Guru Sêjati
Kasêrat déning RMP. Sosrokartono
“Murid guruné pribadi
Guru muridé pribadi
Pamulangané, sêngsarané sêsami
Ganjarané ayu lan arumé sêsami...
Sinau ngraosaké lan nyumêrêpi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal, lan maksudipun agêsang...
Tansah anglampahi dados muriding agêsang.”
(Murid, adalah guru diri sendiri
Guru, adalah murid diri sendiri
Ajarannya, adalah penderitaan/tirakat/kesulitan sesama
Balasannya, benar nan selamat dan harumnya sesama...
Belajar merasakan dan mengetahui tunggalnya manusia, tunggalnya rasa, tunggalnya asal, dan maksud dari kehidupan...
Selalu menjalani menjadi murid kehidupan.)
ꦓꦸꦫꦸ (Guru) menggunakan aksara murda (kepala, kehormatan) ꦓ, bukan ꦒ ('ga') dalam penulisannya. 'Ga' berarti gaib, merujuk pada sesuatu yang abstrak dan absolut. Karena menggunakan 'murda' ia merujuk pada sesuatu yang benar² absolut, sesuatu yang tidak ada sesuatu mengunggulinya. 'Ga' di-suku; dalam konteks ini, suku diartikan sebagai “sesuatu yang berbeda” sebagaimana kata suku pasal (pasal berbeda), menghasilkan makna Dia yang abstrak nan absolut yang berbeda dari segalanya.
Aksara ꦫ berarti ‘ruh’ atau ‘rasa’. Dalam budaya Jawa, ruh merujuk pada wujud yang menjadi esensi kehidupan. Tanpa 'ruh/rasa'maka tak ada kehidupan. 'ra' di-suku bermakna 'ruh/rasa' yang berbeda dengan 'ruh' biasanya. 'Ra' menyatu dengan 'Ga' mengejawantahkan makna “Ruh/rasa gaib nan abstrak dan absolut yang sama sekali berbeda dari lainnya, dan tiada ruh yang menunggulinya”, maka dalam hal ini kata ꦓꦸꦫꦸ (guru) merujuk kepada ꦓꦸꦢ꧀ꦠꦶ (gusti).
ꦱꦼꦗꦠꦶ (Sêjati) terangkai dari aksara ꦱ (sa) dipêpêt; ꦗ (ja); dan ꦠ (ta) diwulu. ꦱ (sa) berarti sawiji (tunggal). 'sa' dipêpêt; pêpêt bermakna mutlak. Maka ‘Sê’ bermakna Tunggal mutlak. ꦗ (ja) berarti jalma. Kata 'jalma' dapat berarti manusia, dan ‘asaling cahya’ (asal cahaya). Falsafah jalma, dapat dilihat dari pepatah Jawa: ‘Jalma Mara Jalma Mati’ (Ketika cahaya datang, maka manusia mati). Cahaya di sini berarti kematian, manunggaling dat sêbab kêlawan pati. Ilangé jasad manunggal kaliyan bumi.
Aksara ꦠ (ta) bermakna tês (menetas) seperti menetasnya telur, tés (menetes) seperti menetesnya air, dan tis (menitis) seperti menitisnya ilmu. Têtêsing watu jalaran tumétésé tirta kang anitis kahanan (Pecahnya batu sebab tetesan air yang menjelma sebuah keadaan). Maka dari itu, 'ta' dapat dipahami sebagai sebuah ciptaan. Ia disandari wulu (wulu) Dalam pandangan Jawa, wulu merupakan permulaan terbentuknya jalma. Sehingga, 'ta' dapat dipahami sebagai penciptaan paling awal manusia, yaitu bapak seluruh manusia.
Maka, makna sêjati adalah Sesuatu yang bersifat tunggal secara mutlak, yang Ia merupakan asal dari segala cahaya, dan ia menciptakan sesuatu paling awal, tanpa contoh sebelumnya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ꦓꦸꦫꦸꦱꦼꦗꦠꦶ adalah Gusti (Tuhan) yang bersifat tunggal secara mutlak, dan Dia merupakan asal cahaya yang menciptakan sesuatu tanpa contoh.
Kejeniusan RMP. Sosrokartono dalam menjelaskan ketauhidan secara mendalam namun mudah dalam menjalankan keberlangsungan berkehidupan, terangkai dalam syair yang beliau beri judul Guru Sejati di atas.
Ah, saya jadi ingat sepotong wejang Kiai Petruk:
“Kuncung irêng pancal putih,
Swarga durung wêruh,
Neraka durung wanuh,
Mung donya sing aku wêruh,
Uripku aja nganti duwe mungsuh...
Yang berkesesuaian dengan dhawuh RMP. Sosrokartono: “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasoraké”. Wallāhu A‘lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H