Di tahun 2016, saya terbelalak mendengar kemenangan besar Partai Republik (Republican Party) yang di pimpin oleh Donald John Trump mengalahkan kandidat pesaingnya, Hillary Clinton dari Partai Demokrat (Democratic Party) melalui channel CNN di YouTube. Hasil analisis saya terhadap Trump memenangi Pemilu 2016 adalah ekonomi dan politik global dihadapkan pada konstelasi perang urat ekonomi antara Cina dan Amerika Serikat (AS) merupakan strategi politik luar negeri AS memulihkan hegemoni ekonomi yang direbut oleh Cina. Donald Trump merupakan raja media massa dan konglomerasi Amerika Serikat, yang selama kampanye mengelu-elukan make American great again in Industrial Revolution 4.0 menjadi paradoksal di batin dan pikiran saya. Mengapa menjadi kegundahan hati saya atas kemenangan Trump? karena secara politik internasional yang berlangsung di dunia membangkitkan kepemimpinan populisme. Kepemimpinan populisme merupakan paradigma baru (new paradigm) di dalam ilmu politik selain a new democracy, yang memiliki tujuan menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan oleh pemerintah saat itu sedang berkuasa. Dalam ilmu politik, populisme menggambarkan suatu masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok: “the pure people” (the good) dan “the corrupt elite” (the bad). Berkembangnya populisme karena ada masyarakat yang teralienasi dan termarjinalkan secara sosiopsikologi akibat-akibat kebijakan pemerintahan yang sedang memerintah tidak pro-rakyat dan melanggengkan oligarkhi.
Kepemimpinan populisme yang merebak di dunia sangat gamblang dijelaskan Jan-Werner Müller. Jan-Werner Müller (2016) pada bukunya yang berjudul “What is Populism?” yang diterbitkan oleh University of Pennsylvania Press membandingkan Donald Trump (USA (United States of America)), Silvio Berlusconi (Italy), Marion Anne Perrine “Marine” Le Pen (France), dan Hugo Chávez (Venezuela) selaku orchestra (orkestra) populisme pasca Perang Dingin dan tragedi 9/11. Tidak hanya AS, Italia, Prancis, dan Venezuela yang terjangkit “virus” populisme yang dilupakan Müller yaitu Vladimir Putin (Russia Federation), David Cameron, Theresia May, dan Alexander Boris de Pfeffel Johnson (United Kingdom), Rodrigo Duterte (Philippines), Recep Tayyip Erdogan (Turky), Andrzej Duda (Poland), Sebastian Kurz (Austria), dan Viktor Orban (Hungary). Pemimpin-pemimpin itu adalah bukti bahwa populisme sudah bangkit dan terus bangkit apabila proponen demokrasi tidak mengekang perkembangan praktek ini. Jan-Werner Müller (2016) termasuk Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2019) Bagaimana Demokrasi Mati: Apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita memberikan opsi bahwa nilai inti dari seorang pemimpin yang populis adalah penolakannya atas keberadaan pluralisme di masyarakat. Analisis tersebut menggambarkan para pemimpin populis selalu mengklaim bahwa dialah satu-satunya orang yang dapat mewakilkan masyarakat secara luas dengan hanya bersandiwara untuk mendapatkan dukungan. Namun, pemimpin populis yang real dapat memimpin pemerintahan yang memang berkomitmen secara moral untuk mewakilkan masyarakat. Bahaya dan dampak psikososial dan politik bagi masyarakat dan negara yang dipimpinnya adalah pemimpin ini dapat dengan mudah mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter yang mengecualikan orang-orang yang tidak dianggap menjadi bagian “masyarakat” menurut pengertian si pemimpin.
Kemenangan Trump berhasil merebut electoral college dari Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Ohio, Florida, Indiana, Iowa, dan North Carolina, yang sebelumnya dikuasai Demokrat di bawah Barack Obama tahun 2008. Tampilnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke 45 begitu kontroversial dan membawa angin nasionalisme populistik rakyat Amerika yang selama kepemimpinan Barack Obama membawa AS kepada kemunduran. Trump ini membawa angin perubahan yang populis terhadap para pendukungnya terkait isu kedigdayaan Cina di bidang ekonomi, politik, dan militer, serta kerja sama multilateral yang tidak menguntungkan AS selama ini. Adapula masalah imigran, masyarakat transnasional, dan minoritas seksual, Timur Tengah dan Islam, Uni Eropa, Afrika, Asia dan Pasifik, kasus ilegal kepemilikan senjata, dan lain-lain yang perlu penanganan “ekstra humanis” dari Amerika Serikat (AS). Populisme yang dibawa Trump membawa anti-imigran dan minoritas seksual, nasionalisme ekonomi politik semu, dan lebih parah adalah kecenderungannya untuk menganggap semua kebijakan dan pendapat yang berlawanan dengan pemikirannya sebagai “musuh besar” masyarakat Amerika Serikat.
Menurut wartawan BBC, Anthony Zurcher (9 November 2016), ada 4 faktor mengapa Trump memenangi pemilu Amerika Serikat tahun 2016. Pertama, para pemilih terutama kelas pekerja kulit putih, terutama yang tidak mengenyam pendidikan universitas, laki-laki dan perempuan, beramai-ramai meninggalkan Demokrat dan memilih calon dari Republik. Mereka meninggalkan Demokrat karena sejak Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Obama mengalami kesulitan untuk menunjukkan eksistensinya hidup di AS dan merasa ditinggal oleh kalangan mapan meskipun ada Obama Care. Mereka yang tinggal di pedesaan menggunakan suara, antara lain dengan tujuan suara mereka didengar. Kedua, adalah langkah Trump melawan tokoh-tokoh mapan ini mengesankan bahwa dirinya adalah orang luar dan orang independen. Status ini diperoleh ketika warga sudah tak ingin lagi melihat kelompok mapan berada di panggung politik AS. Ketiga, Direktur FBI (Federal Bureau of Investigation), James Comey, mengeluarkan surat berisi keputusan FBI untuk membuka lagi kasus penggunaan email pribadi dalam korespondensi Clinton sebagai Menteri Luar Negeri AS era Obama. Keempat, yaitu strategi pemasaran dan kampanye politik Donald Trump yang menggunakan media massa seperti Fox News, twitter, dan menggelar rapat-rapat akbar seraya mengirim pesan agar warga menggunakan hak suara dan mencitrakan Partai Republik, partainya rakyat AS yang “humanis”.
Melansir Reuters, berdasarkan laporan Associated Press (2016) dari penghitungan yang masuk menunjukkan Trump telah meraih 304 suara pemilih kolase (electoral collage). Sementara rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, hanya berhasil meraih 227 suara. Tidak lupa, Donald Trump mengampayekan “make America great again (MAGA)” atau membuat Amerika kembali berjaya dari Republik Rakyat Cina. Semboyan tersebut kontras dengan semboyan lawannya, Hillary Clinton yaitu "strong together" yang tak terlalu jelas apa pesan yang mau disampaikan selama debat presiden dan kampanye berlangsung. Publik Amerika tentu menginginkan kepastian dari kandidat calon presiden untuk membawa AS keluar dari defisit perdagangan dengan Republik Rakyat Cina dari tahun 2014. Benjamin Moffitt (2016) di dalam bukunya yang berjudul The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation diterbitkan di Redwood City, California oleh Stanford University Press memaparkan metode kampanye serba anti juga merupakan salah satu ciri khas pemimpin populis: anti-pemerintahan, anti-politik dan kerja sama internasional, anti-masyarakat transnasional, dan anti-elitis. Politik anti ini memberikan ruang gerak bagi pemimpin populis seperti Trump untuk selalu menciptakan ‘musuh’ baru untuk dilawan. Skenario seperti ini membuat si pemimpin terlihat sangat heroic dan kuat seperti strongman leaders, padahal nyatanya tidak mampu merumuskan kebijakan publik dan negara yang rasional dalam menghadapi tantangan dan peluang di era disrupsi Revolusi Industri 4.0 menghadapi Cina.
Secara sejarah politik Amerika Serikat, nilai-nilai Republican Party yang mendarahdaging (enkulturasi) cenderung konservatif, inward outlook, menonjolkan white supremacy, dan religious-fanatics, mampu dieksploitasi secara baik oleh Trump dengan bahasa yang paling provokatif dan progesif dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan politik identitas AS ke dalam perpolitikan global. Kebangkitan Cina yang membuat Amerika Serikat (AS) bertekuk lutut di tahun 2016 membawa Cina kepada masa kedigdayaan di era disrupsi Revolusi Industri 4.0 tidak terlepas dari modernisasi Deng Xiaoping tahun 1976. Pada tahun 1976, Deng Xiaoping mengonsolidasi kader partai konservatif-dogmatis dan moderat-pragmatis untuk membawa agenda modernisasi di Sidang Pleno ke-3 Komite Sentral Partai Komunis Cina (KS PKC) ke-11 tanggal 18-22 Desember 1978 di Beijing yang dihadiri 169 orang dan anggota alternatif dari 112 orang (Hasil Keputusan Sidang Pleno ke-3 Komite Sentral Partai Komunis Cina ke-11 tangal 18-22 Desember 1978). Modernisasi Deng Xiaoping berhasil membuka pemulihan diplomatik dengan Amerika Serikat di tahun 1979, Korea Selatan, Jepang, dan Uni Soviet untuk memperoleh investasi asing (foreign direct investment) bagi pembangunan dalam negeri.
Perkembangan Republik Rakyat Cina berkembang pesat melalui modernisasinya hingga pasca Perang Dingin. Sejak 2009, Cina menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global pasca modernisasi Deng Xioping yang mengantarkannya menjadi jawara dunia dalam bidang manufaktur (sejak 2011), perdagangan (2012), jumlah GDP (2014) dan kelas menengah (2015), sampai pada jumlah triliuner, riset Artificial Intelligence (AI), serta kapasitas energi surya terpasang (2016) (Okezone.com, 2016). Memasuki era disrupsi Revolusi Industri 4.0, Cina mengemas Revolusi Industri 4.0 menjadi strategi ekonomi negara dalam menghadapi kondisi fluktuasi ekonomi global dan domestik. Pada tahun 2015, Cina meluncurkan Made in China 2025 untuk mengembangkan, membangun, dan mengambilalih produksi manufaktur dunia berbasis teknologi sebagai bagian good governance Xi Jinping. Ini bisa dibuktikan banyak perusahaan asing dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan AS yang membangun pabrik di Cina seperti Jepang dengan perusahaan Mabuchi Motor, Canon, dan Toshiba di Dalian, Liaoning (Lam & Graham,2007:253-255). Hal itu untuk mendorong kegiatan produksi industri dalam negeri Cina menjadi kegiatan berbasis ekspor ke luar negeri yang terstandardisasi internasional. Di samping itu, pemerintahannya menggelontorkan dana riset besar-besaran kepada lembaga riset di bidang sains dan teknologi maupun sosial-humaniora untuk memberikan solusi dan alternatif dari strategi pengembangan industri dalam negeri berorientasi ekspor terhadap dampak yang ditimbulkan dari strategi Made in China 2025.
Strategi tersebut menyebabkan Cina membentuk rantai industri paling lengkap di dunia dengan cadangan devisa terbesar yang mampu menciptakan kelas menengah terbesar di dunia dan Asia Timur. Untuk memenuhi strategi Made in China 2025, maka Cina mempersiapkan infrastruktur jaringan internet dan fasilitas pembangunan pelabuhan dan sarana-prasarana lainnya melalui pembangunan di negara-negara Asia dan Afrika. Tentu secara ekonomi politik Cina diuntungkan dengan adanya bantuan pembangunan ke negara-negara itu, karena Cina membutuhkan sumber daya alam juga yang menopang Revolusi Industri 4.0 negaranya sehingga bahan baku yang dibutuhkan untuk pembangunan dalam negeri Cina dibeli dengan harga pasar, bukan diraih dari menjarah dari negara lain seperti negara-negara Barat melalui kolonialisme dan imperialisme abad 18-19. Bahan baku yang didapat kemudian diolah di dalam negeri untuk selanjutnya dijual di bawah kontrak internasional, tidak melalui perang dengan negara lain, akan tetapi melalui kemitraan strategis (strategic partnership).
Tujuan tulisan ini adalah mengevaluasi kemajuan Cina yang menyeret AS pada pertikaian dan hegemoni antara Cina dan AS yang menggeser dan mengubah tatanan ekonomi politik global yang terlanjur terAmerikanisasi dengan memasukkan misi perdamaian dan kemitraan strategis ke dalam One Belt One Road (OBOR) dan China 2049 vision melalui penggunaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Penampilan Cina yang Memukau Dunia dari Modernisasi ke Pengembangan dan Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Memukaunya Cina tidak terlepas dari modernisasi Deng Xiaoping yang meredefinisi komunisme sesuai perkembangan zaman. Modernisasi Cina meletakkan dan memperkuat peran negara seperti Partai Komunis Cina (PKC) dan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) (People’s Liberation Army (PLA)) sebagai kekuatan produktif negara. Kekuatan produktif negara yang dimaksud adalah memaksimalkan individu-individu yang ada di PKC dan TPR dengan memberikan pengetahuan modern dan pengiriman ke luar negeri untuk studi yang berperan andil memberikan masukan di dalam perencanaan negara (state planning). Mereka-mereka ini kemudian menjadi kader yang birokrat-teknokrat yang terdidik dan pemerintah jor-joran menggepuk calon mahasiswa Cina untuk belajar bahasa Inggris. Dikarenakan di dalam Sidang Pleno ke 3 Komite Sentral PKC ke 11 tanggal 18-22 Desember 1978, Deng Xiaoping memaparkan perincian 4 poin modernisasinya menjadi 6 poin kunci (key point) yang salah satunya menurut Gary Stephen Andrasko (2010) pakar politik dari Seton Hall University adalah mempercepat kepemimpinan transisi/kaderisasi dalam bentuk pemimpin dan kader harus berpengetahuan, revolusioner, dan dengan keterampilan khusus menghadapi tantangan perubahan zaman yang semakin cepat. Hal ini berbeda dengan USSR (Union of Socialist Soviet Republic/Uni Soviet), yang menurut Mao Zedong di dalam Empat Karya Filsafat (2001:87-88):
“Uni Soviet di bangun dari pondasi feodalisme dan kapitalisme yang tidak hancur sama sekali ketika komunisme berjaya. Sebab mereka mewujudkan diri sebagai materialisme dialektis yang mengontradiksikan buruh ke dalam ikatan kapitalis sehingga perjuangan kelas tersendat. Sementara di Cina, kekuatan rakyat baru melakukan perubahan sehingga feodalisme dan kapitalisme runtuh dan mengalami pukulan dari kekuatan reaksioner”.
Deng Xiaoping mengubah bentuk kader menjadi perjuangan kelas yang harus ditempuh dengan medelegitimasikan kekuasaan politik di pemerintahan pasca Mao dan melakukan konsolidasi antarfaksi konservatif-dogmatis dan moderat-pragmatis dalam merumuskan kebijakan pembangunan negara di masa mendatang. Pada sidang tersebut menegaskan modernisasi bukan untuk mengganti ideologi komunisme melainkan memperkuat partai dan negara di tengah situasi politik internasional yang berubah melalui redefinisi ideologi komunisme.
“untuk memperkuat demokrasi dalam kehidupan partai dan kehidupan politik negara, jelas garis ideologi partai (komunisme) tidak boleh diganti, memperkuat badan pemerintah maupun badan kerja partai …demi menjaga pondasi yang didirikan oleh founding fathers" (Hasil Keputusan Sidang Pleno ke-3 Komite Sentral PKC ke-11 18-22 Desember 1978).
Di dalam bukunya From Revolutionary Cadres to Party Technocrats in Socialist China, Hong Yung Lee (1991) memaparkan kelompok revisionis-moderat yang membentuk teknokrat-birokrat adalah untuk mempertahankan kader dalam suatu posisi tertentu dengan 3 alasan. Pertama, kader senior adalah generasi revolusioner pertama yang percaya bahwa "mereka yang berkontribusi pada revolusi dibenarkan untuk menjadi kader". Kedua, karena tidak tersedianya kesempatan kerja di luar struktur negara inklusif, rezim tidak memiliki cara untuk membuang personil yang berlebihan setelah pengurangan birokrasi atau kader yang telah menyelesaikan masa jabatannya. Ketiga, negara bertanggung jawab atas semua kader, terlepas dari apakah mereka bertugas aktif atau tidak. Kapabilitas perencanaan strategis sosialis Cina dan kapabilitas integrasi makro ekonomi memastikan stabilitas, persatuan, dan pembangunan yang tertib di bawah komando Partai Komunis Cina (PKC) dan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR).
Strategi politik yang mengupayakan kader menjadi tenaga teknokrat-birokrat tidak hanya bertujuan melindungi negara dari kehancuran perang saudara seperti Revolusi Kebudayaan (1966-1976) dan kepentingan dua negara adidaya, Amerika Serikat di sebelah timur bersama sekutunya Korea Selatan dan Jepang dan Uni Soviet di sebelah barat dan utara bersama sekutunya Mongolia dan negara-negara Asia Tengah tetapi mengamankan posisi kelompok moderat-pragmatis dan Deng Xiaoping melalui sistem kepemimpinan kolektif gerontokrasi. Untuk menjaga agar Cina tidak menjadi arena pertempuran seperti Asia Barat Daya dan Asia Tenggara oleh kedua negara adidaya, maka partai/negara menanggapinya dengan menyusun kebijakan regional dikenal sebagai zhoubian zhengce (kebijakan pinggiran (periphery policy)) dan mulin zhengce (kebijakan tetangga yang baik (good neighbor policy)). Dari 2 kebijakan (pinggiran dan tetangga yang baik) yang menekankan kemitraan strategis maka pemerintah mendistribusikan pembangunan pertanian dan industri ke dalam wilayah zona ekonomi khusus (ZEK). Bob Widyahartono (2004) Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi, dan Sosial China Menuju China Baru halaman 3 memaparkan zona ekonomi khusus (ZEK) meliputi wilayah timur: Ibukota Beijing, Kota Tianjin, Shandong, Kota Shanghai, Guangdong, Guangxi, Hebei, Liaoning, Zhejiang, Jiangsu, Fujian, dan Hainan. Wilayah tengah terdiri dari Jilin, Shanxi, Henan, Hubei, Anhui, Jiangxi, Heilongjiang, Hunan, dan Inner Mongolia sementara wilayah barat meliputi Xinjiang, Tibet, Qinghai, Yunnan, Shaanxi, Gansu, Ningxia, Shicuan, Kota Chongqing, dan Guizhou. ZEK tersebut disebar tidak hanya pembangunan industri dan pertanian tetapi manufaktur, pariwisata, ritel, keuangan, perbankan, bisnis, petrokimia, pertambangan (mining), dan sebagainya. Pembangunan industri di bangun di wilayah-wilayah tertentu sebagai “pilar industri" yang menjadi basis ekspor selain dari sektor pertanian seperti mesin, elektronik, teknologi, petrokimia, mobil, dan bahan konstruksi.
Industri-industri yang menjadi “pilar industri” menjadi supporting system bagi pertanian untuk meningkatkan kualitas hasil produk pertanian berbasis ekspor dengan standardisasi internasional. Kaijiang Tang (2011:215) dalam penelitiannya yang berjudul “Industrial-Organization-Transformation-Oriented Agricultural Modernization with Chinese Characteristics: From the Perspective of Industrial and Agricultural Interaction” di jurnal International Journal of Business and Management, Vol. 6, No. 5 (May 2011): pp. 211-216 menjelaskan seiring dengan perkembangan industri pengolahan hasil pertanian, rantai industri dalam negeri untuk pemrosesan pertanian diperpanjang dan disempurnakan, bahkan mendorong pengembangan perusahaan teknologi tinggi yang berspesialisasi dalam biomedis, rekayasa genetika, rekayasa seluler, rekayasa enzim, dan rekayasa fermentasi berdasarkan produk pertanian primer.
Oleh karena itu, tidak mengherankan pelaksanaan modernisasi ini, dana dari investasi asing mendorong penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang belajar di luar negeri maupun pengembangan di bidang teknologi seperti HP (Lenovo, Xiaomi (lihat gambar 1), dan Huawei), mobil (Cherly and Geerly), laptop, televisi, dan lain sebagainya. Produk-produk Cina tersebut berekspansi ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan pada tahun 2000-2010an. Untuk memerlukan kualitas produk Cina agar bersaing dengan produk dari negara lain, pemerintah pada pergantian tahun 1970an dan 1980an, pengeluaran untuk sains dan teknologi di RRC (lebih dari 6 miliar yuan) berjumlah kira-kira 5% dari anggaran negara dan 1,5% dari GDP. Personil 4.000 organisasi penelitian dan pengembangan (litbang) adalah 300.000 orang, termasuk 130.000 ilmuwan dan insinyur (Vinogradov, Salitskaya, & Salitskii,2016:49).
Munculnya teknologi seperti Lenovo, Xiaomi, Huawei, Cherly and Geerly, televisi, dan lain sebagainya menurut Edward Tse (2018) mengindikasikan pemerintah Cina mengizinkan swasta membangun dan menjalankan bisnisnya yang mengokestrasikan modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak heran, Cina mengembangkan teknologi jor-joran menaruh hasil investasi asing dan kerja sama kemitraan ekonomi strategis selama tahun 1978-1991 untuk pengembangan research and development (R & D). Sains dan teknologi di dalam kebijakan nasional Cina pasca Mao Zedong memiliki kualitas yang lebih membawa kebaikan ekonomi nasional dan pencapaian yang cepat (progressing achievement). Pada tabel 1 menunjukkan dari hasil strategi pemerintah Cina menaruh perhatian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menunjukkan bahwa Huawei dan Xiaomi di tahun 2018 di quartal 1 (Q1) melakukan pengiriman smartphone secara global sebesar 39,3 juta untuk Huawei dan 28,1 juta untuk Xiaomi mengalami lonjakan di quartal 2 (Q2) di tahun 2020 sebesar 54,8 juta untuk Huawei dan 26,5 juta untuk Xiaomi, di mana pengiriman Xiaomi mengalami penyalipan oleh Apple sebesar 37,5 juta. lihat Tabel 1 Global Smartphone Shipments (in millions) di https://www.counterpointresearch.com/global-smartphone-share/
Perang Dagang Amerika Serikat-RRC sebagai Sebuah Paradoksal
Di dalam perang dagang yang digaungkan oleh Trump sangat paradoksal sekali. Mengapa sangat paradoksal? karena Amerika Serikat (AS) bergerak lambat membendung hegemoni ekonomi dan militer Cina melalui membiayaan kepada negara-negara berkembang di Asia dan Afrika sementara Cina melalui AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) dengan kebijakan ekonomi dan militer strategis melalui bantuan pembangunan manusia dan kerjasama multilateral yang intensif tetapi AS masih melakukan impor dengan Cina dan keluar dari kerja sama multilateral. Negara-negara berkembang lebih memilih bekerjasama dengan AIIB daripada IMF (International Monetary Fund) dan WB (World Bank) yang menjerat mereka ke dalam pusaran utang dan pembengkakan APBN. Selain itu, kehadiran AIIB menjawab lembaga keuangan internasional yang ada, seperti IMF, WB, dan ADB (Asian Development Bank) tidak dapat menutupi berbagai kebutuhan pendanaan global atau bantuan dana kepada negara berkembang. Diperkirakan dalam 10 tahun ke depan, negara di Asia membutuhkan US$8 triliun untuk pembangunan infrastruktur (Debora, 2017).
Kerja sama dalam kerangka kerja kemitraan (partnership framework) mengarahkan kepada pengembangan sektor energi dan listrik, transportasi dan telekomunikasi, pariwisata, startup, e-commerce, infrastruktur pedesaan dan pengembangan pertanian, agroekonomi dan agrobisnis, penyediaan air bersih dan sanitasi, perlindungan lingkungan, pembangunan perkotaan, logistik dan lainnya. Langkah Cina tersebut adalah strategi soft diplomacy sebagai bagian dari One Belt One Road (OBOR) menggandeng negara Asia dan Afrika yang juga gencar melakukan pembangunan guna membentuk lembaga keuangan mandiri dalam lingkup regional. Menurut Profesor Hukum Bisnis dari Ohio State University, Daniel Chow (dalam Debora, 2017), AIIB menjadi indikasi pertama bahwa Cina akan menyaingi bahkan berpotensi menjadi penentu aturan keuangan internasional yang selama tujuh dekade terakhir dipegang AS melalui IMF dan Jepang lewat ADB (Asian Development Bank)nya. Pemerintah memberikan perlindungan yang diperlukan bagi sektor-sektor prioritas seperti manufaktur, teknologi, industri, keuangan, bisnis, dan perdagangan selain meningkatkan sektor pertanian di dalam pembangunan infrastruktur kepada negara-negara Asia-Afrika oleh AIIB.
Melihat laju hegemoni ekonomi Cina melalui ekspansi AIIB tersebut pasca Perang Dingin, Amerika Serikat melalui Trump menyuarakan perang dagang internasional dengan Xi Jinping. Perang dagang internasional yang didengungkan AS sangat paradoksal, mengapa begitu? karena AS membatasi impor dengan meningkatkan bea masuk barang, melarang barang tertentu diimpor, membuat standar barang yang masuk menjadi lebih tinggi, barang tertentu harus diuji lagi dan mendapat sertifikasi tambahan. Di sisi lain, paradoksal pada perang dagang Amerika Serikat dengan Cina bersifat ekonomi regional, karena Kanada memperkuat posisinya sebagai pasar utama untuk ekspor AS dan Meksiko tetap menjadi tujuan terpenting kedua AS dalam NAFTA (North America Free Trade Area). Republik Rakyat Cina sekarang mengimpor lebih banyak dari AS daripada saat Trump menjabat, makanya perang dagang sangat paradoksal bagi dunia bahwa AS membutuhkan kerja sama dengan negara lain bukan menutup diri seperti yang dilakukan Republik Demokratik Rakyat Korea Utara yang merupakan sekutu lama (old allied) Cina sejak Perang Korea 1953.
Secara ekonomi internasional, mata uang dollar AS (USD (United States Dollar)) masih memiliki nilai penting di dalam roda perekonomian global daripada mata uang Cina yuan renminbi. Analis Morgan Stanley (dalam Wulandhari & Zuraya, 2020) memberikan analisis bahwa yuan renminbi selalu di devaluasi oleh pemerintah Cina yang menyebabkan nilainya selalu lebih rendah dari dollar. Selain itu, analisis dari penulis adalah devaluasi meningkatkan output GDP Cina, yang sehingga transaksi yang terjadi di dalam negeri menggunakan mata uang sendiri daripada mata uang dollar AS. Hal ini menyebabkan harga suatu barang yang diproduksi di dalam negeri menjadi murah dan orang-orang tidak meningkatkan konsumsi malah menabung. Inilah strategi mengapa barang-barang made in China sangat murah alias harga miring dari biaya produksi. Balik lagi dari analisis Morgan Stanley (dalam Wulandhari & Zuraya, 2020), ia juga memperkirakan kalau devaluasi yen renminbi berakibat kepada telah mendorong lebih banyak lembaga keuangan asing masuk ke pasar domestik. Yuan renminbi pasca Hu Jintao menyumbang sekitar 2% dari aset cadangan devisa global meningkat hingga 5-10% pada 2030, jauh melampaui level yen Jepang, euro Uni Eropa, lira Turki, rubel Rusia, riyal Arab Saudi, dan poundsterling Inggris.
Cina mengandalkan investor asing dengan mengurangi keribetan administrasi dan birokrasi sebagai jaminan keamanan berinvestasi. Di tahun 2020, ketika AS berupaya mengalihkan industri teknologi dan manufakturnya ke India atau Vietnam, investor asing semakin beralih ke pasar Cina karena potensi keuntungan yang relatif lebih tinggi daripada wilayah lain. Arus masuk portofolio investasi menjadi lebih penting daripada investasi asing langsung. Morgan Stanley (dalam Wulandhari & Zuraya, 2020) memprediksi arus masuk secara kumulatif akan mencapai 3 triliun dollar AS. Akan tetapi, analisis Morgan Stanley melupakan keywords yang paling penting yaitu pengaruh Beijing yang semakin meningkat melalui Belt and Road inisiative (BRI) menjadi jangkauan dominasi yuan di kawasan Eurasia dan Afrika karena mengikat banyak negara ke sistem ekonominya, yang membuka jalan bagi yuan ke dalam kontrak perdagangan global. Menurut ahli strategi investasi senior di Vontobel Asset Management, Sven Schubert (dalam Sebayang, 2020) ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan dominasi yuan di kancah global, di antaranya adalah teknologi dan dukungan investasi dari negara dan swasta selaku stakeholders. Salah satu cara lain yang bisa meningkatkan dominasi yuan dan Cina adalah langkah dedollarisasi yang sedang dilakukan Cina seperti kerja sama Rusia dan Cina dalam pembangunan Trans-Eurasia. Laporan tahunan terbaru dari Central Bank of Russia Federation (2020) melaporkan bahwa negara Cina meningkatkan bagian yuan dalam cadangannya, dari lebih dari 2% pada tahun 2018 menjadi lebih dari 14% pada tahun 2019. Pada saat yang sama, negara Cina mengurangi bagian dollar AS dari sekitar 30% menjadi 9,7% saja. Ketika ketegangan Cina-AS meningkat, mempromosikan yuan renminbi sebagai mata uang internasional juga dapat membantu Cina untuk memisahkan diri dari AS, dari analisis Eswar Prasad (2016 dan 2020), seorang profesor ekonomi perdagangan internasional di Cornell University.
Untuk mengatasi dedollarisasi, AS telah memberlakukan kembali kenaikan tarif impor Cina sebesar 25% dari semula 10% untuk barang-barang dan produk buatan Cina senilai US$ 200 miliar. Tarif baru dikenakan pada lebih dari 5.700 kategori produk yang berbeda asal Cina, mulai dari sayur-sayuran olahan hingga lampu Natal dan kursi tinggi untuk bayi (Direktorat Perencanaan Makro dan Analisis Statistik, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI, 2019). Trump menaikkan bea masuk tarif impor kepada lebih dari 1.300 produk asal Cina hingga 25%. Hal itu bila dikaji dari kebijakan politik luar negeri AS, pemerintahan Trump berpendapat bahwa mekanisme multilateral tata kelola ekonomi, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) dan G-20, memiliki efektivitas yang kecil, dan terlebih lagi merugikan kepentingan ekonomi AS. Karena itu, Trump lebih memilih menyelesaikan masalah ekonomi melalui pendekatan sepihak dan bilateral.
Pemerintahan Trump tidak menunjukkan kemauan yang kuat dalam koordinasi multilateral global, dan ini dapat menghalangi kerja sama kebijakan ekonomi besar di antara negara-negara besar. Dengan demikian, tata kelola ekonomi global kemungkinan akan stagnan dari tahun 2016-2020. Menurut data World Bank (2017), impor dan ekspor Amerika Serikat pada tahun 2015 hanya menyumbang 28% dari PDB-nya, sekitar 48% dari rata-rata dunia, terendah di semua ekonomi utama. Berdasarkan data tersebut, dampak perdagangan terhadap ekonomi AS yang relatif kecil, sebaliknya, industri dan bisnis negara lain yang menjadi pesaing akan lebih banyak mengambil langkah untuk meningkatkan daya saingnya. Konsekuensi yang berbeda semakin memperlebar kesenjangan daya saing ekonomi antara beberapa industri dan perusahaan di AS dan di negara lain. Jadi, Trump hanya melakukan gertakan kepada Cina melalui perang dagang. Kebijakan tersebut diambil sebagai upaya untuk memangkas defisit neraca perdagangan AS terhadap Cina yang memiliki kesenjangan hingga US$ 300 miliar sejak tahun 2014 (Farrassati, 2019).
Berarti impor barang dan jasa dari Cina ke Amerika Serikat lebih besar, menyebabkan menurut Nadhira Farrassati (2019) terjadi peningkatan defisit neraca perdagangan AS terhadap Cina tahun 2017 sebesar US$ 375,6 miliar. Selain itu, kebijakan ini juga sebagai upaya balas dendam AS yang menuding Cina telah melakukan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual milik perusahaan AS yang berekspansi di Cina. Sementara Amerika Serikat berusaha untuk mundur dari perdagangan bebas atau membatasinya pada perjanjian bilateral yang memastikan surplus perdagangan yang sehat, seluruh dunia bergerak dengan tekad untuk menghancurkan hambatan perdagangan seperti tarif dan bea masuk ekspor-impor. Hasilnya mungkin pasar internasional di mana barang-barang AS menjadi kurang kompetitif dalam harga dan permintaan yang lebih rendah. Terlepas dari niat terbaiknya, pemerintah AS di bawah Donald Trump dapat melihat hal itu diterjemahkan ke dalam penguatan kembali dengan upaya menekan perkembangan Cina di kawasan Asia-Pasifik dan Afrika.
Cina mengencangkan ekspansinya ke kawasan Asia-Pasifik dan Afrika sebagai upaya menjadikan yuan sebagai mata uang internasional yang diterima sebagai alat transaksi perdagangan dan investasi global serta penyimpan nilai dalam bentuk obligasi dan cadangan devisa negara maupun lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB melalui kerja sama kemitraan strategis. Kerja sama melalui kemitraan strategis ini memperkuat Cina dalam hal memperluas hegemoni ekonomi dalam skala regionalisme sementara Jepang mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi bukan memperkuat posisi politik internasional atau militernya karena terikat Perjanjian San Francisco 1951. Cina terlibat aktif di dalam kerja sama multilateral seperti China-Africa Cooperation, China-Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum, dan juga China-Arab Nations Cooperation Forum. Keterlibatan Cina pada kerja sama multilateral berskala regionalisme mencerminkan exceptionalism Cina sebagai negara yang melihat negara lain beroperasi di bawah pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun betul-betul diarahkan ke pembangunan dalam negeri dan mengelu-elukan politik luar negeri Cina yang berprinsip koeksistensi damai. Prinsip koeksistensi damai dituangkan ke dalam model kerja sama embedded cooperation and win-win development.
Model ini ibarat “diantara kalian ada kami, dan antara kami ada kepentingan/keuntungan kalian" maka ini jelas mengurangi resiko konfrontasi militer dengan dan antara negara-negara utama seperti Uni Eropa, Liga Arab, ASEAN, Uni Afrika, SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation), NAFTA, BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa), dan lain-lain yang menegaskan Cina kepada hegemoni ekonomi dalam perdagangan internasional dan mendominasi lanskap perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Hal itu membuat Cina menjadi bagian tak terpisahkan dari mata rantai industri ekonomi dunia. Amerika Serikat di bawah Trump merubah strategi ekonomi politiknya dengan merenegosiasikan Trans-Pacific Partnership (TTP (yang sekarang berubah menjadi Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP)). Strategi ekonomi politik AS itu merupakan strategi rebalancing untuk memperkuat kedudukan serta peran AS dalam meningkatkan kerjasama bilateral dan multilateral. Negara-negara yang sudah terlanjur meratifikasi TPP seperti Jepang, Meksiko, Kanada, Australia, Selandia Baru, Vietnam, Peru, Cile, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam mulai beralih ke dalam kerja sama regional lain. Beralihnya negara-negara anggota TPP ke dalam kerja sama regional lain karena potensi pendapatan ekonomi hanya sebesar US$ 157 miliar tanpa AS. Sebanyak 10 negara ASEAN sudah mulai berencana untuk pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang langsung dirangkul oleh pemerintah Cina (Cicilia, 2018).
Adanya kemungkinan tersebut dapat menjadi hambatan dan tantangan sendiri bagi Asia-Pasifik mengingat bagaimana masih pentingnya kerjasama dengan negara maju bagi negara-negara di Asia-Pasifik yang banyak dihuni oleh negara-negara berkembang. Apa yang dilakukan Cina melalui kerja sama secara multilareal yang intensif, dari analisis Daniel A. Baldwin (1993) di dalam bukunya yang berjudul Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate, bahwa negara mendapat jauh lebih banyak keuntungan melalui kerja sama daripada tidak bekerjasama. Berkaca agresivitasnya Cina menjalin kerja sama dengan negara-negara lain, maka semakin melemahnya hegemoni politik dan ekonomi AS dan Uni Eropa. Trump telah melakukan delegitimasi atas lembaga-lembaga internasional yang dirancang untuk mencegah atau membatasi perang antarnegara, yang mendukung hipernasionalisme dan rasa kedaulatan yang kuat. Pemimpin populis seringkali mengalihkan perhatian dari kegagalan mereka dengan menjelek-jelekkan lawan di dalam dan luar negeri, sebagai contoh saat Trump menyalahkan Cina atas pandemi COVID-19 sebagai Wuhan virus untuk menutupi kalau hegemoni ekonomi, politik, dan militer AS secara global mulai menurun serta penanganan COVID-19 AS terburuk setelah Spainish Influenza 1918.
Perebutan Kembali Hegemoni dari Cina di Asia-Pasifik dan Afrika oleh Amerika Serikat: Mungkinkah?
Merujuk data China-Africa Research Initiative di John Hopkins University School of Advanced International Studies, sejak tahun 2000 hingga 2016, Cina telah menyalurkan pinjaman sekitar US$125 miliar (Rp1,740 triliun) ke Afrika. Malangnya, beberapa negara gagal dalam melunasi hutangnya kepada Cina. Zimbabwe, misalnya, tidak mampu membayar utang senilai US$40 juta yang jatuh tempo pada akhir 2015. Akibatnya, pemerintah Zimbabwe menjadikan yuan sebagai mata uang nasional resmi sebagai kompensasi penghapusan utang dan mengganti dollar Amerika Serikat sebagai alat tukar dalam negeri. Di Asia, kisah serupa dialami oleh Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka terpaksa harus membayar mahal utang yang tidak mampu diselesaikan sesuai jatuh tempo kepada Cina. Akibatnya, Sri Lanka harus menyerahkan dan melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70% sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara Cina yang menjadi jalur strategis perdagangan ke India.
Ini menjadi problematika Cina, di satu sisi ingin membantu negara-negara berkembang di dalam pembangunan sosialnya, di sisi lain Cina menancapkan hegemoni ekonomi politik dan militernya kepada negara-negara berkembang di Asia-Pasifik dan Afrika sama seperti kebijakan Marshall Plan Amerika Serikat kepada negara-negara sekutunya dan negara berkembang yang baru merdeka dan Molotov Plan Uni Soviet kepada negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah semasa Perang Dingin. Perangkap utang yang dilakukan oleh Cina ini telah menjadi preseden nyata yang patut diwaspadai oleh Indonesia dan dunia di dalam era disrupsi Revolusi Industri 4.0. Sebuah langkah tegas telah dilakukan oleh Malaysia yang telah memutuskan untuk membatalkan proyek jalur kereta api bernilai US$ 20 miliar yang diongkosi Cina sebagai upaya mengimbangi kekuatan militer dan politik AS di Asia-Pasifik di Okinawa, Jepang, Filipina [reaktivasi], Palau, dan Guam.
Membendung hegemoni Cina di Asia-Pasifik, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper mengunjungi Republik Palau menemui Presiden Tommy Remengesau atas desakannya kepada Amerika Serikat mendirikan pangkalan militer di Palau melawan pengaruh Cina di kawasan Pasifik (CNN Indonesia, 2020). Kegusaran Palau didasari atas kegundahannya kepada proyeksi Cina di Asia Tenggara mengenai pembongkaran fasilitas yang didanai Amerika Serikat di pangkalan Angkatan Laut Ream, Provinsi Preah Sihanouk tanggal 26 Juli 2019 memperburuk ketakutan sebelumnya tentang kemungkinan pemberian hak pangkalan kepada Angkatan Laut Cina oleh Kamboja. Terobosan Cina dalam hubungan pertahanan dengan negara-negara Asia Tenggara selama dekade terakhir atau lebih, sangat penting untuk kepentingannya sendiri, mulai dari mekanisme penjaga pantai baru Cina-Filipina, pembangunan markas dan pangkalan militer di Laut Cina Selatan hingga pembelian Malaysia yang belum pernah terjadi sebelumnya atas kapal angkatan laut Cina.
Reaktivasi pangkalan AS di Filipina dan desakan Presiden Palau Remengesau kepada AS membangun pangkalan militernya selain di Guam, menunjukkan angin segar kalau AS berusaha merebut kembali hegemoninya di Asia-Pasifik dan Afrika dari Cina. Dengan masih kuatnya kepentingan AS di Asia-Pasifik, akan sangat sulit bagi Cina untuk mempertahankan pasar yang telah didapatnya seperti Asia Tenggara. Untuk itulah, Cina perlu mengeluarkan banyak inisiatif multilateral untuk membendung skenario multilateral AS di kawasan termasuk pendanaan investasi untuk pembangunan negara mitra melalui AIIB. Negara-negara yang menginginkan pendanaan Cina menyambutnya sebagai sumber investasi dalam infrastruktur antara Cina dan Eropa melalui Timur Tengah/Asia Barat Daya, Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah dan Selatan, dan Afrika. Mereka yang takut terhadap Cina seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Uni Eropa, dan AS melihatnya sebagai proyek yang menyeramkan yang berupaya untuk menciptakan tatanan dunia baru sebagai new emerging power pasca Tiananmen 1989 dan 9/11. Jaeho Hwang dan Chen Dongxiao (2010) China's Harmonious Asia Strategy di dalam International Area Studies Review Journal Volume 13 Issue 2 (June 2010) halaman 109-110 menuliskan Cina menantang AS dan Uni Eropa melalui viewpoint terhadap wilayah Asia sebagai saluran strategis untuk merangkul masyarakat transnasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni “Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral. Cina membidik Asia Selatan dan Tenggara, Asia Tengah dan Barat, dan Asia Timur dengan menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral. Saluran strategis dengan prinsip hexie yazhou-nya Cina tertuang ke dalam Jalur Sutera Cina Abad 21 (lihat gambar 2).
Pada gambar 2 memperlihatkan blue line sebagai koridor ekonomi yang menghubungkan Kashgar dan Urumqi, Xinjiang dan Gwadar, Pakistan di sebelah barat sementara di sebelah selatan menghubungkan Yunnan dengan Bangladesh. Red line menggambarkan jalur sutera darat yang menghubungkan Xi’an hingga Prancis sementara yellow line menggambarkan jalur sutera laut yang menghubungkan pelabuhan Fuzhou, Cina hingga ke Venesia, Italia melewati Seychelles, Sri Lanka, dan Terusan Suez. Jalur-jalur itu dikembangkan dan direaktivasi oleh Cina yang terhubung ke Beijing melalui begitu banyak kilometer jalur yang akan dibangun atau banyak kapasitas pelabuhan baru yang akan dibangun pada saat ini. Saluran strategis ini memperlihatkan Cina berupaya menjadi negara hegemon di Asia dan Afrika, terlepas Pasifik masih dikendalikan oleh AS, bahwa Belt and Road Inisiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) seolah-olah proyek global.
Amerika Serikat masih menancapkan politik internasionalnya di kawasan Oceania atau Pasifik sejak Perang Dunia I yang memperebutkan Asia-Pasifik dari Jepang sebagai penyuplai bahan baku bagi perekonomian dan militer AS, sama persis dengan analisis Robert J. McMahon (1981) dan Jonathan Marshall (1973) yang meletakkan Asia (terutama Asia Tenggara) dan Pasifik sebagai faktor mitra perdagangan dan impor bahan-bahan mentah bagi AS melawan modernisasi Jepang dan Cina. Agar Afrika tidak jatuh ke dalam pusaran hegemoni Cina, Amerika Serikat berhasil menyingkirkan populisme-nasionalis agama, Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir dan penyingkiran keji Muammar Qaddafi di Libya melalui serangkaian demonstrasi dan penyerangan koalisi NATO yang mengatasnamakan HAM dan demokrasi, membuat kedua negara di kawasan Afrika Al-Maghribi itu terkatung-katung dalam perang saudara dari tahun 2011-2020. Amerika Serikat mencengkram Afrika melalui AFRICOM.
Data dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang ditulis oleh Judd Devermont (Direktur Program Afrika) dan Leanne Erdberg Steadman (Direktur, Melawan Ekstremisme Kekerasan, Institut Perdamaian AS) pada 10 Mei 2020 melaporkan tentang militer AS di Afrika ketika serangan pesawat tak berawak menghantam teroris di Somalia, ketika Navy SEAL menyerbu kapal bajak laut di Teluk Aden, dan ketika Army Rangers memburu para genosida di hutan adalah peran AS sebagai investasi komprehensif AS pada ancaman teroris seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) selain upaya membendung pergerakan Cina di Afrika. Nilai politik internasionalnya terletak pada militer AS menjalin hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah Afrika, mempromosikan nilai “demokrasi dan HAM” dan kepentingan AS dalam menanggapi krisis kemanusiaan dan kesehatan termasuk pandemi virus korona (COVID-19 (Coronovirus 2019)). Sejak 1990-an dan terutama setelah 9/11 dan pembentukan Komando Afrika (AFRICOM (US-Africa Command), militer AS sering menjadi simbol komitmen AS yang paling terlihat dan konkret di kawasan tersebut (US Africa Command, 2020). Kepemimpinan global AS didasarkan pada jaringan aliansi dan mitranya, termasuk di Afrika. Hubungan ini penting untuk membuka pasar bagi sektor swasta AS melawan perilaku jahat oleh Cina dan Rusia dan membentuk keputusan di forum internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB. Ketika bencana alam melanda dan virus menyebar, kehadiran militer AS di beberapa negara Afrika telah memungkinkan dukungan yang cepat dan tegas.
Pada kasus Topan Idai pada 2019, pesawat militer AS membantu mengirimkan makanan dan bantuan kemanusiaan lainnya ke masyarakat di Malawi, Mozambik, dan Zimbabwe hanya beberapa hari setelah badai menenggelamkan ratusan ribu mil tanah (Turse, Mednick, & Sperber, 2020). Dan kehadiran militer AS di beberapa negara Afrika telah menjadi bagian penting dari perang melawan virus corona, menyediakan kapasitas rumah sakit keliling di Ghana, Senegal, dan Uganda. Kemampuan dan kemitraan yang diciptakan melalui keterlibatan militer AS membantu negara-negara Afrika termasuk Benin, Nigeria, dan Senegal untuk menangani virus corona dan mengatasi ebola, malaria, serta HIV/AIDS di masa depan. Pada 2019, pasukan Operasi Khusus AS dikerahkan di 22 negara Afrika: Aljazair, Botswana, Burkina Faso, Kamerun, Cape Verde, Chad, Côte d'Ivoire, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Ghana, Kenya, Libya, Madagaskar, Mali, Mauritania, Niger, Nigeria, Senegal, Somalia, Tanzania dan Tunisia (lihat gambar 3) (Mail & Guardian, 2019). Ini menyumbang proporsi yang signifikan dari aktivitas global pasukan Operasi Khusus AS lebih dari 14% pasukan komando AS yang dikerahkan di luar negeri pada tahun 2019 dikirim ke Afrika, persentase terbesar dari kawasan mana pun di dunia kecuali Timur Tengah/Asia Barat Daya.
Menariknya, Afrika bagi AS untuk mendukung pemerintahan militer di negeri-negeri tersebut, tetapi kurang maksimal mengadakan bantuan pembangunan sosial berupa jalan kereta api, industri, pelabuhan, pertanian, pertambangan, kesehatan masyarakat, kedokteran, bioteknologi, dan biomedis, teknologi, bisnis, pariwisata, serta perdagangan seperti yang dilakukan oleh Cina di Angola, Ethiopia, Zimbabwe, Republik Afrika Selatan, Mauritius, Zambia, Eritrea, Nigeria, Kamerun, Kenya, dan Djibouti. Kehadiran militer AS di Afrika menjadi kesediaan mereka untuk bekerja dengan pemerintah otoriter yang dipandang sebagai melegitimasi dan memperpanjang kecenderungan otoriter, atau negara tidak dipandang memiliki legitimasi, misalnya Sudan Selatan, Mesir, Zambia, Republik Demokratik Kongo, Zimbabwe, Somalia, dan Libya. Jelas bahwa AS tidak ingin berada di garis depan hanya mengirimkan uang untuk program pelatihan dan peralatan jangka panjang untuk melakukan intervensi politik domestik dan arah kebijakan luar negeri mereka.
Sedangkan Uni Afrika telah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dengan Beijing untuk pembiayaan pembangunan jalan raya, bandara dan jalur kereta api. Namun saat 2019, 14 negara Afrika belum ikut serta. 14 negara Afrika yang belum ikut serta di dalam MoU adalah Eritrea, Mauritius, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Afrika Tengah, Benin, Equatorial Guinea, Guinea-Bissau, Malawi, Lesotho, Eswatini (sebelum 2018 bernama Swaziland), Togo, Burkina Faso, dan Botswana. Negara-negara itu, misalnya Eswatini masih mengadakan hubungan diplomasi dengan Taiwan (Republic of Cina (ROC)/Chinese Taipei), sedangkan Sao Tome and Principe dan Burkina Faso yang di tahun 1980-1990an mengadakan diplomasi dengan Taiwan, memilih menjalin diplomasi dengan Republik Rakyat Cina pada tahun 2016 dan 2018.
Dari penjelasan tersebut mengidentifikasikan RRC di bawah Xi Jinping berusaha membangun pengaruh strategis di bidang ekonomi dan perdagangan, menjanjikan investasi Cina hadir tanpa ada ikatan politik apapun, yang berbeda dengan AS dan Uni Eropa. Cina menjanjikan dana senilai US$ 60 miliar (setara Rp 859 triliun) untuk membiayai proyek-proyek di banyak negara Afrika, dalam bentuk bantuan, investasi dan pinjaman yang terdiri dari US$ 15 miliar dalam bentuk hibah, pinjaman bebas bunga dan pinjaman lunak, US$ 20 miliar dalam jalur kredit, US$ 10 miliar untuk "pembiayaan pembangunan" dan US$ 5 miliar untuk pembeliam impor dari Afrika. Masalah kerja sama Cina dengan negara-negara Afrika karena negara-negara Afrika memandang Cina melalui investasinya sebagai kolonialisme baru yang mendatangkan pekerjanya, misalnya yang terjadi di Kamerun dan Zimbabwe. Di lansir oleh CNN Indonesia (2019), Diplomat Cina Yang Jiechi bertemu Presiden Kamerun Paul Biya di ibu kota Yaounde menghapus 3 triliun franc Afrika Tengah atau sekitar US$5,2 miliar. Kelonggaran Beijing pada Kamerun pun dikhawatirkan bakal mendorong negara-negara lain di Afrika yang sangat berpengaruh seperti Ethiopia, Djibouti, Kenya, dan Zambia untuk meminta perlakuan yang sama seperti Kamerun. Dana investasi yang dalam bentuk “utang” itu membangun dan membiayai pelabuhan baru di kota nelayan Kribi, PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), jalan, dan bendungan. Akan tetapi yang diberitakan CNN Indonesia melupakan sebuah conflict of interest antara perusahaan Cina, masyarakat lokal, dan pemerintah Kamerun karena ada upaya marjinalisasi pekerja lokal dan kompetisi dengan pekerja dari Cina. Meskipun, Cina menangguhkan utang kepada Kamerun, visi geostrategis dan jangka panjang tentang pentingnya Kamerun di wilayah Afrika adalah membuka port networking Fuzhou dengan Kribi.
Berbeda dengan Kamerun, Zimbabwe, negara ini tak mampu membayarkan utangnya kepada Cina melalui investasi pembangunan sosial, hingga akhirnya harus mengganti mata uangnya menjadi mata uang yuan renminbi sebagai imbalan penghapusan utang dan tetap melanjutkan proyek pembangunan dalam negeri bersama dengan Cina. Itu merupakan bagian dari apa yang dikemukakan oleh Jeffrey A. Bader (2016) How Xi Jinping Sees the World…and Why? sebagai tao guang yang hui (develop capabilities while keeping a low profile) yang telah diperkuat oleh Deng Xiaoping di tahun 1980an dengan bergabung ke GATT/WTO (General Agreement on Tariff and Trade/World Trade Organization), Nuclear Nonproliferation Treaty and International Atomic Energy Agency, dan World Bank.
DAFTAR PUSTAKA
Andrasko, Gary Stephen. 2010. Adaptable Ideology and Policymaking in Contemporary China: A Case Study of The Government Response to The Rich-Poor Gap. South Orange, New Jersey, USA: Department Asian Studies, Seton Hall University.
Associated Press (AP). 2016. AP Poll: US election voted top news story of 2016., (E-News), (Online), (https://apnews.com/article/40c1f5ac84b74be2b8574705671c9087), diakses tanggal 25 November 2020.
Bader, Jeffrey A. 2016. How Xi Jinping Sees the World…and Why?. Asia Working Group Paper 2 | February 2016. Washington, D.C., USA: he Foreign Policy Program at The Brookings Institutions.
Baldwin, Daniel Allen (Ed.). 1993. Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate. New York, USA: Columbia University Press.
Cicilia, Sanny. 2018. TPP berganti menjadi CPTPP, siapa paling diuntungkan dari perjanjian dagang tanpa AS?., (E-News), (Online), (https://internasional.kontan.co.id/news/tpp-berganti-menjadi-cptpp-siapa-paling-diuntungkan-dari-perjanjian-dagang-tanpa-as), diakses tanggal 30 November 2020.
Central Bank of Russia Federation. 2020. Banking Sector Liquidity and Financial Markets No. 8 (54) August 2020. Moscow: The Central Bank of Russia Federation (CBR)., (E-Report), (Online), (http://www.cbr.ru/collection/collection/file/29237/lb_2020-54_e.pdf), diakses tanggal 4 Desember 2020
CNN Indonesia. 2019. Kala China 'Diam-diam' Hapus Sebagian Utang Negara Afrika., (E-News), (Online), (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190205160052-532-366615/kala-china-diam-diam-hapus-sebagian-utang-negara-afrika), diakses tanggal 3 Desember 2020.
CNN Indonesia 2020. Lawan Pengaruh China, Palau Desak AS Bangun Pangkalan Militer., (E-News), (Online), (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200904133747-113-542793/lawan-pengaruh-china-palau-desak-as-bangun-pangkalan-militer), diakses tanggal 3 Desember 2020.
Debora, Yantina. 2017. AIIB, Penantang Baru Bank Dunia dan IMF dari Cina., (E-News), (Online), (https://tirto.id/aiib-penantang-baru-bank-dunia-dan-imf-dari-cina-cCcj), diakses tanggal 27 November 2020.
Devermont, Judd & Leanne Erdberg Steadman. 2020. Defending the U.S. Military Presence in Africa for Reasons beyond Counterterrorism., (E-Commentary), (Online), (https://www.csis.org/analysis/defending-us-military-presence-africa-reasons-beyond-counterterrorism), diakses tanggal 29 November 2020.
Direktorat Perencanaan Makro dan Analisis Statistik, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI. 2019. Perkembangan Harga Komoditas di Pasar Internasional (Bulanan). Jakarta: Direktorat Perencanaan Makro dan Analisis Statistik, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI., (E-Report), (Online), (https://www.bappenas.go.id/files/9615/6074/1510/Harga_Komoditas_Internasional-Mei_19.pdf), diakses tanggal 3 Desember 2020.W
Farrassati, Nadhira. 2019. Perang Dagang Amerika Serikat-China dan Perubahan Neraca Perdagangan Amerika Serikat-China 2018. Skripsi S1 tidak diterbitkan. Bandung: Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Katolik Parahyangan.
Hasil Keputusan Sidang Pleno ke-3 Komite Sentral Partai Komunis Cina ke-11 tangal 18-22 Desember 1978 (中国共产党第十一届中央委员会第三次全体会议公报) didokumentasikan oleh Communist Party of China (CPC) 1997-2007, (E-Document), (Online), (http://cpc.people.com.cn/GB/64162/64168/64563/65371/4441902.html), diakses tanggal 21 Juli 2020. (Teks asli dalam Bahasa Mandarin yang diterjemahkan oleh Dean Antonius (teman peneliti) ke dalam Bahasa Indonesia).
Hwang, Jaeho & Chen Dongxiao. 2010. China's Harmonious Asia Strategy. International Area Studies Review, Volume 13 Issue 2 (June 2010): pp. 105-124.
Lam, N. Mark & John L. Graham. 2007. China Now: Berbisnis di Pasar Paling Dinamis di Dunia. (Penerjemah: Riga Pontiani & Editor: Rayendra L. Toruan). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Lee, Hong Yung. 1991. From Revolutionary Cadres to Party Technocrats in Socialist China. Berkeley, California, USA: University of California Press.
Levitsky, Steven & Daniel Ziblatt. 2019. Bagaimana Demokrasi Mati: Apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita. (Penerjemah: Zia Anshor). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mail & Guardian. 2019. Exclusive: Inside the secret world of US commandos in Africa., (E-News), (Online), (http://atavist.mg.co.za/inside-the-secret-world-of-us-commandos-in-africa), diakses tanggal 4 Desember 2020.
Marshall, Jonathan. 1973. Southeast Asia and U.S.-Japan Relations: 1940-1941. Pacific Research and World Empire Telegram, Vol. IV No. 3 (March-APril 1973): pp. 1-23.
McMahon, Robert J. 1981. Colonialism and Cold War: The US and the Struggle for Indonesian Independence 1945-1949. Ithaca, New York, USA: Cornell University.
Moffitt, Benjamin. 2016. The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation. Redwood City, California: Stanford University Press.
Müller, Jan-Werner. 2016. What is Populism?. Pennsylvania, USA: University of Pennsylvania Press.
Okezone.com. 2016.
Prasad, Eswar S. 2016. Gaining Currency: The Rise of the Renminbi. New York, USA: Oxford University Press.
Prasad, Eswar S. 2020. Trump Gets His Trade Deal, China Gets the Win. The New York Times, January 15, 2020.
Sebayang, Rehia. 2020. Yuan 'Raja' Mata Uang Dunia, Masih Jauh Pemirsah!. (E-News), (Online), (https://www.cnbcindonesia.com/market/20200903104451-17-184072/yuan-raja-mata-uang-dunia-masih-jauh-pemirsah), diakses tanggal 3 Desember 2020.
Tang, Kaijiang. 2011. Industrial-Organization-Transformation-Oriented Agricultural Modernization with Chinese Characteristics: From the Perspective of Industrial and Agricultural Interaction. International Journal of Business and Management, Vol. 6, No. 5 (May 2011): pp. 211-216.
Tse, Edward. 2018. China‟s Disruptors. (Penerjemah: Vela Andapita). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Turse, Nick, Sam Mednick, & Amanda Sperber. 2020. Exclusive: Inside the Secret World of US Commandos in Africa., (E-Report), (Online), (https://pulitzercenter.org/reporting/exclusive-inside-secret-world-us-commandos-africa), diakses tanggal 1 Desember 2020.
US Africa Command. 2020. AFRICOM commander travels to East Africa., (E-News), (Online), (https://www.africom.mil/media-gallery), diakses tanggal 29 November 2020.
Vinogradov, Andrei Vladimirovich, Elena Aleksandrovna Salitskaya, & Aleksandr Igorevich Salitskii, 2016. Science and Technology in China: Modernization Accomplished. Herald of the Russian Academy of Sciences, Vol. 86, No. 1 (2016): p. 48-56., (E-Journal), (Online), (https://doi.org/10.1134/S1019331616010081), diakses tanggal 29 November 2020.
Widyahartono, Bob. 2004. Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi, dan Sosial China Menuju China Baru. Yogyakarta: Andi.
Worl Bank. 2017. World Integrated Trade Solution Trade Stats 1988-2017. Washington, D.C., USA: World Bank Group.
Wulandhari, Retno & Nidia Zuraya. 2020. Yuan Bakal Sejajar dengan Dolar AS Jadi Mata Uang Cadangan., (E-News), (Online), (https://fbeta.republika.co.id/amp/qg6ezq383), diakses tanggal 27 November 2020.
Zedong, Mao. 2001. Empat Karya Filsafat. (Penterjemah: Sulang Sahun). Yogyakarta: Forum Studi Perubahan dan Peradaban (FuSPAD).
Zurcher, Anthony. 2016. US Election 2016 Results: Five reasons Donald Trump won., (E-News), (Online), (https://www.bbc.com/news/election-us-2016-37918303), diakses tanggal 28 November 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H