Pemilu 2024 sudah di depan mata, hanya tinggal menghitung bulan saja. Dalam helatan lima tahunan tersebut paling tidak rakyat akan memiliki calon Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten atau Kota. Sebagai kontestasi politik kekuasaan, pemilu nanti bakal menemui beragam tantangan. Tantangan tersebut bisa berupa ancaman yang dapat kian memperburuk citra pemilu sebagai Pilar demokrasi.
Salah satu ancaman yang tampak sangat serius pemilu 2024 adalah politik uang (Money Politics), kenapa begitu? Sebab Money Politics bukan sekedar menjadi persoalan pemilu yang menggurita, tapi juga menjadi akar persoalan korupsi yang hingga kini kian sistemik. Bahkan sudah menjadi asumsi semua orang, bahwa Politik elektoral yang diraih melalui Money Politics, hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak fair dan juga wakil rakyat yang koruptif.
Telah terkonfirmasi baik seacara data maupun dari cerita-cerita dari akar rumput bahwa setiap helatan demokrasi (pemilu) selalu diwarnai dengan jual beli suara atau suap menyuap untuk memenangkan salah satu calon. Ironisnya, kecurangan semacam itu sulit diungkap. Selain karena rumitnya proses pembuktian, barangkali karena masyarakat juga acuh untuk ikut mengawasi dan melaporkan, bisa jadi juga belum ada keseriusan untuk menanganinya.
Menurut hasil jajak pendapat Litbang Kompas kepada 505 responden nasional yang menyebutkan sekitar 36,5 persen responden menyatakan pernah mengetahui ataupun mengalami secara langsung pemberian uang yang dilakukan oleh kontestan di pemilu. Namun, sebagian besar yang mengetahui langsung praktek tersebut enggan melaporkan ke pihak yang berwenang. Selain itu, hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019 menguraikan bahwa, sebanyak 48% masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa.
Saking mengguritanya, wabah (virus) politik uang rupanya juga tidak hanya melibatkan peserta pemilu dan pemilih (voters). Tapi, secara fakta juga menyeret penyelenggara terlibat di dalam pusaran Electoral malpractice tersebut. Misalnya, kasus semacam itu beberapa kali sudah terjadi dalam helatan pemilu. Disadari atau tidak, jelas politik uang merusak citra pemilu sebagai wujud sistem negara demokrasi dan merendahkan harga diri kedaulatan rakyat.
Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya, pada Pemilu 2014 Ketua dan anggota KPUD di Kabupaten Serang  diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik, yaitu menerima suap berupa permintaan dana keamanan. Pada  Pilkada 2018, Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisioner KPU KPUD di Garut ditangkap karena menerima suap  dalam bentuk uang dan mobil dari salah satu calon kepala daerah. Kemudian, tahun 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam operasi tangkap tangan karena suap.
Potret buram catatan perjalan pemilu yang terurai di atas, cukup menjadi alasan, agar kita semua berkomitmen bagaimana mewujudkan pemilu 2024 nanti bisa betul-betul bersih dari pelanggaran termasuk kecurangan berupa politik uang. Komitmen tersebut bisa ditujukan oleh peran-peran kita bagaimana mencegahnya.
Bahaya Laten Politik Uang
James Pollock (1920) menyatakan, relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Persoalan tersebut akan memberi dampak buruk yang sangat krusial. Sejumlah dampak buruh tersebut misalnya; semakin tumbuh suburnya perilaku korupsi, merusak citra demokrasi, merendahkan harkat martabat kedaulatan rakyat, semakin mahalnya biaya politik dan semakin langkanya mencari pemimpin dan wakil rakyat yang jujur dan adil.
Pertama, cikal bakal sebuah perilaku koruptif seorang pemimpin atau wakil rakyat, katakanlah itu DPR RI, DPRD Provinsi dan kabupaten atau kota atau pun kepala daerah tidak terlepas dari budaya suap dalam politik elektoral (pemilu). Kemenangan yang yang didapat melalui membeli suara, jelas bakal mengenyampingkan persoalan pembangunan atau agenda perubahan yang seharusnya dilakukan legislatif mau eksekutif atau oleh kepala daerah.
Kedua, merusak citra demokrasi. Politik elektoral (pemilu) merupakan wujud nyata demokrasi Indonesia. Pemilu sebagai instrumen demokrasi harusnya berjalan sesuai amanat konstitusi (Baca: UUD 1945 pasal 22E). Namun, praktek politik uang telah mencederai dan merusak kesucian demokrasi, sebab tidak sesuai dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.