Mohon tunggu...
Zainal Muttaqin
Zainal Muttaqin Mohon Tunggu... Lainnya - Pena adalah senjata

Anggota KPU Kabupaten Serang Periode 2018-2023

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebangunan Ekonomi Politik Semu

14 Januari 2018   22:21 Diperbarui: 14 Januari 2018   22:31 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artikel asli yang dimuat pada Harian Banten Pos (Grup Rakyat Merdeka tanggal 19 Desember 2017)

Dari ketiga pasal dalam konstitusi yang penulis gambarkan itu merupakan idealisme yang ternyata masih kita pegang teguh sampai saat ini, kemudian diinterpretasikan oleh para ekonom sebagai sistem ekonomi alternatif, atau ada juga yang menyebutnya sebagai sistem ekonomi Pancasila. Untuk membuktikannya, mari kita kaji makna-makna yang terkandung di dalamnya dengan kita relevansikan pada kondisi saat ini.

Mubyarto dalam bukunya yang berjudul ekonomi pancasila: Gagasan dan Kemungkinan mengungkapkan bahwa sistem ekonomi yang sedang kita gunakan saat ini bukanlah ekonomi pancasila sebenarnya, karena perspektif yang digunakan justru ekonomi neoklasik yang begitu liberal. Bahkan seruntuhnya orde baru liberalisme semakin hidup tanpa batasan. Ekonomi dilempar ke pasar tanpa batasan, import boleh masuk tanpa pajak yang akhirnya hanya membebankan ekonomi negara kita.

Gagasan pasar bebas sudah dimulai ketika era Orde Baru, dimana hanya nampaknya saja ekonomi baik-baik saja, namun pada realita sesungguhnya ekonomi kita sakit. Karena hampir seluruhnya kita bertumpu pada modal dan investasi asing. Begitupula setelah runtuhnya Orde Baru, ekonomi yang tadinya monopolistik di pasar Indonesia, akhirnya berubah menjadi persaingan keras perusahaan swasta, bahkan negara tidak mampu menunjukkan perannya secara nyata. Akhirnya kepentingan ekonomi nasional hanya mampu memberikan jaminan ekonomi pada orang-orang kaya saja, sedang kehidupan ekonomi masyarakat kecil tergerus habis-habisan.

Dalam perspektif pancasila dalam penjaminan ekonomi masyarakat, seharusnya dapat diperhatikan betul aspek "hak pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan" yang diregulasi untuk masyarakat kecil/berpenghasilan rendah. Kita sering melihat kasus PHK oleh perusahaan-perusahaan swasta, jelas ini merugikan kepada hak pekerja. Disini posisi buruh sangat dirugikan dengan adanya pemutusan hak kerja secara sepihak. Memang dalam pandangan ekonomi klasik bahwa ekonomi adalah pengejaran keuntungan semata, tapi harus kita perhatikan pula, negara dalam posisi ini mestinya dapat memberikan jaminan tidak hanya pada perusahaan semata, tapi juga pada pekerja yang ada di dalamnya.

Hatta pernah mengungkapkan keprihatinannya pada pembangunan ekonomi dalam pidatonya di seminar Kadin tahun 1972 yang mengatakan "kalau tidak salah hanya kurang lebih satu setengah tahun pemerintahan kita dapat melaksanakan UUD 1945... Sesudah itu, akibat daripada pertempuran dan pemindahan kekuasaan, peraturan itu sampai sekarang tidak dapat dilaksanakan". Bahkan Hatta menyampaikan kegembiraannya tatkala sistem ekonomi dapat berjalan, karena masyarakat betul-betul dapat merasakan pemerataan ekonomi, seperti di tahun 1945-1946 Hatta menyebutkan bahwa upah minimum perhari seharga 5kg beras dan perbedaan gaji pegawai negeri antara yang terendah dengan yang tertinggi selisihnya tidak boleh 20 kali. 

Artinya pemerintah dapat menjalankan sistem ekonomi itu dengan merata. Tetapi kembali lagi pada pernyataan Hatta "sekarang tidak lagi terlihat". Hal ini penulis rasa betul adanya, dapat kita saksikan pada masa Orde Baru sampai sekarang gaji pegawai negeri antara yang terendah sampai yang tertinggi bisa sampai 50 kali lipat selisihnya. Karyawan swasta yang terendah pada saat sekarang berkisar kurang dari harga 5 kg beras. Artinya kemerosotan aspek sosial dalam memberikan pekerjaan yang layak bagi setiap orang tidaklah tercapai pada konteks sekarang.

Wilayah pertanian juga sebetulnya penting dalam pembangunan ekonomi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. Namun dapat kita saksikan saat ini, pembangunan berorientasi pada infrastruktur tanpa memperhatikan pemerataan konsumsi pangan yang dihasilkan oleh pertanian lokal. Memang pada prinsipnya pembangunan infrastruktur merupakan hal yang terpenting, tapi tidak jauh lebih penting dari pembangunan ekonomi pertanian. Karena apa? Karena 70% wilayah Indonesia adalah perdesaan. Budaya ekonomi desa bertumpu pada pertanian. Lantas jika wilayah budidaya pertanian selalu digerus oleh pembangunan infrastruktur, akan bertumpu kemana pembangunan di perdesaan? Nah, disini terdapat satu penyimpangan prinsip dari prinsip ekonomi pancasila itu sendiri, yakni "setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan". Dengan adanya penggerusan lahan secara besar untuk infrastruktur, tentu akan menyebabkan masyarakat desa berganti baju menjadi masyarakat kota. Kenapa perubahan desa ke kota dapat menjadi masalah? Jawabannya adalah masyarakat tidak lagi akan bertumpu pada lahan yang memproduksi pangan, tapi berganti pada sektor-sektor industri yang tidak lagi ramah pada kesejahteraan. Karena aspek perusahaan adalah pengejaran keuntungan. Ketika hal tersebut terjadi maka desa tidak akan lagi menjadi kekuatan, kemudian masyarakat pada akhirnya akan cenderung individualistis, jelas ini adalah karakter ekonomi kapitalistik yang saling memangsa pada akhirnya.

Untuk membentuk terjadinya laju pertumbuhan ekonomi, namun juga terjadi pemerataan yang harus diperhatikan adalah sistem kekeluargaan dalam pengelolaan ekonomi, sebagaimana diatur pasal 33 UUD 1945. Melalui apa? Melalui koperasi yang dijalankan bersama-sama oleh masyarakat. Kumpulan-kumpulan masyarakat yang berasosiasi dengan koperasi akan menjadi suatu kumpulan besar yang tidak hanya mementingkan aspek keuntungan saja, tapi juga didasarkan pada aspek sosial dan kemanusiaan, pembagian yang adil dan pemerataan kemakmuran. 

Ternyata prinsip-prinsip ini berhasil dilakukan di negara-negara skandinavia yang memang berdasarkan kepada ekonomi kemakmuran. Sehingga masyarakatnya berada dalam kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Tapi mengapa negara kita yang notabene berpandangan pada Pancasila identik dengan belenggu kemiskinan dan pengangguran? Nampaknya prinsip-prinsip dan etos dalam Pancasila itu sendiri yang tidak dilaksanakan. Sehingga banyak para ilmuwan yang mengatakan bahwa pancasila bermuka dua. Disini penulis coba menunjukkan keprihatinan yang mendalam, bahwa sebetulnya bukanlah Pancasila yang bermuka dua, tapi orang yang menjalankannya lah yang bermuka dua dan tidak konsisten dengan konsep pancasila itu sendiri. Seperti yang Mubyarto sampaikan dalam Ekonomi Pancasila, bahwa kita sesungguhnya kita sedang menjalankan ekonomi kapitalistik namun namun tidak mau terbuka/jujur, sehingga berselimut dalam nama pancasila.

Catatan Penutup

Lantas bagaimanakah cara agar pertumbuhan ekonomi kita tumbuh baik dan capaian distribusi kesejahteraan dapat merata dan adil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun