Mohon tunggu...
Politik

Menuju ke Mana?

25 Februari 2019   22:39 Diperbarui: 25 Februari 2019   23:31 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meneropong ke pemilu 2019, wabah pasca-kebenaran telah merubah wajah mimpi bangsa; yang pada awalnya memimpikan inklusifitas, kemajuan dan kemaslahatan bersama, menjadi memimpikan tegaknya kebenaran masing-masing kelompok dengan meruntuhkan kebenaran orang/kelompok lain. Meruntuhkan kebenaran milik orang lain tidak hanya diakomodasi oleh demagog, tapi juga diamplifikasi oleh media sosial. Pada tataran ini, kebenaran dipahami melalui intertekstualitas dan intratekstualitas dari berbagai artefak verbal ataupun non-verbal yang terlontar dari lisan non-pakar, ataupun yang tercecer di media sosial. Inilah mengapa nalar kritis sangat diperlukan di era digital, karena memahami hibriditas reprsentasi sosial antara di dunia digital dan di dunia nyata tanpa nalar kritis sama halnya dengan melegitimasi hoaks, berita bohong, pelintiran dan opini non-pakar sebagai fakta sosial.

Fakta sosial di dunia nyata menuntut adanya realita yang bersandar pada positivisme empiris, fakta yang bisa diverifikasi dan keterbukaan untuk difalsifikasi. Sedangkan di dunia digital, fakta sosial direduksi secara ekstrim dengan dipotong konteksnya, dikacaukan koherensi dan korespondensinya (baik oleh manusia ataupun oleh algoritma), dan dimodifikasi premis metodologisnya demi kepentingan politik.

Reduksi fakta sosial ini mendorong penyuburan 'apa yang terasa benar' karena di era media sosial, orang banyak bersandar pada informasi yang secara hermeneutik---parsial, dan secara kategori termasuk ke dalam salah satu dari---misinformasi, disinformasi dan malinformasi. 143,26 juta pengguna internet dengan paparan 87,13% sebagai pengguna media sosial, dan preferensi membaca 41,55% informasi agama dan 36,94% informasi politik,[3] adalah angka yang lebih dari cukup untuk sekedar objek sabotase suara pemilu ataupun membuat gaduh ruang publik.

Maka xenophobia, eksklusivisme, rasisme dan sentimen agama akibat menebalnya 'apa yang terasa benar' telah membuka 'cakrawala baru' bagi kita dalam menyikapi pemilu. Kebutuhan terhadap opinion leader yang populis menjembatani suara kita tentang cita-cita kondisi dari satu periode ke periode lain. Hanya saja, ketika 'apa yang terasa benar' menebal dan permintaan terhadap aktor populis muncul, maka hal yang dipentingkan dari pemilu bukan lagi tentang voice, tapi tentang vote.

Vote yang disumbang oleh massa yang teralterasi oleh pasca-kebenaran dan fanatisme identitas secara tidak sadar akan mendorong dasar kebijakan pembangunan yang ilusif. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan bukan didasari oleh kebutuhan yang esensial, namun lebih didasari oleh histeria aksidental yang dipicu oleh kegaduhan akibat nir-nalar kritis dalam memahami fakta sosial di dunia digital dan di dunia nyata. Konsekuensinya, pembangunan yang terjadi adalah pembangunan yang tidak akomodatif, atau bahkan semu. Bangsa ini menuju kemana? Oleh karena itu, mari jadikan pemilu kali ini dengan mengeliminasi fanatisme identitas kebenaran.

[1] McIntyre, Lee. 2018. Post-Truth. Massachusetts: MIT Press. Hlm.8

[2] Baron, Ilan Zvi. 2018. How to Save Politics in the Post-Truth Era. Manchester: Manchester University Press. hlm.89

[3] Survei APJII Tahun 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun