Mohon tunggu...
zuhaili zulfa
zuhaili zulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa. Pengajar.

Hobi Menulis, olahraga dan bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis Itu Harus Ikhlas karena Allah

22 Januari 2024   23:17 Diperbarui: 22 Januari 2024   23:29 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dwidimensi adalah salah satu deskripsi manusia; dimensi jiwa dan jasmani. Adalah maklum bahwa segala sesuatu yang bersifat fisik membutuhkan asupan. Dalam hal ini, jasmani manusia membutuhkan makan dan minum agar tetap sehat dan eksis. Demikian juga jiwa manusia membutuhkan asupan. Jika kita tahu bahwa asupan jasmani kita di negeri ini (Indonesia) adalah nasi, lantas apakah asupan jiwa kita??Ya, ilmu dan hikmah adalah asupan jiwa kita. Jiwa kita yang terdiri dari akal dan hati akan mati tanpa diberi asupan tersebut. Dari manakah ilmu dan hikmah tersebut didapatkan?

Ilmu didapatkan oleh manusia melalui pengetahuannya akan segala sesuatu melalui metode yang dinamakan empiris dan rasional. Sedangkan hikmah, yang mana lebih dari ilmu, didapatkan oleh pengalaman-pengalaman jiwa yang dipandu oleh Alquran dan sunnah Nabi Saw. Baik ilmu atau hikmah, akan melahirkan suatu produk, berupa perilaku, baik yang tertulis atau tiada tertulis.

Sebagaimana makan dan minuman yang kita konsumsi adalah produk daripada pengetahuan juru masak (koki), yang akan kita jadikan asupan buat jasmani kita, tulisan-tulisan yang berupa buku, jurnal, dsb. juga merupakan produk pengetahuan penulisnya. Sebagaimana makan dan minuman itu ada yang baik, karena kecukupan gizi yang dibutuhkan tubuh, dan ada pula yang buruk, karena tidak mencukupi, tulisan-tulisan yang ada juga demikian, ada yang baik, karena mengandung hikmah, dan ada yang buruk, karena tidak mengandung hikmah apapun. Di sinilah kebijaksanaan konsumen berperan.

Maka dengan demikian, Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua, yaitu ilmu mazmumah (tercela) dan mahmudah (terpuji).

Tidak setiap koki itu, walaupun dengan susah payah berusaha, diterima oleh khalayak hasil karya. Ia terus mencoba dan mencoba sampai segelintir orang menerimanya. Demikian berlaku di restoran-restoran pula; satu ramai satunya yang lain tidak. Demikian juga penulis. Sudah sekian banyak lembar kertas dihabiskan, dan sekian liter tinta ditumpahkan...banyak di antara mereka tidak diterima oleh khalayak, sebab, salah satunya, sudah menaruh rasa benci kepada penulis tersebut sehingga segala produk sama dibencinya.


Sebab lainnya, khalayak sudah dicekoki tuduhan-tuduhan tidak benar terhadap penulis tersebut. Sebab lainnya lagi hasil tulisannya tidak sesuai dengan paham atau mazhab negerinya, sehingga---walaupun telah dibaca, dilarang diedarkan.

Namun demikian, seorang penulis yang menuliskan tulisannya atas dasar dakwah Islam dan meninggikan kalimat Allah serta tidak mengharap upah dari hasilnya kecuali pahala dari dan diterimanya amal ibadah oleh Allah... ia tidak akan menyerah dan merendahkan diri. Selama hayat masih dikandung badan, selama syaraf tangan masih lagi dapat menggoreskan penanya ia tidak akan berhenti sampai Allah yang menghentikan. Ia tidak memperdulikan bahwa tulisannya diterima atau tidak, dibaca atau tidak, namun atas dasar...

Dia telah menurunkan air dari langit, lalu mengalirlah air itu di lembah-lembah sesuai dengan ukurannya. Arus itu membawa buih yang mengambang. Dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buih seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang hak dan batil. Buih akan hilang tidak berguna, sedangkan yang bermanfaat bagi manusia akan menetap di dalam bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.(Ar-Ra'd [13]:17)

Penulis tersebut yakin akan ada suatu generasi yang akan menerima dan menyiarkannya. Selama..... Sekali lagi! Selama tulisan itu didasarkan atas Alquran dan Sunnah Nabi Saw. Keduanya adalah wahyu yang kekal. Maka segala apapun yang didasarkan atasnya, atas izin-Nya, ia akan kekal pula.

Dengan demikian, dibutuhkan keikhlasan dalam menulis sebagai ajang dakwah. Sampai apa yang benar itu benar, dan membantah serta membinasakan yang salah itu salah.

Namun ada satu masalah yang sebenarnya pemecahannya sederhana, yaitu tolok ukur benar dan salah. Ada sementara dari kita mengatakan bahwa "semuanya itu benar", akhirnya jika argumentasinya dibantah secara menghujam, yang keluar dari mulutnya adalah argementum ad hominem, "kau emosional", "kau egois", "kau baperan", "kau idealis", dsb. Pasalnya tolok ukur yang digunakan adalah empirisme dan rasionalisme.

Lain keadaan jika tolok ukurnya adalah Alquran dan Sunnah Nabi Saw. Semua akan tuntas jika dikembalikan kepadanya, serta---yang paling penting dan menentukan---menerima dengan rasa cinta kepada dua sumber itu dan membuang pendapat salah yang selama ini dipegangnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).(An-Nis' [4]:59)

Namun, yang paling mendasar lagi agar bisa menerima atau tidak adalah apa akidah kita? Islamiyyah atau bukan? Sahihah atau tidak? ... Apa ideologi kita? Atas dasar Islam atau Liberal atau komunis?

Semua ditentukan oleh siapa pendidik kita? ahli dalam agama Islam serta mengamalkan ataukah 'sok ahli'... Dan lagi siapa pendidik (sekolah) pertama (madrasah ula) kita... Ibunda kita? Atau bimbel-bimbel?

Yang menanamkan akidah Islam yang Sahih adalah orang tua kita yang dari mereka kita lahir di dunia 'tuk siap bertarung!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun