Mohon tunggu...
Zainal Muttaqin
Zainal Muttaqin Mohon Tunggu... Lainnya - Pena adalah senjata

Anggota KPU Kabupaten Serang Periode 2018-2023

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebangunan Ekonomi Politik Semu

14 Januari 2018   22:21 Diperbarui: 14 Januari 2018   22:31 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artikel asli yang dimuat pada Harian Banten Pos (Grup Rakyat Merdeka tanggal 19 Desember 2017)

Pada artikel saya sebelumnya di Banten Pos edisi 29 November lalu yang berjudul "persoalan kebangunan ekonomi politik" saya pernah mengungkapkan bahwa Kebangunan Ekonomi Politik harus berdasarkan pada pembangunan ekonomi mikro yang selaras dengan pertumbuhan ekonomi secara makro. Yang berarti bahwa kebangunan ekonomi politik dari sistem yang dibangun untuk pemerataan distribusi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara nasional harus diurus secara bersamaan. Tidak bisa dilepaskan satu sama lain, karena ketimpangan sosial ekonomi akan makin terlihat mencolok.

Jika tidak salah ingat penulis mencatat bahwa untuk melakukan kebangunan ekonomi secara mikro dapat diasosiasikan dengan Koperasi, sedangkan dalam kebangunan ekonomi secara makro kita fokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui investasi yang produktif.

Ekonomi Kemakmuran

Nah, kali ini penulis ingin menyinggung mengenai bagaimana relevansi pembangunan ekonomi mikro dengan ekonomi makro secara bersamaan?

Pada edisi yang lalu dalam Banten Pos penulis menyinggung bahwa untuk mencapai kebangunan ekonomi politik kita, harus dikerjakan secara selaras antara bangunan bawah dengan bangunan atas agar terjadi keseimbangan dan kesinambungan serta terjadi pemerataan ekonomi. Antara UMKM dengan koorporasi negara dan swasta harus dibangun secara adil, sehingga tidak terjadi kesenjangan yang semakin menebal.

Baiklah, kembali pada pokok permaslaahan untuk melakukan pembangunan ekonomi itu sendiri paling tidak ada tiga pasal dalam UUD 1945 yang secara eksplisit dalam pengelolaan ekonomi. Antara lain Pasal 27 ayat (2) yang mengatakan "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", pasal 28A "setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya" dan Pasal 33 yang seluruhnya membicarakan prinsip ekonomi kita dan upaya pencapaian kesejahteraan, lebih eksplisit lagi dalam Pasal 33 ayat (3) "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".

Pertama, pasal 27 merupakan pasal dalam bab Warga Negara. Ayat (2) dalam pasal 27 UUD 1945 ini merupakan hak dasar bagi warga negara yang wajib dilindungi oleh negara, karena penghidupan yang layak dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak warga negara yang tidak terlindungi dari pekerjaan yang layak, sama artinya dengan tidak mengedepankan aspek kemanusiaan, secara makro juga akan menimbulkan kemandekan pertumbuhan ekonomi. Cukup kita tilik dari sejarah ekonomi lampau yang saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya bahwa di era Orde Baru antara tahun 1980-1982, ekonomi kita diuntungkan dengan kenaikan drastis harga minyak, yang kemudian disebut keberkahan minyak yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup besar (sekitar 7,5%), tapi bagaimana ketika harga minyak anjlok di tahun-tahun berikutnya, ekonomi kita kollapse dan menimbulkan kondisi ekonomi yang cukup parah pada tahun-tahun berikutnya. 

Dari keberkahan minyak yang didapat juga ternyata belum mampu mengangkat harkat dan martabat ekonomi masyarakat, karena ternyata pada lapisan bawah terdapat kesenjangan yang begitu tebal dan terjadi pergesekan sosial yang begitu keras, ini disebabkan karena begitu tingginya angka pengangguran. Ternyata pembangunan ekonomi yang didasarkan pada pertumbuhan saja tanpa memberikan pemerataan distribusi kesejahteraan dapat meimbulkan gejolak sosial yang tajam dan keras.

Kedua, pasal 28 pada UUD 1945 merupakan bagian dari bab Hak Asasi Manusia, ditunjukkan di awal bab, tepatnya pasal 28 huruf A merupakan frase yang mirip dengan pasal 27 ayat (2). Di dalamnya tertuang setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Dalam perspektif ekonomi, bisa kita tafsirkan bahwa untuk hidup setiap orang harus dijamin ketersediaan pangannya, dan untuk mempertahankan hidupnya setiap orang Indonesia harus bekerja. Jaminan pekerjaan menjadi garansi agar masyarakat dapat hidup dan bertahan (hal ini menyangkut pendapatan/penghasilan, konsumsi dan tempat tinggal). Apabila setiap orang tidak terjamin hak ekonominya sebagai bagian daripada Hak Asasi Manusia, maka lenyaplah pula haknya untuk hidup, untuk mempertahankan diri, untuk keselamatannya. Lenyaplah semua itu.

Ketiga, pasal 33 adalah bab Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, dimana seluruh pasalnya merupakan bagian penting dalam membangun ekonomi. Apabila kita kaji secara utuh, pasal-pasal dalam bab ini begitu concern dalam pembangunan ekonomi mikro, karena didalamnya disusun pada frase akhir ayatnya mengutamakan "kemakmuran" seperti ayat (3), ayat (1) menekankan bahwa pembangunan ekonomi itu "berdasar atas asas kekeluargaan" dan "menguasai hajat hidup orang banyak" pada ayat (2) nya, begitu pula di ayat ke (4) begitu tebal mengungkapkan "dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan". Sungguh jelas ini harus diselenggarakan sesuai yang penulis sarankan tempo hari, bahwa kebangunan ekonomi dapat tercapai dengan mengasosiasi masyarakat dalam koperasi. Dalam tafsiran lain pasal 33 UUD 1945 menempatkan koperasi sebagai sokoguru ekonomi Indonesia.

Pemerataan Ekonomi Membentuk Laju Pertumbuhan

Dari ketiga pasal dalam konstitusi yang penulis gambarkan itu merupakan idealisme yang ternyata masih kita pegang teguh sampai saat ini, kemudian diinterpretasikan oleh para ekonom sebagai sistem ekonomi alternatif, atau ada juga yang menyebutnya sebagai sistem ekonomi Pancasila. Untuk membuktikannya, mari kita kaji makna-makna yang terkandung di dalamnya dengan kita relevansikan pada kondisi saat ini.

Mubyarto dalam bukunya yang berjudul ekonomi pancasila: Gagasan dan Kemungkinan mengungkapkan bahwa sistem ekonomi yang sedang kita gunakan saat ini bukanlah ekonomi pancasila sebenarnya, karena perspektif yang digunakan justru ekonomi neoklasik yang begitu liberal. Bahkan seruntuhnya orde baru liberalisme semakin hidup tanpa batasan. Ekonomi dilempar ke pasar tanpa batasan, import boleh masuk tanpa pajak yang akhirnya hanya membebankan ekonomi negara kita.

Gagasan pasar bebas sudah dimulai ketika era Orde Baru, dimana hanya nampaknya saja ekonomi baik-baik saja, namun pada realita sesungguhnya ekonomi kita sakit. Karena hampir seluruhnya kita bertumpu pada modal dan investasi asing. Begitupula setelah runtuhnya Orde Baru, ekonomi yang tadinya monopolistik di pasar Indonesia, akhirnya berubah menjadi persaingan keras perusahaan swasta, bahkan negara tidak mampu menunjukkan perannya secara nyata. Akhirnya kepentingan ekonomi nasional hanya mampu memberikan jaminan ekonomi pada orang-orang kaya saja, sedang kehidupan ekonomi masyarakat kecil tergerus habis-habisan.

Dalam perspektif pancasila dalam penjaminan ekonomi masyarakat, seharusnya dapat diperhatikan betul aspek "hak pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan" yang diregulasi untuk masyarakat kecil/berpenghasilan rendah. Kita sering melihat kasus PHK oleh perusahaan-perusahaan swasta, jelas ini merugikan kepada hak pekerja. Disini posisi buruh sangat dirugikan dengan adanya pemutusan hak kerja secara sepihak. Memang dalam pandangan ekonomi klasik bahwa ekonomi adalah pengejaran keuntungan semata, tapi harus kita perhatikan pula, negara dalam posisi ini mestinya dapat memberikan jaminan tidak hanya pada perusahaan semata, tapi juga pada pekerja yang ada di dalamnya.

Hatta pernah mengungkapkan keprihatinannya pada pembangunan ekonomi dalam pidatonya di seminar Kadin tahun 1972 yang mengatakan "kalau tidak salah hanya kurang lebih satu setengah tahun pemerintahan kita dapat melaksanakan UUD 1945... Sesudah itu, akibat daripada pertempuran dan pemindahan kekuasaan, peraturan itu sampai sekarang tidak dapat dilaksanakan". Bahkan Hatta menyampaikan kegembiraannya tatkala sistem ekonomi dapat berjalan, karena masyarakat betul-betul dapat merasakan pemerataan ekonomi, seperti di tahun 1945-1946 Hatta menyebutkan bahwa upah minimum perhari seharga 5kg beras dan perbedaan gaji pegawai negeri antara yang terendah dengan yang tertinggi selisihnya tidak boleh 20 kali. 

Artinya pemerintah dapat menjalankan sistem ekonomi itu dengan merata. Tetapi kembali lagi pada pernyataan Hatta "sekarang tidak lagi terlihat". Hal ini penulis rasa betul adanya, dapat kita saksikan pada masa Orde Baru sampai sekarang gaji pegawai negeri antara yang terendah sampai yang tertinggi bisa sampai 50 kali lipat selisihnya. Karyawan swasta yang terendah pada saat sekarang berkisar kurang dari harga 5 kg beras. Artinya kemerosotan aspek sosial dalam memberikan pekerjaan yang layak bagi setiap orang tidaklah tercapai pada konteks sekarang.

Wilayah pertanian juga sebetulnya penting dalam pembangunan ekonomi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. Namun dapat kita saksikan saat ini, pembangunan berorientasi pada infrastruktur tanpa memperhatikan pemerataan konsumsi pangan yang dihasilkan oleh pertanian lokal. Memang pada prinsipnya pembangunan infrastruktur merupakan hal yang terpenting, tapi tidak jauh lebih penting dari pembangunan ekonomi pertanian. Karena apa? Karena 70% wilayah Indonesia adalah perdesaan. Budaya ekonomi desa bertumpu pada pertanian. Lantas jika wilayah budidaya pertanian selalu digerus oleh pembangunan infrastruktur, akan bertumpu kemana pembangunan di perdesaan? Nah, disini terdapat satu penyimpangan prinsip dari prinsip ekonomi pancasila itu sendiri, yakni "setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan". Dengan adanya penggerusan lahan secara besar untuk infrastruktur, tentu akan menyebabkan masyarakat desa berganti baju menjadi masyarakat kota. Kenapa perubahan desa ke kota dapat menjadi masalah? Jawabannya adalah masyarakat tidak lagi akan bertumpu pada lahan yang memproduksi pangan, tapi berganti pada sektor-sektor industri yang tidak lagi ramah pada kesejahteraan. Karena aspek perusahaan adalah pengejaran keuntungan. Ketika hal tersebut terjadi maka desa tidak akan lagi menjadi kekuatan, kemudian masyarakat pada akhirnya akan cenderung individualistis, jelas ini adalah karakter ekonomi kapitalistik yang saling memangsa pada akhirnya.

Untuk membentuk terjadinya laju pertumbuhan ekonomi, namun juga terjadi pemerataan yang harus diperhatikan adalah sistem kekeluargaan dalam pengelolaan ekonomi, sebagaimana diatur pasal 33 UUD 1945. Melalui apa? Melalui koperasi yang dijalankan bersama-sama oleh masyarakat. Kumpulan-kumpulan masyarakat yang berasosiasi dengan koperasi akan menjadi suatu kumpulan besar yang tidak hanya mementingkan aspek keuntungan saja, tapi juga didasarkan pada aspek sosial dan kemanusiaan, pembagian yang adil dan pemerataan kemakmuran. 

Ternyata prinsip-prinsip ini berhasil dilakukan di negara-negara skandinavia yang memang berdasarkan kepada ekonomi kemakmuran. Sehingga masyarakatnya berada dalam kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Tapi mengapa negara kita yang notabene berpandangan pada Pancasila identik dengan belenggu kemiskinan dan pengangguran? Nampaknya prinsip-prinsip dan etos dalam Pancasila itu sendiri yang tidak dilaksanakan. Sehingga banyak para ilmuwan yang mengatakan bahwa pancasila bermuka dua. Disini penulis coba menunjukkan keprihatinan yang mendalam, bahwa sebetulnya bukanlah Pancasila yang bermuka dua, tapi orang yang menjalankannya lah yang bermuka dua dan tidak konsisten dengan konsep pancasila itu sendiri. Seperti yang Mubyarto sampaikan dalam Ekonomi Pancasila, bahwa kita sesungguhnya kita sedang menjalankan ekonomi kapitalistik namun namun tidak mau terbuka/jujur, sehingga berselimut dalam nama pancasila.

Catatan Penutup

Lantas bagaimanakah cara agar pertumbuhan ekonomi kita tumbuh baik dan capaian distribusi kesejahteraan dapat merata dan adil?

Caranya adalah dengan pemanfaatan semaksimal mungkin dalam pengelolaan sumberdaya alam oleh negara, tanpa pengendalian swasta, karena apabila swasta berada pada bidang ekonomi yang penting bagi rakyat akan menghancurkan humanisme ekonomi pancasila itu sendiri. Kemudian cara lainnya adalah membentuk satu inovasi pembangunan ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tapi pada pemerataan, karena bicara pertumbuhan ekonomi, hampir semuanya hanya memperhatikan ekonomi makro dan penjaminan investasi swasta dalam cabang-cabang ekonomi kita (sama sekali tidak memperhatikan pemerataan ekonomi rakyat). Kemudian hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pembangunan aspek pendidikan pada masyarakat menjamin angkatan kerja yang berdaya saing tinggi, sehingga distribusi pekerjaan dapat merata dan menutup peluang pekerja asing untuk berada pada wilayah kerja kita.

Sekali lagi dalam catatan penutup ini, bahwa pembangunan pada dua wilayah sekaligus antara makro dan mikro memang sudah menjadi amanat UUD 1945. Penulis juga berkeyakinan bahwa pemerataan ekonomi yang selaras dengan pertumbuhan ekonomi nasional hanya akan bisa dicapai apabila keduanya diurus secara serius tanpa memisahkan atau memilah-milah mana dulu yang akan dibangun, harus secara bersamaan. 

Disanalah akan ditemukannya keseimbangan ekonomi, sebagaimana John Maynard Keynes mengungkapkan dalam karyanya bahwa ekonomi yang di urus hanya untuk pertumbuhan yang tinggi akan menyebabkan malapetaka dengan resiko yang tidak kecil. Ramalan Keynes ini terbukti dengan terjadinya "great depretion of America" di tahun 1929-1932, dimana kondisi perekonomian Amerika hancur lebur dihantam krisis, karena aspek pemerataan ekonomi begitu tidak diperhatikan. Cukup banyak catatan sejarah yang menunjukkan kekuatan ekonomi yang begitu liberal ternyata cukup rapuh. 

Oleh karena itu disini penulis penting menekankan bahwa pembangunan ekonomi harus dilakukan dengan menyeimbangkan pertumbuhan dengan distribusi kemakmuran, agar kebangunan ekonomi politik kita bukanlah menjadi bahasa yang semu dan berbeda jalan dengan konsep pancasila sebenarnya.

Demikian lah catatan ini penulis buat, agar menjadi renungan kita bersama.

Ditulis oleh Zainal Muttaqin di Surat Kabar Banten Pos (Rakyat Merdeka Group) edisi tanggal 18 & 19 Desember 2017 (Diterbitkan dalam 2 part)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun