Pemberian ganti rugi atas keterlambatan (delay) memang hanya sebatas pemberian ganti rugi materi yang merupakan kerugian yang nyata yang diderita oleh konsumen itu sendiri dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 77 tahun 2011 tentang tanggung jawab pengangkutan udara memang hanya mengatur penggantian secara materil tetapi atas peristiwa yang merupkan kerugian yang akan kemungkinan akan kita alami nantinya.
Apabila belum sepenuhnya dapat diberikan oleh piahak maskapai dan untuk memperoleh kerugian immateril tersebut kita juga harus menyelesaikan permasalahan tersebut lewat pengadilan dengan dalil-dalili yang dapat dibuktikan dalam gugatan dan hakim dalam memutus perkara perdata tersebut harus juga berdasarkan prinsip ex aquo et bono,juga kerugian immateril atas terjadinya delay pesawat tersebut pernah dikabulkan oleh Hakim Mahkamah Agung dan menjadi yurisprudensi dengan putusan nomor  1391 K/Pdt/2011 yang memenangkan Hastjarji Boedi Wibowo yang melawan PT. Indonesia Air Asia.
Untuk itulah konsumen yang mangalami kerugian atas jasa penerbangan yang mengalami penundaan penerbangan (delay) perlu untuk meminta kerugian immaterilnya dan bukan hanya kerugian materil didasarkan karena akibat dari delay tersebut kita telah mengalami kerugian yang melipat ganda dan untuk itu pihak masakapaipun agar tidak sewena-wena dan tampa alasan atau informasi yang jelas melakukan delay yang dapat merusak industri penerbangan dalam negeri dan merusak kepercayaan konsumen.Â
***
Penulis merupakan Anggota DPC PERMAHI Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H