Masih pagi, tapi kopi tinggal separo. Setengahnya lagi sudah menjadi obat kantuk, terserap bersama kerjaan yang masih menumpuk.
Diluar, matahari seakan malu menampakkan batang hidungnya. Bersembunyi di balik awan mendung. Yang mungkin sebentar lagi menumpahkan air matanya.
Naryo pagi ini berangkat ngantor. Baginya kantor adalah segala tempat dimana ia bisa bekerja, bisa sawah, kebun atau malah kepalanya sendiri.
Keberpihakan itu seringkali mendapat ujian, entah musim yang kian tidak tentu, harga pupuk naik atau kebutuhan air untuk tanamannya yang seringkali berebut dengan teman-temannya.
Menghadapi akhir tahun yang tinggal beberapa hari, Naryo tidak menyiapkan resolusi khusus di tahun 2025. Ia hanya berharap di tahun 2025, keadaan masih memihak petani kecil, agar anaknya bisa mendapatkan sekolah yang baik dengan biaya yang relatif murah.
Pendidikan memang harus dipegang oleh Negara. Naryo menyimpulkan itu setelah ia membaca banyak berita yang berseliweran di media sosialnya. Naryo, yang akan menjadi wali murid bagi anaknya merasa semakin hari biaya pendidikan semakin mahal. Menurutnya itu karena sekolah yang berkualitas kini penyelenggaranya adalah swasta. Dan itu berarti mereka para penyelenggara menjual kualitas pendidikan kepada masyarakat.
"Kalau biayanya mahal, sudah otomatis kualitas pendidikan di sekolah itu bagus. Pasar atau dalam hal ini calon wali murid bebas menentukan, akan disekolahkan dimana anaknya selama mampu membiayai biaya pendidikan itu" ujar naryo dalam kepalanya.
"Makanya pemegang kekuasaan dalam hal ini pemerintahlah yang bisa mengatur sedemikian rupa agar biaya pendidikan itu murah" kata Naryo dari sudut pikiran yang lain
"tapi sampai sejauh ini, pemerintah kan Cuma bisa mengatur sekolah-sekolah yang diselenggarakan negara"
"Pemerintah dengan sekolah negrinya sekarang ini kalah jauh dengan sekolah swasta, makanya pemerintah itu harusnya jor-joran membiayai sekolah negrinya agar mempunyai sekolah yang berkualitas yang pada akhirnya  baik yang punya uang atau yang tidak punya uang akan selalu tertarik memasukan anaknya ke sekolah negri"
Naryo masih berdebat dengan pikirannya sendiri. Mungkin, yang berfikir sama seperti Naryo sudah sangat banyak. Tapi pikiran itu seringkali hanya seperti ampiran saja, datang lalu pergi entah kemana. Naryo tahu semua itu memang butuh tangan yang serius menangani pendidikan.
Namun, pagi itu, di bawah langit yang mulai menitikkan gerimis, Naryo tetap melangkah ke sawah. Harapan akan masa depan anaknya selalu menjadi pupuk terbaik bagi semangatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H