Mungkin tragedi terbesar dalam hidup adalah kenyataan bahwa kita semua ditakdirkan untuk berjalan sendiri, meskipun kita merasa telah menemukan seseorang tuk berbagi beban. Ada jurang yang tak terjembatani antara jiwa, celah yang tak dapat dilintasi oleh cinta, persahabatan, atau ikatan apa pun.Â
Kita ini, pada dasarnya, makhluk yang lahir dengan kesendirian, terperangkap dalam ilusi kebersamaan. Menggenggam momen-momen kedekatan yang fana, berharap itu akan bertahan, meski perlahan akan memudar ke dalam ruang kosong dalam pikiran kita sendiri.Â
Kesendirian adalah hakikat yang tak terbantahkan, rasa keterpisahan yang tersamar di balik kehangatan pertemuan dan kebersamaan. Lalu Seiring waktu, kita menyadari bahwa hubungan terindah sekalipun tak pernah sepenuhnya menyatukan bagian kosong itu.
Dan keterasingan ini membuat kita terus mencari–tak lagi karena kita percaya akan benar-benar menyatu atau terhubung dengan hal atau orang lain, tapi karena momen-momen itu betapapun singkatnya, tetap memberikan makna.
Kesepian yang tak terelakkan, menuntun pada pencarian yang tak pernah usai, mencari orang lain sebagai pelengkap dari kekosongan yang mengisi hati. Kita mencari pelengkap diri, menemukan makna dalam kebersamaan yang sementara–sebuah pelabuhan yang memberi kita ketenangan, meskipun hanya untuk sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H