" Baiklah kalok begitu. Bunda ngikut aja, yang terpenting Bapak bisa mengubah perekonomian kita yang masih kritis ini"
Satu minggu kemudian mereka berangkat pergi ke Desa. Setelah sampai di Desa, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sebuah gubuk kecil. Dimana ada sebuah rumah kayu yang beratap bambu yang akan mereka tempati. Rumah tersebut merupakan peninggalan dari almarhum orang tua sang istri.
Sepertinya sang suami tidak begitu nyaman tinggal di Desa, sebab baru pertama kalinya ke Desa. Sang suami masih berfikir mau kerja apa untuk menyambung hidupnya dan biaya persalinan sang istri.
Kamar kecil dengan jendela yang lapuk, di penuhi asap mengepul yang keluar dari celah-celah sempit. Beraroma sedap dan lezat.
"Hmmm, enak sekali baunya. Bunda lagi masak apa?" Tanya sang suami di balik pintu.
"Hmmm. Bunda lagi goreng ikan mujair sama masak sayur bening. Bapak udah lapar? Nanti kita samaan makan siangnya ya Pak?"
"Pantesan baunya enak dan lezat. Bunda lagi goreng ikan mujair kesukaan Bapak." Sambil tersenyum dan menatap ke arah sang  istri. "Iya Bun. Darimana Bunda dapat uang untuk membeli ikan mujair?"  Tanya sang suami.
"Tadi tidak sengaja bertemu sama teman lama di jalan. Kebetulan dia juga bawa ikan banyak, jadinya di bagi setengahnya buat Bunda."
Sang suami menatap lamat-lamat sang istri dengan raut wajah yang termangu. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
" Maafkan Bapak belum bisa menafkahi Bunda dengan semestinya" Dengan memegang tangan sang istri yang sedang memasak.
Sambil menghentikan memasaknya " Sudah, tidak apa-apa Pak. Kalau kita berusaha pasti tidak dikhianati oleh hasil. Mmm, ooya sekarang Bapak bisa memanfaatkan lahan yang ada di belakang rumah untuk pertanian. Ya bisa kita bilang lahannya cukup untuk menanam kebutuhan kita sehari-hari. Bapak coba aja dulu"