Lama saya tidak menulis di kompasiana. Pertama karena saya malas, kedua karena saya pemalas, ketiga karena saya betul-betul pemalas dan keempat karena saya hanya penulis ecek-ecek yang tergerak untuk menulis apabila  badan dan otak sedang tidak malas.
Hari ini tiba-tiba otak  saya menjadi cerdas dan badan saya rajin  dan semangat. Mengapa? Karena saya kopdaran lagi denagn beberapa kompasianer di Perth. Para kompasianer itu adalah Pak dan Ibu Tjiptadinata, Irina Gandaprawira dan Ibu Isaro.
Kopdar ini direncanakan secara mendadak. Biasanya saya, Fey Down, Irina dan Ibu Isaro sering kopdar tanpa rencana. Bahkan bisa dibilang bukan kopdar lagi karena seringnya kami iseng-iseng ketemu untuk sekedar makan siang bareng atau window shopping bersama (soal shopping, pembaca dilarang protes, karena  wanita tanpa cuci mata ibarat kacamata tanpa lensa #lhooo).
Di kopdar yang pertama dengan bapak dan Ibu Tjip di RM Indonesia Indah, saya dan Irina ditraktir. Fey tidak ikut karena sedang pulang ke Indonesia sedangkan Ibu Isaro juga tidak ikut karena sibuk. Â Nah hari Juma't, 27 Desember saya membaca tulisan pak Tjip tentang sepotong cinta dibagi tiga. Dalam artikelnya ditulis bahwa beliau sudah berada kembali di Perth. Wah kebetulan nih, suami saya sudah lama ingin berjumpa dengan Pak Tjip dan Ibu Lina. saya sapa beliau di komentar. Ternyata berbalas. Bahkan beliau mengirim sms ke nomor hp saya dan inbox di kompasiana mengundang kami kompasianer Perth untuk Lunch ke rumahnya di Hari Minggu. Kalah langkah nih saya. padahal saya sudah nawaitu, Â this time is our turn untuk mentraktir beliau berdua.
Undangan ini lalu saya sampaikan saat saya, Fey, Irina dan Ibu Isaro ketemuan untuk lunch di restoran Indonesia pada hari Jum'at. Semuanya mau dan setuju untuk datang ke rumah pak Tjip di Iluka. Bahkan kami sepakat akan mengajak suami masing-masing. Â Sayang sekali, malamnya Fey meng-sms saya tidak bisa ikut karena ternyata suaminya sudah ada janji dengan salah satu saudaranya untuk lunch juga di hari yang sama. Kami bisa memahami alasannya.
Hari Minggu jam 12 siang selesai Training untuk job yang baru; Saya terburu-buru pulang untuk nyamperi suami di rumah. Waduh, ternyata bensin tinggal sedikit. Bisa telat nih karena saya harus pergi ke Petrol Station untuk isi bensin. Kasihan Ibu Isaro kalau saya telat harus menunggu lama di stasiun KA. Suaminya tidak bisa ikut karena sedang tidak enak badan, makanya kami janjian untuk menjemputnya di stasiun Joondalup. Belum lagi sampai di Petrol station, Ibu Isaro menelpon katanya dia masih di City. Saat akhir pekan, jadwal KA lebih jarang dibandingkan  pada hari kerja. Akhirnya kami bersepakat untuk menjemputnya di Stasiun Stirling,  stasiun terdekat dari rumah saya,  bukan di Stasiun Joondalup yang dekat dengan Iluka seperti kesepakatan awal kami.
30 menit terlambat dari janji semula, kami tiba di rumah pak Tjiptadinata Effendi di Iluka. Sebuah rumah berlantai dua  yang besar dan asri di Tepi pantai. Celingukan saya mencari mobil Irina. Mobilnya tak tampak. Saya jadi lega karena sama-sama terlambat (kalau kita terlambat dan yang lainpun terlambat, rasa bersalah hilang karena ngaretnya berjamaah, LOL).
Tak lama kemudian, Irina dan suaminyapun datang  Setelah saling bercipika cipiki dan mengobrol sedikit, Ibu Lina mengeluarkan olahan masakannya yang lezat. Beliau memasak nasi goreng di temani ayam goreng dan telur mata sapi. Wuih, sudah lama saya tidak makan telur mata sapi yang "pas" matangnya seperti buatan bu Lina.  Ini nih gambar masakan Bu Lina (lihat gambar 1).
[caption id="attachment_287040" align="aligncenter" width="500" caption="Nasi goreng yummm dengan ubo rampenya buatan Bu Lina"][/caption]
Setelah perut kenyang, obrolan jadi bertambah lancar. Kami asyik mengobrol dengan Pak Tjip dan Bu Lina. Cerita-cerita serius dan lucu tentang Indonesia dan Australia berhamburan di ruangan itu. Cerita tentang kebaikan dan kejelekan dua kultur dan negara yang berbeda. Tak ada yang merasa tersinggung karena buat kami, perbedaan adalah hal yang pasti adanya. Kejelekan bukan untuk dihujat. Bahkan kami bisa mentertawakan kejelekan kultur kami masing-masing.  Bukankah ada yang mengatakan bahwa kita disebut manusia bijak apabila bisa mentertawakan kekurangan dan kejeleken diri sendiri. Gelak tawa berlepasan  diselingi seruputan kopi atau teh dan interupsi berphoto-photo. Kata-kata Cheers, chees dan nasi goreng mengiringi sesi photo-photo ini. Kering gigi kami saking banyaknya nyengir dan berphoto.
Dari kopdaran yang pertama, maupun yang kedua kesan saya tentang pak Tjipta dan Ibu Lina tidak berubah. Mereka adalah pasangan yang saling  mencintai dan betul-betul satu  merupakan bagian dari yang lain.  Kalau mbah saya bilang, seperti mimi lan mintuno. runtang-runtung bersama dan bahagia. Kesan saya yang lain, beliau berdua adalah pribadi yang memiliki banyak pengalaman hidup; Dua orang yang banyak belajar dari alam dan lingkungan; Sepasang suami istri yang saling mengisi, ikhlas dan rendah hati.
Di tengah-tengah obrolan, Ibu Lina menawarkan diri untuk berbagi ilmu tentang reiki kepada kami. Tentu saja kami menerimanya dengan senang hati. Kami berpindah ke ruang duduk keluarga Pak Tjipta agar kami bisa belajar reiki secara tenang serta  memberi kesempatan pada para Pria untuk meneruskan obrolannya. Kami bertiga di beri pengetahuan singkat tentang reiki. Dengan keahliannya, Ibu Lina juga membuka jalan bagi kami untuk dapat menangkap dan memanfaatkan energi dari alam.  Ternyata para suami juga tertarik untuk belajar reiki. Apalagi ternyata suami Irina juga pernah belajar Reiki di Irlandia . Jadi klop deh.
Tak terasa hampir tiga jam sudah kami bertandang. Di akhir pertemuan Pak Tjip memberi kami kenang-kenangan buku karangannya. Ini nih buku-bukunya (lihat gambar 2).
[caption id="attachment_287041" align="aligncenter" width="300" caption="Buku-buku karangan Pak Tjip, hadiah untuk kompasianers Perth. "]
Satu orang satu buku. Untuk Fey, pak Tjip juga menitipkannya kepada kami. wah, benar-benar murah hati nih  nih Pak tjip. Sudah ditraktir makan di kopdar pertama, di jamu di kopdar kedua, dapat ilmu dan buku pula.  Suami saya juga memberikan satu buku cerita CHIKKA THE KANGOROO  untuk cucu pak Tjip yang kecil.
[caption id="attachment_287044" align="aligncenter" width="300" caption="Sampul buku Chikka the Kangoroo"]
Sebelum pulang, kami sempatkan lagi berphoto-photo di depan rumah Pak Tjip
[caption id="attachment_287045" align="aligncenter" width="300" caption="Para kompasianer Perth berphoto bersama di depan rumah Pak Tjip. Hayo siap yang sedang jadi pengarah gaya?"]
Akhirnya tiba waktunya kami pulang, Tak ada say goodbye karena kami yakin pasti akan bertemu kembali. Terima kasih pak Tjip dan Ibu Lina atas segala  keramahan, jamuan makan siang, ilmu reiki, buku dan keikhlasan dari anda berdua untuk berbagi dengan kami.
Salam memahami orang lain dan mentertawakan diri sendiri dari Perth.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H