Mohon tunggu...
M Sya'roni Rofii
M Sya'roni Rofii Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

M Sya'roni Rofii, alumnus perguruan tinggi negeri di Jogja. Lanjut berkelana di Istanbul. Mencatat kegelisahan (kadang) menjadi aktifitasnya. Chelsea FC sebagian dari warnanya. Dan, kadang berkicau via @ronirofii. Founder indopagi.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibuku, Tumbal Skandal Bank Century

10 Februari 2011   03:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibunda Alanda Kariza beserta keluarganya (photo/blog kariza)

Ketidakadilan di negeri ini kembali memakan korban. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi tumbal.

Pagi ini saya baru saja membaca kiriman dari milis terkait salah seorang ibu yang didakwa 10 tahun penjara berikut denda 10 milyar sebagai imbas dari skandal Bank Century. Seorang anak bernama Alanda Kariza yang mencurahkan isi hatinya kepada dunia tentang negerinya yang tidak lagi memberikan harapan keadilan lewat blog menggerakkan tangan saya untuk meneruskan cerita itu.  Cerita tentang Dewi keadilan yang sudah lama diusir oleh para pembajak hukum dan bersembunyi di ruang sunyi bumi pertiwi.

Tadinya saya tidak begitu peduli dengan cerita ini mengingat sudah terlalu lama terkatung-katung dan tidak kunjung memberikan pencerahan bagi kita. Ada begitu banyak kepentingan yang melingkari skandal bank century sehingga ujung-ujungnya politiklah yang menjadi raksasa yang menafikan aspek keadilan.

Raksasa politik sampai hari ini ternyata tidak berpihak pada orang yang tidak memiliki afiliasi politik. Bandingkan nasib seorang politisi yang terkena kasus ini hanya mendapat ganjaran tidak lebih dari dua tahun penjara. Sementara Aga Tirta Kirana yang pegawai biasa di Bank Century harus menerima kenyataan pahit dengan tuntutan yang tidak sedikit, 10 tahun penjara dan 10 milyar denda.Kelihatannya ibu Arga hanya pasrah pada kenyataan, hanya bisa berharap dari do'a dan keajaiban yang entah kapan datangnya.

Sekali lagi, hukum hanya bisa meringankan hukuman bagi mereka yang memiliki afiliasi politik. Tidak bagi mereka yang ingin hidup tenang di rumah sederhana bersama keluarga, meliputi, suami dan anak-anak. Masih ingatkah kita tentang tersingkirnya Sri Mulyani Indrawati dari jajaran KIB tidak lepas dari minimnya dukungan politik terhadap dirinya. Kini, situasi yang dihadapi SMI beberapa tahun lalu menimpa ibu Aga. Ibu Aga harus siap dengan segala tuntutan dari aparat penegak hukum yang selalu keras di depan rakyat biasa tetapi sopan manakala bertemu politisi atau mereka yang memiliki darah politik dan dinasti politik.

Saya menuliskan ini dengan penuh haru membayangkan seorang Alanda Kariza yang baru saja berumur 19 tahun dan telah mencatat sejumlah prestasi penting untuk mimpi-mimpi masa depan. Anak ini begitu optimis meramu masa depannya. Namun, sayang kelihatannya berita tentang pemanggilan sang bunda yang tadinya berstatus saksi, berubah menjadi tersangka, dan kemudian menjadi terdakwa, sangat mengganggu konsentrasi Kariza yang masih dalam suasana ujian semester di kampusnya.

Menurut Kariza, kasus itu berawal dari "kredit Komando": ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua, karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan tandatangan Ibu pun "dilangkahi". Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.

Dari kutipan itu kita bisa melihat, bahwa orang kecil selalu saja menjadi tumbal orang-orang kuat yang memiliki kuasa di atasnya. Dalam kasus ini ibu Aga dalam posisi lemah dihadap para pemilik Century dan pemilik Century sedang dalam permainan merampok uang negara dengan jalur-jalur illegal-salah satunya dengan menggunakan jalur politisi. Dan, kelihatannya situasi sekarang menghadapkan ibu Aga dalam dilemma yang sangat kritis karena menjadi bumper pertarungan orang-orang kuat di atasnya. Kariza juga mempertanyakan betapa lemahnya sang ibu dihadapan hukum. Ia membandingkan vonis yang diterima orang-orang yang diatasnya begitu rendah jika dibandingkan dengan si ibu. Begitu juga dengan vonis yang diterima Gayus yang begitu rendah padahal dosa hukumnya telah merusak moral penegak hukum dan mentalitas penegakan hukum.

Diberitakan: Kompas.com (9/2): Adapun, Arga Tirta Kirana, adalah mantan Kepala Divisi Legal Bank Century (2005-2009) yang tersangkut perkara yang juga menjerat politisi Partai Keadilan Sejahtera, Misbakhun. Misbakhun dipidana 1 tahun penjara karena terbukti memalsukan surat gadai untuk mendapatkan kredit Bank Century sebesar 22,5 juta dollar AS.

Dalam dakwaan primer, jaksa penuntut umum mendakwa Arga melanggar Pasal 49 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman hukuman maksimal dalam dakwaan primer 15 tahun penjara dengan denda Rp 200 miliar.

Sementara, dakwaan subsider adalah Pasal 49 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, usai rapat koordinasi di Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (9/2/2011). berpendapat bahwa dalam persidangan Arga tersebut, tentunya jaksa sudah bertindak profesional.

Lepas dari proses hukum yang masih berjalan, namun satu hal yang menjadi kerisauan kita bersama adalah, seringkali kasus hukum yang menimpa rakyat kecil cenderung berakhir dramatis. Berulangkali rasa keadilan masyarakat dicederai dan dalam konteks itu kita mengharapkan agar hakim lebih bisa melihat aspek ini.

Tulisan ini ditujukan untuk mengetuk hati setiap orang yang sempat membacanya dan sebisa mungkin mengabarkan kepada yang lain bahwa drama rakyat kecil kembali terulang, dulu kita pernah bersatu menjalin solidaritas ketika Prita Mulyasarai ditahan, Bibid-Chandra ditahan, Mbah Minah ditahan dan kasus lainnya. Kali ini drama itu kembali terulang. Solidaritas masyakat dibutuhkan untuk mengetuk hari para penegak hukum, pejabat pemerintah, tokoh masyarkat, dan mereka yang memiliki rasa solidaritas kemanusiaan.

Salam Kompasiana,

Yogyakarta, 10 Februari 2010

M Sya'roni Rofii

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun