Mohon tunggu...
Zein Muchamad Masykur
Zein Muchamad Masykur Mohon Tunggu... Dosen - UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

"Yang penting nulis, bukan nulis yang penting"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perfeksionis, Ketika "Good Enough" Tidak Pernah Cukup

22 Juli 2024   23:28 Diperbarui: 29 Juli 2024   21:53 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Gerd Altmann Pixabay

Pernahkah Anda merasa bahwa apapun yang Anda lakukan tidak pernah cukup baik? Atau mungkin Anda adalah orang yang selalu mengedit pesan WhatsApp sepuluh kali sebelum mengirimnya (dan masih merasa ada yang kurang tepat setelah terkirim)? 

Jika ya, selamat! Anda mungkin salah satu anggota klub eksklusif yang disebut "perfeksionis".

Tapi tunggu dulu, bukankah perfeksionisme itu hal yang baik? Bukankah itu yang membuat kita unggul dalam pekerjaan dan mendapatkan nilai A+ di sekolah? Well, tidak secepat itu, Ferragamo! Mari kita telisik lebih dalam tentang sisi gelap dari obsesi kesempurnaan ini.

Apa Itu Perfeksionisme?

Photo from Pexels
Photo from Pexels
Perfeksionisme adalah kecenderungan untuk menetapkan standar yang sangat tinggi dan berjuang untuk mencapainya, sering kali dengan mengorbankan kesehatan mental, hubungan sosial, dan bahkan produktivitas. 

Ini seperti mencoba mencapai garis finish yang terus-menerus bergeser menjauh - tidak peduli seberapa cepat Anda berlari, Anda tidak pernah merasa cukup dekat.

Dr. Thomas Curran dan Dr. Andrew Hill, dalam penelitian mereka yang diterbitkan di Psychological Bulletin, mendefinisikan perfeksionisme sebagai "kombinasi dari standar pribadi yang sangat tinggi dan evaluasi diri yang sangat kritis". Dengan kata lain, ini adalah versi dewasa dari "Nilaimu 98? Kenapa bukan 100?"

Tanda-tanda Perfeksionisme

1. Takut Gagal: Anda lebih suka tidak mencoba daripada melakukan sesuatu dengan tidak sempurna.

2. Prokrastinasi: Ironisnya, perfeksionis sering menunda-nunda karena takut hasilnya tidak sempurna.

3. Kritik Diri yang Berlebihan: Anda lebih fokus pada kesalahan kecil daripada pencapaian besar.

4. All-or-Nothing Thinking: Jika tidak sempurna, berarti gagal total. Tidak ada area abu-abu.

5. Sulit Menerima Kritik: Kritik, bahkan yang membangun, terasa seperti serangan pribadi.

6. Workaholic: Anda selalu merasa harus bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mencapai hasil "sempurna".

Mengapa Perfeksionisme Berbahaya?

Photo by Image Hunter: pexels.com
Photo by Image Hunter: pexels.com
Meskipun terdengar seperti sifat yang baik, perfeksionisme yang berlebihan bisa memiliki dampak negatif yang serius:
1. Stres dan Kecemasan: Tekanan konstan untuk sempurna bisa sangat melelahkan secara mental.

2. Depresi: Ketidakmampuan untuk memenuhi standar yang tidak realistis bisa menyebabkan perasaan gagal dan tidak berharga.

3. Burnout: Bekerja tanpa henti untuk mencapai kesempurnaan bisa menyebabkan kelelahan fisik dan mental.

4. Prokrastinasi Paradoksal: Takut tidak sempurna malah membuat Anda menunda-nunda dan akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.

5. Masalah Hubungan: Tuntutan kesempurnaan bisa membuat orang lain merasa tidak nyaman atau tidak cukup baik.

6. Missed Opportunities: Takut gagal bisa membuat Anda melewatkan peluang berharga dalam hidup.

Asal-usul Perfeksionisme

Perfeksionisme bukanlah hal baru. Bahkan Aristoteles pernah berkata, "Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Kesempurnaan, kalau begitu, bukanlah tindakan, melainkan kebiasaan." (Meskipun dia mungkin tidak membayangkan kita akan stress karena Instagram feed yang tidak aesthetic.)

Namun, penelitian menunjukkan bahwa perfeksionisme semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Studi oleh Curran dan Hill menemukan bahwa tingkat perfeksionisme di kalangan mahasiswa meningkat sebesar 33% antara tahun 1989 dan 2016.

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan ini termasuk:

- Tekanan sosial dan akademis yang semakin tinggi
- Media sosial yang mendorong perbandingan sosial
- Budaya kerja yang menghargai produktivitas di atas segalanya
- Pola asuh yang terlalu protektif atau terlalu menuntut

Bagaimana Mengatasi Perfeksionisme?

Photo by Ann H: pexels.com
Photo by Ann H: pexels.com
 
1. Kenali Pikiran Perfeksionis: Sadari ketika Anda mulai berpikir dalam pola "harus sempurna".

2. Tetapkan Standar Realistis: Ingat, tidak ada yang benar-benar sempurna. Tetapkan tujuan yang menantang tapi bisa dicapai.

3. Praktikkan Self-Compassion: Perlakukan diri Anda dengan kebaikan, seperti Anda akan memperlakukan teman baik.

4. Fokus pada Proses, Bukan Hasil: Nikmati perjalanan, bukan hanya tujuan akhir.

5. Belajar dari Kesalahan: Lihat kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bukan sebagai kegagalan.

6. Terapkan "Good Enough": Kadang, sesuatu yang cukup baik memang sudah cukup.

7. Cari Bantuan Profesional: Jika perfeksionisme mulai mengganggu hidup Anda secara signifikan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau terapis.

Kesimpulan: Menemukan Keseimbangan antara Baik dan Sempurna

Photo by Pixabay: pexels.com 
Photo by Pixabay: pexels.com 
Jadi, apakah ini berarti kita harus berhenti berusaha melakukan yang terbaik? Tentu saja tidak! Yang penting adalah menemukan keseimbangan antara berusaha keras dan menerima ketidaksempurnaan.

Dr. Bren Brown, penulis dan peneliti, mengatakan, "Perfeksionisme bukanlah jalan menuju kesempurnaan, yang memang tidak ada. Perfeksionisme adalah kepercayaan bahwa jika kita hidup dengan sempurna, terlihat dan bertindak sempurna, kita bisa meminimalkan atau menghindari rasa sakit kritik, cemoohan, dan rasa malu."

Alih-alih mengejar kesempurnaan yang tidak mungkin, mungkin kita bisa mulai dengan menerima diri kita apa adanya - dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena pada akhirnya, yang membuat kita menarik dan unik adalah justru ketidaksempurnaan kita.

Jadi, lain kali ketika Anda merasa tidak cukup baik, ingatlah bahwa bahkan Leonardo da Vinci pernah bilang, "Art is never finished, only abandoned." Jika salah satu jenius terbesar dalam sejarah bisa menerima ketidaksempurnaan, mungkin kita juga bisa.

Dan hey, bukankah hidup ini terlalu pendek untuk selalu mencemaskan kesempurnaan? Mungkin sudah waktunya kita merayakan "good enough" dan mulai menikmati proses, alih-alih selalu fokus pada hasil akhir yang sempurna.

Akhir kata, ingatlah bahwa kita semua adalah work in progress. Tidak ada yang benar-benar sempurna, dan itu oke. Bahkan, mungkin justru itulah yang membuat hidup ini menarik. Jadi, mari kita berhenti mengejar bayangan kesempurnaan dan mulai merayakan kemajuan, sekecil apapun itu.

Karena pada akhirnya, hidup yang benar-benar baik adalah hidup yang dinikmati, bukan yang disempurnakan. Dan itu, teman-teman, adalah sesuatu yang worth celebrating - bahkan jika perayaannya tidak sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun