Pembagian dana Hibah yang diberikan kepada Badan/ Lembaga dan Organisasi Swasta dalam rangka penanganan Covid-19 oleh pemerintah Aceh dinilai sebagai kebijakan yang blunder. Kebijakan tersebut dituangkan dalam surat keputusan Gubernur Aceh Nomor 426/1675/2020.
Sebagaimana dalam salinan surat keputusan yang dikeluarkan Gubernur Aceh ada 100 Bandan/ Lembaga dan Organisasi Swasta yang menerima bantuan hibah dari Pemerintah Aceh. Adakah Sosialisasi, Edukasi dan Publikasi yang dilakukan oleh penerima Dana Hibah kepada masyarakat.
Hal ini patut dipertanyakan kepada Pemerintah Aceh, apakah kebijakan pemberian dana Hibah sudah tepat, sesuai dengan norma. tentunya menurut penulis kebijakan yang demikian tentu lahir dari bisikan-bisikan Wagub Ilegal tanpa memperhatikan asas manfaat.
Pembagian dana hibah Covid-19 dari Pemerintah Aceh kepada Lembaga/ Badan dan Organisasi Swasta terkesan bagi-bagi kue akhir tahun.
Gubernur Nova Iriansyah menjadi Gubernur Aceh secara legal karena faktor undang-undang, suka tidak suka, mampu atau tidak, sudah ketentuan undang-undang. Diberhentikannya Irwandi Yusuf dari Gubernur akibat tersangkut kasus hukum. Tetapi sayangnya Nova Iriansyah tidak memiliki legitimasi sosial yang memadai karena beberapa faktor.
Sebelum menjadi Wakil Gubernur yang mendampingi Irwandi bahkan hingga setelah menjadi Plt Gubernur, Nova Iriansyah masih belum dianggap tokoh terlalu penting di Aceh bahkan di tanah Gayo sendiri orang lebih menokohkan ketokohan Irwandi Yusuf.
Pemilukada 2006, 2012 dan 2017
Kemenangan Irwandi-Nova dalam Pilkada 2017 lalu adalah dominan faktor bawaan suara dari Irwandi Yusuf.
Dari sisi Nilai Investasi Logistik dan peran Nova Iriansyah selama Pilkada 2017 juga tidaklah besar, para Sponsor secara umum ikut mensuplai Logistik karena melihat potensi suara Irwandi dan ketokohannya.
Kemenangan Irwandi-Nova pada Pilkada 2017 sudah diduga banyak pihak dengan tidak majunya mantan Wakil Gubernur Muhammad Nazar pada Pilkada 2017, sehingga suara tidak terpecah. Dominan, tidak terulang peristiwa perpecahan suara pada Pilkada 2012.
Hal ini sudah menjadi rahasia umum juga diketahui oleh tokoh dan pemain politik di Aceh. Yang menjadi pendulang suara dengan basis hampir sama adalah Irwandi, Nazar dan Muzakkir Manaf.
Pada Pilkada 2017, Nazar juga ikut mendukung Irwandi-Nova. Bahkan basis suara historis timses Irwandi-Nazar dalam Pilkada 2006 dan bawaan suara Nazar-Nova pada Pilkada 2012 menjadi kekuatan yang amat sangat penting yang merobohkan Muzakkir Manaf-T. A Khalid apalagi Muzakkir Manaf dipandang salah merekrut wakil yang waktu itu tidak punya basis suara kuat.
Kemenangan Irwandi-Nova pada Pilkada 2017, persentase nominal suaranya terpaut lebih kurang 1% lebih rendah berbanding kemenangan Irwandi-Nazar pada Pilkada 2006. Pilkada langsung pertama di Aceh, dimana waktu itu mobilisasi suara terbanyak dipengaruhi oleh popularitas dan talenta Muhammad Nazar sebagai Aktifis yang hanya menjadi Cawagub karena berbagai alasan dan tidak memprioritaskan dirinya sebagai Cagub.
Wagub Siluman Riskan Bagi Nova dan Aceh
Nova Iriansyah menjadi Gubernur dinilai sebagai kecelakaan sejarah, dimana tidak, sebelum maju sebagai Wagub mendampingi Irwandi, Nova Iriansyah pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI, namun gagal karena kalah suara dari calon-calon yang lain. Nova Iriansyah menjadi Gubernur hanya faktor undang-undang dan nasib.
Secara demografis, Nova Iriansyah yang berasal dari etnik minoritas gayo juga tidak mungkin memaksakan dirinya menjadi Calon Gubernur dan itu disadari benar oleh Nova. Maka sewaktu maju dengan Muhammad Nazar pada Pilkada 2012, Nova juga memilih jadi Cawagub saja.
Faktor demografis kesukuan, agama dan ras tetap berlaku dalam pemilu, One man One vote, bahkan di negara maju sekalipun, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia. Sama seperti Capres Cawapres, Non Jawa masih harus puas sebagai Cawapres. Dalam kasus Nova sebagai Gubernur Aceh, kembali bahwa dirinya menjadi Gubernur adalah karena undang-undang tetapi sangat minim legitimasi.
Didorong oleh faktor minimnya legitimasi tersebut dan ditambah lagi dengan faktor politik praktis, sementara di DPRA yang didominasi oleh anggota DPR dari Kabupaten, maka beberapa langkah kilat tetap kurang dan nampak jelas yang sedang dilakukan Gubernur Nova untuk menutupi kekurangan legitimasi.
Termasuk di dalamnya kebijakan membagi bagikan uang kepada kelompok sipil yang selama ini cenderung kritis seperti OKP, Ormas dan lain-lain sebagai langkah menutupi Legitimasi. Juga memainkan beberapa orang di DPRA dengan tujuan memecah belah agar tidak ada intervensi.
Sayangnya, kebijakan itu seketika menjadi blunder ketika diumumkan ke publik. Tak terkecuali dalam hal gonta ganti eselon dua dan tiga, juga nampak untuk kepentingan jangka pendek. Bukan kepentingan jangka panjang apalagi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian langkah langkah itu tidak murni langkah pembangunan ideal sesuai visi misi semula sewaktu kampanye dan bukan pula untuk pembangunan Aceh secara layak mengejar ketertinggalan.
Dalam contoh dana hibah itu misalnya, jika ditelisik detail itu mirip dana operasional pembungkaman kekritisan elemen sipil dan menutupi kekurangan legitimasi sosial politik. Juga langkah pemecah belahan DPRA hingga mempermainkan partai-partai pengusung dalam topik pengisian Wagub yang sangat dibutuhkan oleh Aceh.
Gubernur Nova Iriansyah seperti tak ingin memiliki Wakil Gubernur, sehingga yang berperan adalah wagub-wagub siluman tidak resmi, tetapi lebih berperan bahkan terkadang melampaui dirinya sendiri sebagai seorang Gubernur.
Sejumlah kebijakan lain seperti bongkar pasang eselon dua dan tiga juga menjadi polemik khsusus yang misterius yang dilakukan Gubernur Nova. Sementara urusan-urusan yang dihadapi rakyat di lapangan semakin terabaikan karena Gubernur tak akan mungkin menjadi pawang tunggal dalam penanganan berbagai persoalan yang terjadi di dalam pembangunan dan rakyat.
Pada 11 Januari 2021 Sekda Aceh melantik tersangka korupsi sebagai pejabat administrator dalam lingkungan pemerintah Aceh. Ini merupakan bentuk dari kebijakan Gubernur Nova yang blunder dalam Reformasi Birokrasi dan tidak cermat dalam menunjukkan pejabat publik. Ini adalah prestasi buruk bagi pemerintahan Aceh di bawah Gubernur Nova Iriansyah.
Alhasil peran Wagub misterius atau Wagub siluman menjadi sangat kental tetapi tentu sangat beresiko bagi Aceh, juga bagi Gubernur Nova sendiri cepat atau lambat.
Dalam dunia politik, upaya menghindari atau meniadakan pengisian Wakil Gubernur ini tak mesti harus disampaikan secara terbuka oleh Gubernur Nova atau orang-orang terdekat yang digunakannya. Tetapi dari perilaku dan gelagat praktis yang ditunjukkan sudah cukup memberi kesimpulan.
Pada saat yang sama, pelemahan kekritisan sipil Aceh yang selama ini begitu kuat juga menjadi bahagian dari itu. Selain itu tentu saja ada tujuan-tujuan lain yang bersifat taktis seperti mengurangi kritik dalam urusan pembangunan yang dapat dikatakan tidak berjalan normal, urusan bagi-bagi proyek kepada orang-orang tertentu secara eklusif. Yang kesemuanya sudah pasti sangat merugikan Rakyat dan Aceh.
Hal ihwal sedemikian ditambah lemahnya kemampuan DPRA, partai-partai pengusung dan mudahnya menutup mulut berbagai pihak yang kritis, juga pengendalian kebijakan oleh beberapa pemegang modal yang hanya ingin untung telah melahirkan ketidaknormalan pembangunan di Aceh Pasca ditangkapnya dan ditahannya Irwandi Yusuf hingga diberhentikan dari Gubernur dan secara undang-undang wajib digantikan oleh Nova Iriansyah selaku Wagub dan Plt Gubernur saat itu.
Penulis : Zikrillah (Alumnus Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Jakarta & Pemerhati Sosial Politik dan Pembangunan Aceh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H