat berharga pasar uang. Dengan membeli surat-surat berharga maka jumlah uang yang beredar di perekonomian tuh akan semakin banyak, kebijakan ini kalau di Indonesia itu dikenal dengan nama operasi pasar terbuka. Kalau di luar negeri biasa dikenal dengan istilah Quantitative Easing.
- Menurunkan cadangan minuman kas. Penetapan cadangan minimum atau reserve requirement policy yaitu dengan menurunkan cadangan minimum kas yang harus dipenuhi oleh bank, dengan turunnya cadangan minimum kas yang harus dipenuhi oleh bank umum jadi bank umum bisa menyalurkan lebih banyak uang kepada para peminjam untuk modal usaha.
- Meringankan tarif pajak. Penurunan tarif pajak ini bisa membuat masyarakat punya lebih banyak uang, dengan lebih banyaknya uang yang dimiliki masyarakat diharapkan hal tersebut bisa meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat.
Selain kelima poin yang sudah disebutkan, sebetulnya masih banyak kebijakan lain yang bisa dilakuin seperti meningkatkan aktivitas belanja negara, menaikan upah minimum, dan lain-lain.Â
Semua tujuannya itu sama yaitu untuk membangkitkan kembali transaksi ekonomi, lapangan kerja, dan produktivitas yang sebelumnya lesu. Tapi tentu saja tidak semudah itu dalam meredam deflasi spiral, resesi, apalagi depresi ekonomi.Â
Jika salah mengambil kebijakan atau salah mengukur takaran bisa-bisa malah timbul masalah baru seperti inflasi yang tinggi atau bisa juga terjadi korupsi anggaran secara besar-besaran.Â
Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat juga harus punya pengetahuan ekonomi yang baik agar kita bisa lebih cermat dalam membuat keputusan keuangan sekaligus bisa mengawal pemerintah secara demokratis dalam membuat keputusan ekonomi yang tepat sasaran untuk bisa menanggulangi masalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H