Mohon tunggu...
Zohratul Asvi
Zohratul Asvi Mohon Tunggu... Auditor - Mahasiswa

Mahasiswa UIN mataram Berkontribusi dalam pembangunan pendidikan yang berkelanjutan dan efektif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkah Biji Jagung

21 Oktober 2022   07:12 Diperbarui: 21 Oktober 2022   07:15 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari pagi bersinar dari arah timur, menggebleng para pekerja untuk melanjutkan aktivitas rutinnya. Menyapa burung-burung yang masih berkicau disertai  suara indahnya. Terlihat pasangan suami istri yang menempati rumah kontrakan yang sempit, tampak begitu senang  akan hadirnya seorang anak yang membuat hari-harinya terasa bahagia. Akan tetapi, pasangan tersebut mengalami perekonomian yang kritis. Sehingga biaya untuk persalinan sang istri masih geleng-geleng untuk di pikirkan. 

"Pak, apakah bulan ini biaya untuk persalinan sudah ada?" Tanya sang istri dengan suara yang lemah.

"InsyaAllah Bun, tapi Bunda  yang sabar ya, masalah rezeki udah ada yang ngatur"

"Iya, Bunda tau, tapi apakah uangnya sudah terkumpul?"

Pertanyaan seperti itu terus dilontarkan oleh sang istri, sehingga sang suami malas untuk menjawabnya lantaran biaya persalinan belum tersedia.  Keseharian sang suami bekerja sebagai sol sepatu keliling, sementara sang istri sebagai Ibu rumah tangga.

Mereka berdua memutuskan untuk pindah ke Desa. Sebab sang suami  kesulitan mencari penghasilan tambahan, hingga biaya persalinan pun tidak kunjung ia dapatkan.

"Bun, rencana bapak ingin ke Desa, kalok menurut Bunda gimana?" Sambil memegang pundak sang istri.

"Loh, kok tiba-tiba ngajak pindah ke Desa" Dengan tersenyum memandangi sang suami.

" Ya begitulah Bun, pendapatan bapak di sini cuma seberapa, bisa di hitung setiap harinya. Emang Bunda tidak merasa pendapatan Bapak masih kurang? Ini untuk persalinannya aja Bapak malu, tidak bisa nabung, pendapatannya pas-pasan" Dengan suara sedikit kecewa.

" Bunda tau pak. Tapi apakah bapak sanggup untuk bertahan hidup di Desa? Bapak kan tidak biasa bekerja di sawah"

" Ya kita harus berusaha bun, nanti sedikit-sedikit bapak juga bisa bekerja di Desa"

" Baiklah kalok begitu. Bunda ngikut aja, yang terpenting Bapak bisa mengubah perekonomian kita yang masih kritis ini"

Satu minggu kemudian mereka berangkat pergi ke Desa. Setelah sampai di Desa, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sebuah gubuk kecil. Dimana ada sebuah rumah kayu yang beratap bambu yang akan mereka tempati. Rumah tersebut merupakan peninggalan dari almarhum orang tua sang istri.

Sepertinya sang suami tidak begitu nyaman tinggal di Desa, sebab baru pertama kalinya ke Desa. Sang suami masih berfikir mau kerja apa untuk menyambung hidupnya dan biaya persalinan sang istri.

Kamar kecil dengan jendela yang lapuk, di penuhi asap mengepul yang keluar dari celah-celah sempit. Beraroma sedap dan lezat.

"Hmmm, enak sekali baunya. Bunda lagi masak apa?" Tanya sang suami di balik pintu.

"Hmmm. Bunda lagi goreng ikan mujair sama masak sayur bening. Bapak udah lapar? Nanti kita samaan makan siangnya ya Pak?"

"Pantesan baunya enak dan lezat. Bunda lagi goreng ikan mujair kesukaan Bapak." Sambil tersenyum dan menatap ke arah sang  istri. "Iya Bun. Darimana Bunda dapat uang untuk membeli ikan mujair?"  Tanya sang suami.

"Tadi tidak sengaja bertemu sama teman lama di jalan. Kebetulan dia juga bawa ikan banyak, jadinya di bagi setengahnya buat Bunda."

Sang suami menatap lamat-lamat sang istri dengan raut wajah yang termangu.                                                  

" Maafkan Bapak belum bisa menafkahi Bunda dengan semestinya" Dengan memegang tangan sang istri yang sedang memasak.

Sambil menghentikan memasaknya " Sudah, tidak apa-apa Pak. Kalau kita berusaha pasti tidak dikhianati oleh hasil. Mmm, ooya sekarang Bapak bisa memanfaatkan lahan yang ada di belakang rumah untuk pertanian. Ya bisa kita bilang lahannya cukup untuk menanam kebutuhan kita sehari-hari. Bapak coba aja dulu"

" InsyaAllah besok Bapak coba Bun" Dengan raut wajah sedikit tenang.                                      

Beberapa hari kemudian, sang suami mulai bekerja seharian di sawah dengan rasa lelah dan dahaga. Ia memanfaatkan sedikit lahan yang ada di belakang rumah dengan menanaminya sayur-sayuran. Sang istri memanfaatkan tanaman tersebut untuk di masak dan sebagai penghasilan tambahan. Hari-harinya di manfaatkan untuk mengurus sebidang tanah. Dengan pekerjaan seperti itulah mereka dapat menyambung hidup.

Musim penghujan telah tiba disertai angin yang kencang. Pagi yang cerah hilang dimakan gelap. Semburat petir berbentuk akar serabut kembali terdengar. Rintikan hujan semakin besar jatuh ke permukaan tanah. Angin yang seakan ingin menghantam seluruh jagat raya, tidak bisa dielakkan untuk berhenti. Rasa dingin dan ketakutan sungguh keterlaluan, datang tanpa sengaja membuat makhluk tidak bisa bertahan.

 Pada tahun ini seluruh para petani mengalami kegagalan panen. Kegagalan yang membuat untuk mengorbankan  kerja keras dan biaya. Para saudagar semakin kesulitan khususnya untuk mencari kebutuhan pokok. Harga semua barang semain naik. Begitu juga dengan sepasang suami istri yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah dan ibu. Nasibnya sama seperti para petani yang mengalami gagal panen. Tanaman yang ada di belakang rumah tampaknya rusak diterjang hujan dan angin. 

Sepasang suami istri itu tampak cemas dengan keadaan yang menimpanya. Kebutuhan sehari-hari nampaknya tidak bisa terpenuhi. Harga kebutuhan pokok makin hari semakin naik. Sang suami sudah kehilangan mata pencaharian. Disusul dengan kondisi sang istri yang sebentar lagi akan melahirkan, membuatnya semakin membisu. Didepan kursi yang reot  terlihat segelintir sebutir biji jagung yang kehilangan tongkolnya, diambil biji jagung tersebut oleh sang suami. Dia melihat biji itu secara seksama dan tidak berhenti-henti untuk mengamatinya.  "Aneh tidak seperti biasanya suamiku seperti orang gila" Lirihnya sang istri mengintipnya dari belakang pintu. Dalam keadaan yang masih gila itu  ia menemukan solusi untuk memperbaiki ekonominya yang tipis.

Setelah satu minggu kemudian cuaca kembali membaik, para petani memulai kerjanya dengan bermain cangkul yang dipundak. Sang suami melanjutkan kerjanya dengan mulai menanam biji jagung.  "Walaupun hanya sebiji tidak masalah bagiku" Ungkap sang suami dengan perasaan yang senang. Sang istri semakin dibuatnya tertawa.

"Pak, mana mungkin kita bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kita dengan menanam satu biji jagung, bapak aneh-aneh aja fikirannya. Lebih baik bapak menanam sayuran, kan bisa kita pakek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari" Pinta sang istri kepada sang suami.

"Sudahlah bun, kita sabar saja. Lagi pula bapak tidak punya uang untuk membeli bibit-bibit sayuran. Kita lihat saja dulu hasilnya bun, kalau biji jagung ini tidak dapat mendatangkan rezeki bagi kita, bapak akan mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita. Lagi pula bunda kan tinggal dua bulan lagi untuk melahirkan, bapak pikir biji jagung ini bisa untuk biaya persalinan bunda. Disamping itu juga bapak akan mencari pekerjaan sampingan untuk biaya persalinan dan kebutuhan sehari-hari"

" Iya sudahlah pak, bunda ngikut saja apa kata bapak"

" Terimakasih ya bun" Sambil merangkul sang istri dengan perasaan yang senang.  

Dua bulan kemudian, sang istri melahirkan anak laki-laki. Rasa senang dan haru timbul diantara mereka berdua. Tetapi biaya persalinan belum ada. Terpaksalah sang suami mencari pinjaman ke tetangga. Sang suami langsung mendapat omelan dari sang istri setelah bersalin. Dia hanya terdiam dan tertunduk. Tapi sang suami percaya, bahwa setiap yang ditanam pasti akan mendatangkan manfaat.

Selanjutnya biji jagung tersebut berbuah banyak. Dan sebagiannya di masak dan di tanam. Satu tahun kemudian rezeki itu datang secara tiba-tiba. Harga jagung naik, dan keluarga kecil itu sangat beruntung. Sekali panen harganya sudah mencapai ratusan ribu. Sang suami bisa melunasi hutangnya kepada tetangga. Perjuangannya tidak sia-sia walaupun sering bertengkar setiap hari bersama istrinya. Jagung tersebut setiap tahunnya berbuah lebat dan tumbuh subur.

"Tidak terasa, semua pengorbananku dapat aku petik hikmahnya" Sambil menatap rumahnya yang bertiang beton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun