Mohon tunggu...
Sarah Nurul Khotimah
Sarah Nurul Khotimah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Unpad Bandung; buku, musik, film, game, dan perjalanan ... http://zohrahs.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Membaca" Film Supernova

27 Desember 2014   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia mampu bertanya tanpa batas. Itu adalah hasil proses berpikir sebagai tanda bahwa ruh dan jasad manusia tersebut ‘masih hidup’. Manusia mencari jawaban dari orang tuanya, dari orang-orang di sekitarnya, dari kenalannya, dari gurunya, dari media yang menyambungkannya dengan orang yang tidak dikenal; buku, teve, radio, internet. Lantas, ketika pertanyaan-pertanyaannya tidak lagi ditemukan jawabannya, sampai pada pucuk pertanyaan-pertanyaan sehingga yang dilihat hanyalah jawaban yang mengawang, maka manusia akan membuat jawabannya sendiri. Karena manusia memiliki kemampuan berpikir tanpa batas, diburu oleh hasrat manusia yang tidak pernah puas jika tanda tanyanya tak terjawab, muncullah mitos dan khayalan yang akhirnya dipercaya oleh sebagian yang lain.

Berhati-hatilah.

Racauan di atas muncul ketika pertama kali saya membaca novel Supernova di tahun 2008. Novel tersebut sudah terbit sejak tahun 2001. Dan, tahun ini, 2014, muncul film yang diadaptasi dari sekuel pertama Supernova tersebut. Dua minggu lalu saya baru menonton film itu dengan sepupu saya. Saya baru sempat mengulasnya malam ini setelah terlepas dari beberapa tanggung jawab.

#1 Dagang dalam berkarya

Ketika berpikir mengenai dagang dan uang, maka kita akan memperbagus packaging. Jualan. Tak jarang, membual. Namun, ketika yang dipikirkan adalah membuat karya yang bagus, maka semua unsur dalam karya akan dilakukan dengan totalitas. Nah, sutradara film ini masuk kategori yang mana? Jualan atau berkarya? Apakah dia benar-benar melakukan casting? Karena yang menjadi tokoh utama dalam film ini setengahnya diambil dari pemain film 5 cm yang dia garap sebelumnya. Mereka ganteng dan cantik, enak dilihat dan wajahnya mudah didagangkan, tapi so sorry … saya mengecek beberapa blog yang memuat review film ini dan lebih banyak dari mereka yang mengatakan: akting mereka nggak banget. kaku. kayak robot. kayak lagi baca. artifisial.

Saya bukan ahli seni peran, namun saya cukup tahu bahwa akting yang baik adalah tidak seperti berakting. Kalau saya urutkan akting yang paling baik sampai akting yang ya ampun … akan menjadi seperti ini: Ferre - Ale - Reubeun - Arwin - Rana - Dimas - Diva. Dan ini bahaya, Diva itu kan … kalau di film Harry Potter dia ibarat Dumbledore-nya. Sang Supernova. Tapi sayangnya aktingnya paling, sorry, jelek.

#2 Skenario macam apa … ini …

Coba tebak, siapa penulis skenarionya? Penulis novel 5 cm. Sepertinya sutradara dan penulis novel 5 cm sudah jadi partner in crime. Tidak masalah kalau garapannya bagus. Yang menjadi mengesalkan adalah karena dia mencaplok 80% dialog dari novelnya. 20%-nya mungkin improvisasi pemain. Sebagai orang yang selalu menghayati bacaan, saya lumayan hapal isi dialognya. Dan, dialog dalam film itu sangat-mirip-sekali-banget-pisan-ya ampun …

Diantara dialog mirip antara novel dan film yang masih saya ingat (karena novenya ada di kosan adik saya jadi saya benar-benar mengandalkan ingatan):

=> “Saya ingin jujur akan sesuatu?” | “Bahwa kamu gay?” | “Kok tahu?” | “Kelihatan kali dengan tempat apartemen kamu …, dengan teman-teman pergaulan kamu. Tenang saja. Memangnya saya bukan.”

=> “Jujur saja, karena pemberitahuanmu yang mendadak, saya belum menyiapkan apa-apa. Hanya biodata standar untuk diisi.”

=> “Kamu bungsu?” | “Kok tahu?” | “Puteri Bungsu dari Kerajaan Bidadari, tidak menyangka aku akan menemukanmu secepat ini?”

=> “Aku sedang tidak selera untuk disiksa.”

=> “Mahal saja banyak yang mau, apalagi kalau saya pasang murah?”

=> “Fee saya yang kurang mahal? Atau kamu yang mulai nagih?”

=> “Hatiku masih meleleh saat kamu memanggilku Puteri.”

=> “Kamu kalah. Aku sudah kangen duluan.” | *lalu puisi* sudah kumenangkan pertaruhan ini … bla … bla … bla …

=> “Re, tolong. Aku diperkosa.”

=> “Ini rumah teman kamu? Dia sudah tidak keluar selama dua hari ini.”

=> “Aku mencintaimu. Setidaknya kita tamat dalam rasa cinta.”

Semua puisi Fere. Semua gumaman Rana. Semua kata-kata dari Supernova. Semua dialog Diva. Sama.

Oke, sebagai orang yang terbiasa dengan hapalan ketika di pesantren, saya memang lumayan mudah mengingat sesuatu kalau sedang niat. Banyak kan orang seperti ini.

Mengenai novel yang akhirnya diadaptasi menjadi film, menurut saya nggak masalah jika film tidak menceritakan detail novel. Dalam film-film adaptasi yang lain, saya hampir jarang membandingkan antara film dan novelnya karena berbeda antara saya menjadi pembaca dan saya menjadi penonton. Menurut saya adaptasi film yang bagus adalah yang membuat cerita serupa tapi membuat penonton tidak terlalu terbayang-bayang novelnya ketika menonton. Yang mengganggu justru ketika saya menonton, saya ‘dipaksa membaca’ (lagi).

Ketika saya menonton Perahu Kertas yang skenarionya ditulis oleh penulis novelnya sendiri, saya menyadari bahwa film bagus yang diadaptasi dari novel adalah yang membuat penonton melupkan novelnya. Coba saya ingat beberapa dialog antara film dan novel yang berbeda tapi memiliki makna yang sama dan akhirnya menyajikan hal baru yang tidak membosankan.

Novel: Lagu Karmachamaleon diputar ketika Kugy packing. | Film: Lagu Karmachamaleon diteriakan oleh Kugy dan Keenan.

Novel: “Aku nggak tahu, ya, kamu ini datang dari planet mana.” | Film: “Aku nggak tahu, ya, selama ini kamu hidup di gua mana.”

Novel: Cerita Kugy pindah ke Bandung diceritakan dalam narasi. | Cerita Kugy pindah ke Bandung disampaikan melalui surat untuk Neptunus.

Surat-surat yang ditulis Kugy juga kayaknya nggak setiap katanya sama. Plotnya pun tidak mengikuti semua isi novel meski penulis skenarionya adalah penulis novelnya. Dan, dialog yang tidak ada di novel tapi ada di film. “Nggak mungkin, kan, aku masuk fakultas peternakan. Ya, Sastra lah yang paling mendekati.”

=> “Welcome to my Kingdom.”

=> “Welcome to the Jungle.”

=> “Mendengar kamu bilang gitu rasanya kayak digaplok.”

Yang terjadi ketika saya menonton Supernova adalah, “Ya ampun … saya bosan dengan dialog ini. Kenapa penulis skenarionya nggak kreatif, sih … Ini yakin plotnya sama banget? Bikin skenario kayak begini mah gampang. Tinggal nyontek di novel. Payah.” Lalu menonton dengan wajah datar. Kalau saya jadi penulis skenario, saya akan membuka film dengan layar komputer bertuliskan selamat datang dari Supernova dan tulisan mengenai taman kanak-kanak. Lalu mengenalkan para tokoh. Rana sedang mewawancara. Arwin sedang di lapangan. Ferre pulang mengunjungi makam pengasuhnya di California (ini karangan saya, di novel nggak ada Ferre mengunjungi makam). Lalu Dimas dan Reubeun berjabat tangan. Cerita dimulai.

#3 Adegan-adegan yang, ng …

Film ini tertolong dengan view dan animasi yang bagus banget. Applause. Tapi, please … adegan dimana Ferre terserap ke dalam dimensi yang mempertemukannya dengan Diva itu terlalu … apa, ya. Maksa. Orang yang belajar psikologi mungkin tahu mengenai ‘teori cermin’. Bahwa manusia bercermin kepada sekelilingnya. Orang yang mengetahui tentang konspirasi pasti tahu bahwa cermin selalu dipakai oleh simbol, yeah, salah satu organisasi you-know-what. Tapi setahu saya cermin dalam Supernova antara Ferre dan Diva bukan keduanya. Atau mungkin keduanya. Yang jelas tanpa mengetahui makna cermin itu, penonton hanya akan menganggap itu adegan tambahan mengenai kegalauan Ferre. Bagi saya, adegan itu menjadi menarik hanya karena ada (sepertinya) Sarvara disana. Saya jadi menyimpulkan bawah Ferre adalah musuh Alfa yang dikejar-kejar oleh Sarvara. Itu agak mengacaukan cerita, sih. Kecuali jika memang penulis novelnya yang menyuruhnya memunculkan Sarvara disana.

Adegan mindblindness antara Diva dan Ferre itu bagus. Dimana ketika  mereka bertemu muncullah Diva dan Ferre versi dimensi berbeda yang berkata-kata tapi tak bersuara, waktu tidak berjalan, dll. But sorry, penulis skenario, adegan itu dirusak karena akting dan dialog pemainnya yang membuatnya jadi awkward dan aneh … Dari awal saya dan sepupu saya melihat trailer film ini, kami berdua hanya tertawa-tawa dan terus-terusan berkomentar: kenapa, sih, cara ngomongnya lebay banget? perasaan pas baca novel ini kita nggak membayangkan dialog sedrama ini.

Adegan terbaik menurut saya: saat Arwin menabrak rumah Ferre dan menembakan pistol. Mungkin karena di adegan itu nggak ada dialognya. Haha.

#4 Yakin ending-nya ini?

"Supernova KPBJ bercerita tentang evolusi spiritual yang terjadi pada tokoh-tokohnya melalui beberapa konflik—antara lain cinta segitiga dan jejaring misterius yang dijalin tokoh cyber bernama Supernova—yang kemudian mengubah pandangan mereka tentang eksistensi dan jatidiri mereka.” Dewi Lestari dalam blog-nya.

See? MENGUBAH PANDANGAN MEREKA. Ketika di akhir film ini diceritakan  bahwa Rana masih mencintai Ferre dan masih menyesal hidup bersama dengan Arwin, maka pandangan siapa yang berubah? Hanya Ferre yang akhirnya mengobrol riang dengan Diva dengan teh panas yang mengepul. Rana nggak begitu, Bos. Novel ini menjadi punya nilai (setelah dirasuki kondisi pasangan gay dan perselingkuhan) adalah karena akhirnya Rana sadar dan mampu menentukan apa yang menurutnya benar dan baik. Saya sangat terganggu saat di film ini ending-nya malah menunjukan kalau Rana masih wanita yang bodoh karena jatuh cinta. Hih. Jangan-jangan gara-gara penulis skenarionya cowok, jadi dia ingin menunjukan bahwa pilihan Rana meninggalkan Ferre itu salah. Ini bukan sekedar masalah jatuh cinta, Bro. Bukan. Bahkan dalam literatur psikologi, kasus semacam ini jadi contoh teori tentang “Makna muncul ketika kita mengambil keputusan”.

Jatuh cinta hanya permainan hormon dopamin, endorfin, feromon, oksitosin, norepinephrine, dan merembet ke hal lain dalam tubuh yang tidak terkontrol namun tetap bisa direm secara sadar. Orang yang menjadi tidak rasional ketika jatuh cinta adalah orang yang mengalami gangguan hormon dan membuat otaknya tidak stabil. I hate the ending so much.

#5 Siapa Antagonis? Siapa Protagonis?

Ini menarik. Kita terbiasa dengan film yang menunjukan bahwa si protagonis benar dan si antagonis salah. Makanya dalam kehidupan, kita terbiasa dengan pendapat bahwa kalau saya benar, maka kamu salah. Dalam film ini, tokoh uttamanya gay dan tokoh yang lainnya selingkuh. Nah loh.

Saranku, luaskan cara berpikir kita. Ada film yang sebenarnya memberikan pesan bahwa si pemeran utama melakukan kesalahan. Ada film yang menunjukan bahwa kehidupan sang tokoh utama seharusnya tidak dilakukan. Ada film yang bercerita mengenai hal tabu yang masih diperdebatkan tanpa ujung. Nah, film ini mengandung ketiga unsur konsep di atas. Ada yang gay, dalam film ini itu benar atau salah? Salah. Makanya Reubeun, yang beragama Yahudi, berkata, “Orang tuaku bilang kalau Yahweh melemparku ke neraka bersama kaum Sodom, dia bakalan ikut. Karena kalau aku ini produk gagal, berarti mereka juga gagal.”

Sebenarnya tidak ada unsur pembenaran gay dalam film ini. Tepatnya, film ini menunjukan hal yang tabu. Memang, saya setuju jika dikatakan bahwa seharusnya hal ini tidak boleh ditunjukan di publik. Karena jika ada orang yang gay menonton film ini, dia jadi merasa diakui dan tenang karena ada orang yang menganggap ini bukan aib karena telah diangkat menjadi karakter pemeran utama di film. Parahnya lagi jika ada orang normal yang sedang bimbang mengenai orientasi seskualnya dan memilih menjadi gay gara-gara film ini.

Jadi, ini bukan tentang perang pemikiran antara film ini dan aturan agama karena sekali lagi tidak ada pembenaran dalam film ini. Perang ini untukmu. Untuk setiap individu yang menonton. Bagaimana kamu menanggapinya? Memahaminya. Menyikapinya.

Untuk kasus perselingkuhan. Ini kembali mengenai hal yang tabu. Tidak ada pembenaran dalam hal ini. Daripada memikirkan mengenai konsep cinta segitiga dalam film ini, saya lebih tertarik berpikir mengenai konsep menentukan pilihan dan bersikap. Jadi, coba lain kali jangan bergumul soal apakah ini benar atau salah jika ternyata dalam keseharian kita, khususnya dalam agama, hal itu sudah jelas. Saya lebih mengusulkan memikirkan sisi lain, misalnya kenapa ketidaknormalan ini bisa terjadi dan bagaimana menghindarinya. Atau jika kita sudah terjebak di dalamnya, bagaimana kita bisa mengontrolnya agar kembali kepada kenormalan.

#6 Apakah Supernova sesat?

Saya membaca novel ini beberapa bulan setelah saya pindah dari Pesantren ke Aliyah. Di halaman-halaman awal saya sudah antipati dengan novel ini karena memunculkan pasangan gay. Hello … jangankan yang gay, orang pacaran saja dicemooh di pesantren. Tapi saya menamatkan buku ini untuk sekedar memenuhi keingintahuan saya. Sama seperti ketika saya membaca-baca injil karena ingin memastikan apakah pasal-pasal dan ayat aneh yang saya dengar benar-benar ada di injil.

Saya harus memberitahu jika kalian masih terbiasa membenarkan sesuatu yang dirasa masuk akal, maka berhati-hatilah membaca buku seperti ini. Islam bukan berdasarkan akal pikiran. Saya sudah terjebak sejak tsanawiyyah (SMP) saat tidak sengaja menemukan buku “Iblis Menggugat Tuhan” di Perpustakaan Daerah Jabar, Soreang. Dan, saya ditegur, tentu saja. Tapi karena sudah terbiasa dengan bacaan seperti itu, saya jadi kebal, apapun yang saya baca maka saya akan mengembalikan semuanya kepada apa yang Islam ajarkan.

Menurut saya, kita jangan bangga ketika mempertanyakan sesuatu yang tidak dpikirkan oleh orang lain dalam hal keyakinan. Saya justru iri kepada mereka yang Allah kuatkan imannya tanpa harus menanyakan hal-hal sepele yang malah merugikan imanmu sendiri. Iman itu mahal, loh. Dibayar dengan kesediaan kita untuk mengerem proses otak kita sendiri yang memilih untuk berhenti mempertanyakan hal yang tidak perlu.

Saya pernah melihat sebuah kaos oblong bertuliskan, “Tuhan, agamamu apa?” Sebagai orang yang hidup di lingkungan santri, saya tidak pernah mempertanyakan hal-hal seperti itu. Tapi melalui mereka saya jadi tahu apa yang mereka rasakan dan pikirkan tanpa harus ikut-ikutan.

Begitulah Supernova. Di novel pertama, maupun selanjutnya. Penulis novelnya terlahir sebagai Nasrani yang banyak mempertanyakan mengenai agamanya. Dia dan suaminya mempelajari banyak agama. Membaca banyak buku tentang agama, Tuhan, keyakinan, dsb. Dalam satu hari dia bisa menghabiskan 2-3 buku saking penasarannya. Akhirnya dia memilih pindah ke agama Buddha bersama suaminya. Kini, suaminya malah menjadi seorang muslim.

Sesatkah mereka? Sesatkah Supernova? Tersesat, mungkin iya. Kacaunya, dia menyebarluaskan kondisi tersesatnya kepada dunia.

Jangan antipati. Ada hal-hal yang bisa kita ambil dari Supernova. Sangat banyak. Hanya saja kita harus mampu mengulitinya. Memikirkannya berulang-ulang dari berbagai cara pikir. Misalnya, ketika Supernova mengatakan: “Saya khawatir kita tidak sedang membicarakan Tuhan dalam persepsi yang sama.” Dalam Supernova - Partikel dimana tokohnya adalah muslim diceritakan bahwa sang tokoh ketika masih kecil merasa heran, kenapa Tuhan begitu pemarah. Dia selalu digambarkan suka menghukum dan menyiksa. Benar, kan, kadang kita mengancam seorang anak kecil dengan … jangan begitu, dosa … nanti masuk neraka.

Saya merespon hal-hal di atas dengan qudsi, “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku.” Jadi, alih-alih ikut berpikir Dia ingin menghukum dan menyiksa karena marah, saya selalu kepedean dengan mencoba berpikir Allah mencintaiku, begitu mencintaiku. Dia tidak mau aku masuk neraka. Dia terlalu mencintaiku sehingga mengingatkanku berkali-kali agar aku tak berbuat kesalahan yang akan aku sesali nantinya. Allah mencintaiku dengan begitu besar sampai rasanya aku malu jika mengabaikan-Nya.

Saya memahami hadis qudsi itu setelah membaca Supernova yang teologinya cukup liar.

Lain kali mungkin saya akan mengupas segala ‘ajaran Supernova’ di kelima bukunya yang seharusnya bisa kita terima dengan wujud lain. Misalnya, dalam Supernova- Gelombang. Dalam tariler bukunya, setiap saya mendengar kata: Hati-hati, Gelombang. Yang saya tangkap adalah Alfa, Sang Gelombang, harus berhati-hati dari gangguan bisikan atau godaan iblis. By the way, agama yang dianut oleh Alfa adalah agama adat dari Batak, seperti Sunda Wiwitan di suku Sunda. Saya lupa nama agamanya apa.

Membaca kegelisahan-kegelisahan tokoh Supernova, membuat saya bersyukur dengan lingkungan keluarga yang religius, guru ngaji madrasah, ustad di pesantren, aktivis dakwah kampus, dll. Dan, semakin saya mengetahui apa yang dipikirkan oleh-oleh orang selain di lingkungan saya itu, saya jadi mengenal Allah dengan cara lain. Seperti yang pernah saya tulis, kadang kita mendapatkan kebaikan dari para pendosa. Mereka yang melakukan dosa, kita yang belajar bahwa itu seharusnya tidak dilakukan.

Sahabat saya pernah berpesan bahwa saya seharusnya berhenti membaca-baca buku seperti itu. Lebih baik membaca buku fiqih, sejarah islam, syarah hadis, tafsir quran, dan semua yang pernah saya pelajari untuk menjaganya. Itu benar. Tentu saja saya harus melakukan itu. Tapi saya sedikit greget. Kesal karena novelnya bagus. Pembacanya banyak. Bagaimana kalau ada orang lain di luar sana yang kekeringan akan pengetahuan keagamaan dan terbius pemikiran-pemikiran itu? Atau, bagaimana kalau ada yang membaca tulisan ini tapi malah tidak mengerti apa yang sedang ingin saya sampaikan?

Ah, ayolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun