Di sebuah desa terpencil, ada rumah tua yang selalu ditinggalkan kosong. Penduduk desa menyebutnya "Rumah Hitam," karena dindingnya yang gelap dan jendelanya selalu tertutup. Konon, rumah itu berhantu. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang pernah tinggal di sana, tapi cerita mengatakan bahwa seorang keluarga besar dulu mendiami rumah itu. Suatu malam, semua anggota keluarga menghilang tanpa jejak, dan sejak saat itu, rumah itu ditinggalkan begitu saja.
Arman, seorang pria muda yang penasaran, memutuskan untuk membuktikan bahwa cerita tersebut hanyalah takhayul. Bersama tiga temannya, ia merencanakan untuk menginap di Rumah Hitam selama semalam penuh. Mereka tiba di sore hari, membawa peralatan berkemah dan beberapa lilin, karena listrik di rumah itu sudah lama mati. Udara terasa berat dan sunyi ketika mereka melangkah masuk. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong-lorong kosong, sementara debu menempel di setiap sudut. Ruangan utama dipenuhi dengan furnitur tua yang rusak, seperti telah ditinggalkan selama berpuluh-puluh tahun.
Malam tiba dengan cepat. Lilin-lilin dinyalakan, dan suasana rumah terasa semakin mencekam. Angin malam bertiup pelan, tapi cukup untuk membuat jendela berderit. Mereka duduk di ruang tengah, berusaha bercanda untuk menghilangkan ketegangan. Namun, tak lama setelah itu, salah satu dari mereka, Sinta, merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa seperti ada yang mengamatinya dari sudut ruangan, tapi ketika ia melihat, tidak ada apa-apa.
Kemudian, terdengar suara langkah kaki di lantai atas. Mereka terdiam, saling menatap dengan cemas. "Mungkin hanya tikus," kata Arman, berusaha menenangkan teman-temannya. Namun, suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas, lebih berat, seperti langkah manusia. Arman mengambil senter dan memutuskan untuk memeriksa. Ia berjalan pelan menaiki tangga, diikuti oleh dua temannya, Doni dan Rina, sementara Sinta memilih tetap di bawah.
Saat mereka mencapai lantai dua, koridor gelap menyambut mereka. Mereka menyorotkan cahaya senter ke segala arah, tapi tidak menemukan apa-apa. Ruang-ruang di lantai atas tampak kosong, namun perasaan tidak nyaman semakin kuat. Tiba-tiba, terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil. Mereka saling berpandangan dengan ketakutan. "Kita harus keluar dari sini," bisik Rina.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pintu salah satu kamar terbuka dengan keras, seolah-olah didorong dari dalam. Cahaya senter yang diarahkan ke dalam kamar hanya menyoroti kehampaan, tapi udara di sana terasa dingin dan berbau busuk. Ketika Arman melangkah lebih dekat, tiba-tiba ia merasakan tangan yang dingin menyentuh bahunya. Ia berbalik dengan cepat, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Rasa takut mulai menjalari tubuhnya.
Sementara itu, di bawah, Sinta mendengar suara gemerincing dari arah dapur. Ia berjalan mendekat, berusaha menenangkan dirinya bahwa itu hanya suara tikus atau angin. Namun, ketika ia membuka pintu dapur, ia melihat seorang wanita berdiri membelakanginya, dengan rambut panjang menutupi wajah. Wanita itu mengenakan gaun putih yang compang-camping, dan suaranya berbisik, "Kembalikan kami... Kembalikan kami..."
Sinta berteriak dan berlari ke ruang tengah, namun wanita itu mengikuti, bergerak lebih cepat dari yang seharusnya mungkin. Saat Sinta mencoba keluar dari rumah, pintu utama terkunci rapat, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya di dalam. Ia menjerit memanggil teman-temannya, namun suaranya seolah teredam oleh dinding-dinding rumah itu.
Di lantai atas, Arman dan teman-temannya juga merasakan tekanan yang sama. Pintu-pintu mulai menutup sendiri, langkah-langkah berat kembali terdengar, kali ini mendekati mereka. Mereka berlari ke bawah, mencoba menemukan jalan keluar, namun setiap pintu dan jendela tampaknya terkunci dari luar.
Mereka terjebak. Suara tawa anak kecil dan bisikan wanita itu memenuhi udara, semakin keras dan menggema di seluruh rumah. Arman dan teman-temannya mulai panik. Sinta berlari ke arah pintu depan, mencoba membukanya dengan segala kekuatan, tapi pintu itu tidak bergerak. Di belakang mereka, suara langkah kaki semakin dekat, dan saat mereka menoleh, mereka melihat sosok-sosok hitam berkumpul di lorong, perlahan mendekat.
Sosok-sosok itu tampak seperti bayangan manusia, namun tanpa wajah, hanya berupa siluet gelap yang melayang di udara. Mereka terus mendekat, dan setiap kali Arman atau salah satu temannya mencoba bergerak, bayangan-bayangan itu semakin cepat. Akhirnya, ketika salah satu dari mereka hampir mencapai pintu, sosok wanita bergaun putih itu muncul di depannya, menjerit dengan suara yang menembus telinga.
Lampu-lampu lilin padam bersamaan, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Jeritan memenuhi udara, namun tidak ada yang bisa melihat apa-apa. Ketika cahaya senter dinyalakan kembali, rumah itu kosong---tidak ada yang tersisa kecuali suara langkah kaki yang perlahan menjauh, dan rumah itu kembali sunyi, seperti sebelumnya.
Arman dan teman-temannya tidak pernah ditemukan. Penduduk desa mengatakan, siapa pun yang masuk ke dalam Rumah Hitam tidak pernah keluar lagi. Hingga hari ini, suara langkah kaki dan tawa anak kecil kadang-kadang masih terdengar di malam hari, tapi tak ada yang berani mendekat untuk memeriksa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H