Pembangunan, baik fisik maupun non-fisik, pasti berasal dari kebijakan. Dan kebijakan ditentukan oleh si pengambil kebijakan dan kajian saintifik (fakta) yang melandasinya.
Momen pemilu adalah proses transisi 'si pengambil kebijakan.'lantas bagaimana jika dalam kegiatan pemilu, politisi berkata sesukanya demi simpati suatu/beberapa kelompok, dan si pemilih cuek terhadap kebenaran santifik, atau bahkan cenderung memilah milih kebenaran dari sumber yang tidak kredibel. Dengan kata lain, hari ini telah terjadi pelebaran varian landsan fakta bagi kebijakan; fakta tidak harus saintifik, tapi harus sesuai dengan afiliasi (identitas).
Apabila menengok ke era Orde Baru, maka di era itu, orang yang menyuarakan kebebasan dan kebenaran, dibungkam. Pasca-reformasi, kondisi tersebut berbalik telak. Banyak orang yang secara bebas menyuarakan kebenaran hingga ruang publik gegap gempita terisi oleh berbagai versi kebenaran. Yang terjadi hari ini adalah 'bursa kebenaran,' orang bebas memilih versi kebenaran yang ditawarkan.
Apabila mendekati bursa ini dengan naluri utopia manusia maka fenomena bursa kebenaran akan tercium sebagai aroma kebebasan yang menggoda bagi masing-masing utopia tiap insan. Namun apabila mendekati bursa ini dengan kejernihan pikiran, maka bursa kebenaran, adalah tidak lebih sebagai memenjarakan diri dalam kepercayaan buta yang mengkerdilkan akal kritis sehingga membatasi diri terhadap orang lain dengan fanatisme identitas pengetahuan.
Fanatisme identitas selalu efektif untuk membius nalar. Bius fanatisme identitas membuat orang merasa seakan berada pada kepastian dan kebenaran mutlak. Bius ilusif ini adalah siklus yang terus berputar antara audiens, media dan politisi. Maka, apa yang dikatakan oleh Newt Gingrich saat diwawancarai oleh---seorang reporter CNN---Alisyn Camerota tentang angka kriminalitas,[1] adalah relevan untuk menggambarkan situasi saat ini.
Camerota : "Iya! Orang 'merasa' angka kriminalitas naik. Tapi fakta (data) yang dimiliki oleh FBI tidak berkata demikian."
Gingrich : "Sebagai seorang politisi, aku akan berpihak pada apa yang orang-orang rasakan, dan aku akan membiarkan mu berpihak kepada para ilmuan."
Dengan kata lain, hari ini, kebenaran sedang digerogoti oleh kebebasan yang membebaskan politisi dan masyarakat umum untuk mendiskreditkan fakta, realita dan kebenaran saintifik. Pada titik ini, para ilmuan sebagai pemegang tertinggi otoritas pengetahuan telah diasingkan karena apa yang menjadi nilai tukar utama adalah 'identitas' pengetahuan, bukan 'proses kerja saintifik' suatu pengetahuan. Peduli terhadap proses kerja saintifik adalah hal yang tabu bagi seseorang/kelompok yang terbius fanatisme identitas pengetahuan.
Bius fanatisme identitas pengetahuan akhirnya membawa seluruh social stakeholder ke dalam bentuk masyarakat baru, yakni apa yang disebut oleh---seorang teoritikus politik kontemporer---Ilan Zvi Baron, sebagai 'Masyarakat yang kemampuan berpikirnya telah tercerabut.'[2] Bentuk masyarakat baru ini ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk membedakan mana kualitas gagasan dan mana kegemerlapan kemasan; tercecernya koherensi dan korespondensi antara ucapan, fakta dan realita; dan tidak disadarinya pengaburan batas antara yang benar, setengah benar dan yang bohong sebagai norma publik. Dalam kondisi inilah demagog dan aktor populis lahir, dalam kondisi inilah hoaks, berita bohong dan praktik pasca-kebenaran membasahi ruang publik, dan dalam kondisi ini juga-lah orang bebas menikam kebenaran milik orang lain tanpa mempertimbangkan falsifikasi kebenaran miliknya.
Yang terjadi adalah, kegaduhan diskusi di ruang publik yang nirkolaborasi, nir-etika, dan nirkepedulian terhadap kemaslahatan bersama. Konsekuensinya, diskusi publik tidak lagi berdasarkan semangat sains dan niatan konstruktif, tapi berdasarkan apa yang 'dirasakan' masyarakat, dan semata berdasarkan pemenuhan janji politis untuk meningkatkan elektabilitas. Inilah yang diekshibisi oleh Newt Gingrich, bahwa saat ini, politik adalah tentang memenangkan 'rasa,' bukan memenangkan kualitas gagasan. Dengan kata lain, data, fakta, realita dan kebenaran saintifik sudah tidak lagi relevan karena masyarakat mencintai 'apa' yang terasa benar. Dan politisi merasa perlu untuk menciptakan 'apa yang terasa benar' serta perlu untuk memenuhi janji kebenaran afiliatif untuk menjaga 'apa yang terasa benar' tetap langgeng.
Meneropong ke pemilu 2019, wabah pasca-kebenaran telah merubah wajah mimpi bangsa; yang pada awalnya memimpikan inklusifitas, kemajuan dan kemaslahatan bersama, menjadi memimpikan tegaknya kebenaran masing-masing kelompok dengan meruntuhkan kebenaran orang/kelompok lain. Meruntuhkan kebenaran milik orang lain tidak hanya diakomodasi oleh demagog, tapi juga diamplifikasi oleh media sosial. Pada tataran ini, kebenaran dipahami melalui intertekstualitas dan intratekstualitas dari berbagai artefak verbal ataupun non-verbal yang terlontar dari lisan non-pakar, ataupun yang tercecer di media sosial. Inilah mengapa nalar kritis sangat diperlukan di era digital, karena memahami hibriditas reprsentasi sosial antara di dunia digital dan di dunia nyata tanpa nalar kritis sama halnya dengan melegitimasi hoaks, berita bohong, pelintiran dan opini non-pakar sebagai fakta sosial.
Fakta sosial di dunia nyata menuntut adanya realita yang bersandar pada positivisme empiris, fakta yang bisa diverifikasi dan keterbukaan untuk difalsifikasi. Sedangkan di dunia digital, fakta sosial direduksi secara ekstrim dengan dipotong konteksnya, dikacaukan koherensi dan korespondensinya (baik oleh manusia ataupun oleh algoritma), dan dimodifikasi premis metodologisnya demi kepentingan politik.
Reduksi fakta sosial ini mendorong penyuburan 'apa yang terasa benar' karena di era media sosial, orang banyak bersandar pada informasi yang secara hermeneutik---parsial, dan secara kategori termasuk ke dalam salah satu dari---misinformasi, disinformasi dan malinformasi. 143,26 juta pengguna internet dengan paparan 87,13% sebagai pengguna media sosial, dan preferensi membaca 41,55% informasi agama dan 36,94% informasi politik,[3] adalah angka yang lebih dari cukup untuk sekedar objek sabotase suara pemilu ataupun membuat gaduh ruang publik.
Maka xenophobia, eksklusivisme, rasisme dan sentimen agama akibat menebalnya 'apa yang terasa benar' telah membuka 'cakrawala baru' bagi kita dalam menyikapi pemilu. Kebutuhan terhadap opinion leader yang populis menjembatani suara kita tentang cita-cita kondisi dari satu periode ke periode lain. Hanya saja, ketika 'apa yang terasa benar' menebal dan permintaan terhadap aktor populis muncul, maka hal yang dipentingkan dari pemilu bukan lagi tentang voice, tapi tentang vote.
Vote yang disumbang oleh massa yang teralterasi oleh pasca-kebenaran dan fanatisme identitas secara tidak sadar akan mendorong dasar kebijakan pembangunan yang ilusif. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan bukan didasari oleh kebutuhan yang esensial, namun lebih didasari oleh histeria aksidental yang dipicu oleh kegaduhan akibat nir-nalar kritis dalam memahami fakta sosial di dunia digital dan di dunia nyata. Konsekuensinya, pembangunan yang terjadi adalah pembangunan yang tidak akomodatif, atau bahkan semu. Bangsa ini menuju kemana? Oleh karena itu, mari jadikan pemilu kali ini dengan mengeliminasi fanatisme identitas kebenaran.
[1] McIntyre, Lee. 2018. Post-Truth. Massachusetts: MIT Press. Hlm.8
[2] Baron, Ilan Zvi. 2018. How to Save Politics in the Post-Truth Era. Manchester: Manchester University Press. hlm.89
[3] Survei APJII Tahun 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H