Mohon tunggu...
Zuhdi Triyanto
Zuhdi Triyanto Mohon Tunggu... Operator - Tenaga Administrasi

Suka kopi apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pedagang Mainan

22 Desember 2024   23:06 Diperbarui: 22 Desember 2024   23:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang mainan (sumber: detik.com)

Pengalaman hidup adalah kampus bagi Naryo. Meskipun ia tidak pernah duduk di bangku kuliah seperti anak-anak muda masa kini, ia tumbuh menjadi sosok yang dipercaya di desanya. Kepercayaan itu bukan datang tiba-tiba. Naryo mengasah dirinya dari obrolan-obrolan sederhana dengan mantan-mantannya, yang tanpa ia sadari menjadikannya seorang pembicara ulung.

Di usia yang masih tergolong muda, Naryo telah melangkahi tradisi. Ketika acara lamaran di desa biasanya menjadi panggung bagi para sesepuh, justru nama Naryo yang disebut untuk mewakili keluarga. Penampilannya tidak pernah mengecewakan. Dengan kata-kata yang disusun rapi dan senyumnya yang hangat, Naryo mampu membawa suasana menjadi cair, menepis ketegangan yang sering kali menyelimuti acara formal seperti itu.

Naryo pernah di tanya teman seumurannya. Sudah berapa perempuan yang menjadi mantannya saat ini. Naryo memang perayu ulung. Di cap Playboy kelas kampung oleh teman-temannya. Semua gadis cantik di desanya tidak ada yang luput dari rayuannya. Namun begitu, dari sekian yang telah dipacari tidak ada satupun yang sampai pada tahap menikah dengan Naryo.

Memang betul kata sebagian orang, untuk menjalani kehidupan yang begitu panjang tidak mudah hanya bermodal kata dan muka. Naryo sampai umur tiga tahun masih belum punya pekerjaan tetap. Ia pernah mencoba peruntungan dengan menjadi makelar cengkeh, tidak lama profesi itu ditinggalkan karena rasa malas mengalahkan kebutuhannya.

Selang beberapa minggu menganggur, ia mencoba memasuki dunia pendidikan yang ada di desanya. Tapi setelah menjalaninya selama tiga bulan, pekerjaan itupun ia tinggalkan juga.

Pagi itu Naryo sarapan di warung pecel Mbah Gito. Bagi orang di desanya, warung Mbah Gito menjadi warung paling legendaris. Pecel dengan sayuran lengkap sudah ia pesan, tidak lupa kopi buatan khas desa yang campurannya ada berasnya juga telah disajikan Mbah Gito.

"Monggo mas Naryo kopi hitamnya "

"Waah matursuwun Mbah" Naryo menjawab dengan sumringah

"Gimana ini mas, sudah ada pengganti dari mbak sela anaknya Haji Kartono belum?" mbah gito mencoba membuka percakapan itu. Meski Mbah Gito hanya basa basi, tapi Naryo tampak kaget, seketika sumringah menjadi resah.

Sela anak Pak Haji Kartono mantan terkhir Naryo itu terpaksa memutuskannya setelah tahu orang tuanya menerima lamaran dari pemuda warga desa sebelah yang lebih jelas pekerjaannya.

Hidup itu memang tidak adil kata Naryo, ia berusaha sebaik mungkin menjadi manusia, tapi kebaikan itu  tidak akan ada artinya kalau pekerjaannya masih belum jelas---mapan.

Setelah pecel dari Mbah Gito habis dilahap Naryo, ia segera menyulut rokok keteng yang tersedia di toples meja.

"Mbah Gito, aku ngutang dulu lagi ya, tolong catat, nanti aku akan melunasinya setelah pekerjaan menemuiku" ujar Naryo sambil meninggalkan warung Mbah Gito.

Mbah Gito hanya membalas Naryo dengan senyuman kecil.

Sambil berjalan kaki menuju rumah, Naryo kembali memikirkan perkejaan yang tepat untuk dirinya.

"Kalau seperti ini terus, wanita mana yang akan mau denganku" gumam Naryo . Tiba-tiba Naryo teringat pada isi ceramah Pak Yai yang sering mengisi pengajian di mushola dekat rumahnya.

"Orang itu kalau mau kaya, maka berdaganglah" kalimat inti yang sering didengar Pak Yai itu terdengar dan mengusik hatinya.

"Mbah Gito yang hanya jualan pecel saja bisa sampai menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, apalagi jika aku serius menekuni bidang perdagangan, hmmm"

Setelah perenungan dalam perjalanan pulang kerumah pagi itu, Naryo benar -- benar bertekad menekuni dunia perdagangan. Awalnya Naryo mencoba mengambil barang dagangan dari toko mainan, dan menjualnya lagi didepan sekolah.

Setiap jam istirahat dan jam pulang sekolah, Naryo sudah mangkal di depan sekolah, menata barang dagangannya dengan rapi, berharap anak-anak sekolah itu menghampiri dan membelinya.

Hari pertama Naryo berdagang menjadi sangat melelahkan batinnya, boro -- boro laku, dilirik calon pembeli saja tidak. Sebelum memutuskan terjun ke dunia dagang, Naryo lebih dulu menguatkan keyakinannya bahwa berdagang itu kadang laku, kadang juga tidak.

Prinsip itu benar-benar ia pahami sebelumnya agar suatu saat kalau dagannya tidak laku, ia akan tetap tenang dan melanjutkan usahanya.

Di saat Naryo mulai merasa putus asa karena dagangannya tidak laku, ia kembali ke warung Mbah Gito. Ia bermaksud curhat, berharap ada motivasi atau nasihat yang bisa memberinya semangat.

Namun, sebelum Naryo mencurahkan hatinya, Mbah Gito lebih dulu berujar

"Sampean tahu ndak mas, kenapa saya ini tidak pernah menagih hutang -- hutangmu?"

"Eh Kenapa Mbah?" jawab Naryo sambal tergagap

"Dulu seusiamu, aku pernah mengalami semua kegagalan yang sampean rasakan saat ini, melamar gadis  ditolak, selain itu usaha-usahaku juga tidak ada yang berhasil, entah itu bertani, beternak, semuanya gagal"

Mbah Gito melanjukan kalimatnya

 "Sampean lihat, warung pecel ini sudah lima belas tahun, pasang surut pelanggan, kadang pas sepi semua barang dagangan ini aku bagikan ke tetangga. Tapi sampean pasti tahu mas, warung ini juga yang mengantarkan anak-anaku selesai sekolah sampai perguruan tinggi, padahal kalau dalam berdagang sampean masih lebih baik dariku, grapyak adalah modal utama seorang pedagang, dan sampean punya itu"

"Lihat kebanyakan warga disini mengenalmu, mas. Baik tua atau muda, bahkan anak-anak yang umurnya jauh dibawahmu, mereka semuanya merasa nyaman kalau sampean yang ajak bicara"

Guyuran motivasi dari Mbah Gito seperti air segar yang menghujani Naryo. Semangat yang mulai redup itu kembali menyala seperti matahari pagi ini.

"Mbah kalau begitu, aku ngutang lagi"

Mbah Gito hanya membalas dengan senyum kecil, membiarkan Naryo pergi membawa tumpukan hutang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun