Satu hal yang membuat saya takjub adalah bahwa semua biaya operasional TPQ didanai sendiri oleh Pak Har dan juga istri. Beliau bahkan kerap mengadakan acara makan bersama tiap pekannya untuk guru dan peserta didik serta santunan anak yatim. Hati beliau benar-benar sehangat matahari musim semi. Bagi saya, beliau layak menangkap dan menerima banyak cinta dari masyarakat.
 "Di tahun-tahun mulainya penerapan sekolah lima hari, kami mengalami penyusutan peserta didik dari kalangan anak-anak. Karena mereka harus sekolah dan les sampai sore hari yang akhirnya tidak bisa berangkat mengaji ketika maghrib. Tapi itu pun bukan masalah bagi kami. Mboten pados arto, mboten pados murid (tidak cari uang, tidak cari murid)" lanjut Pak Har ketika menjelaskan tentang pasang surut peserta TPQ beberapa tahun terakhir.
Pak Har juga menerangkan bahwa langkah dan geraknya dalam mendirikan TPQ gratis ini merupakah salah satu bentuk dakwahnya untuk masyarakat. Beliau ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa belajar al quran wajib dan bisa dilakukan oleh setiap muslim, dari semua kalangan.Â
Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, sehat ataupun renta. Pak Har pun tidak pernah sekalipun merasa rugi ataupun lelah dalam menjalankannya. Beliau terus berharap agar pemuda-pemudi dari generasi selanjutnya meneruskan misi ini mulai sekarang hingga beliau tiada nanti. Masyarakat terus membutuhkan uluran tangan orang-orang baik.
Sejurus kemudian saya teringat perkataan salah seorang sastrawan, Goenawan Muhammad. "Betapa mahalnya ongkos pendidikan sekolah bagi sebuah negara miskin; tapi juga betapa omong kosongnya sistem sekolah itu untuk menghilangkan jurang kemiskinan tersebut".(3/7)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H