Siapa sih yang tidak tahu tentang sosok Raffi Ahmad ini?, yap, Raffi Ahmad adalah seorang Publik Figur, pengusaha, pembawa acara, aktor asal Indonesia. Saat ini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Sebagai keturunan Sunda dan Pakistan, ia adalah putra sulung dari Pasangan Munawar Ahmad dan Amy Qanita. Raffi juga pendiri perusahaan yang bernama RANS Entertaimnet.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah Cancel Culture sangat populer di Indonesia dan di negara lainnya. Cancel Culture ini merujuk pada fenomena dimana seseorang public figur yang mendapatkan hukuman secara social karena telah melakukan tindakan perilaku  atau ucapan yang dianggap tidak etis oleh publik.
Sanksi nya itu bisa berupa pemboikotan, kritikan dimedia social, hingga pemutusan hubungan kerja atau kontrak dengan pihak-pihak yang terlibat. Cancel culture di Indonesia, seperti sama halnya di luar negeri lain, biasanya terjadi oleh dorongan yang kuat dari media social. Biasanya fenomena itu memiliki aspek positif dan negatif.
Disatu sisi, cancel culture dianggap sebagai bentuk tanggung jawab secara social kolektif, yang dimana masyarakat dapat menuntut akuntabilitas dari publik figure yang telah melakukan kesalahan. Cancel culture juga bisa menjadi tidak adil dan kejam, karena orang yang bersangkutan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesahalahan mereka sendiri sebelum diadili oleh opini publik.
Salah satu kasus selebriti papan atas yaitu Raffi Ahmad yang pernah terkena dampak dari budaya "Cancel Culture" ini. Pada awal tahun 2024, Raffi Ahmad menjadi sorotan di Indonesia, salah satu selebriti papan atas yang terlibat dalam kontroversi terkait sikap politiknya yang pro terhadap pemerintahan saat ini. Sebagai salah satu public figure dengan jumlah pengikut media social yang sangat besar, keputusan Raffi untuk secara terbuka mendukung kebijakan pemerintah dapat memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan, termasuk reaksi para penggemarnya.
Followers Raffi Ahmad didunia berada diurutan ke-55 di Asia Tenggara, dari 70 juta followersnya, banyak yang telah mengunfollow akun intstagram Raffi Ahmad. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi citra Raffi secara keseluruhan, tetapi juga berujung pada unfollow massal dimedia social. Ditengah memanasnya situasi politik pada tahun 2024, dukungan Raffi secara terbuka dilihat oleh beberapa kalangan sebagai langkah kontroversial, terutama karena politik yang sangat terpolarisasi. Menurut data yang diambil dari platform Twitter, Instagram, dan Tiktok, setelah raffi memposting dukungannya, terjadi penurunan drastic dalam jumlah pengikutnya.
* Peran media social dalam cancel culture
Media social telah menjadi medan tempur utama dalam budaya cancel culture ini. netizen memiliki kekuatan yang besar untuk memberi opini negatif terhadap public figur melalui aksi boikot digital, salah satunya adalah denga cara mengunfollow massal atau bahkan menyerukan boikot terhadap brand yang bekerja sama dengan selebriti itu.
* Respon Raffi Ahmad dan upaya pemulihan
Raffi Ahmad merespon reaksi tersebut dengan tenang. Dalam salah satu pernyataannya di instaghram live, ia menyampaikan bahwa dukungannya terhadap kebijakan pemerintah adalah bentuk dari kebebasan berpendapat yang ia yakini sebagai hak setiap warga negara.
Selain itu, Raffi mencoba meredakan situasi dengan malakukan berbagai aktivitas social dan kampanye yang lebih inklusif, yang berfokus pada persatuan dan toleransi. Namun, dalam tiga bulan setelah insiden tersebut, meskipun ia kembali memperoleh sebgaian pengikutnya, angka pemulihan masih belum kembali keposisi semula.
Kasus Raffi Ahmad ditahun 2024, menunjukan bahwa cancel culture tidak hanya terbatas pada perilaku yang dianggap tidak pantas secara social, tetapi juga dapat menyentuh ranah politik dan sikap public figure terhadap isu-isu kontroversial. Diera dimana selebriti memiliki pengaruh yang besar melalui media social, sikap atau keputusan yang dapat langsung berdampak pada pengikut mereka. Cancel culture yang dialaminya ini memperlibatkan bagaimana public figure harus lebih berhati-hati lagi dalam menyuarakan pandangna politik atau social diera digital. Dampaknya bisa sangat siginifikan, baik dalam hal kehilangan pengikut, reputasi, maupun pengaruh dimedia social.
Pada akhirnya, fenomena cancel culture ini membukakan diskusi yang lebih luas tentang tanggung jawab social public figur dan batasan kebebasan berpendapat di era yang semakin terhubung secara digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H