Mohon tunggu...
Zikrillah
Zikrillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku adalah aku dan akan tetap menjadi aku yang akan mengatakan tidak pada narkoba

Kerjakan Sesuatu Dengan Sungguh-Sungguh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menghindari Wagub Resmi Kebijakan Nova Banyak Blunder

19 Januari 2021   12:42 Diperbarui: 19 Januari 2021   13:10 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Pilkada 2017, Nazar juga ikut mendukung Irwandi-Nova. Bahkan basis suara historis timses Irwandi-Nazar dalam Pilkada 2006 dan bawaan suara Nazar-Nova pada Pilkada 2012 menjadi kekuatan yang amat sangat penting yang merobohkan Muzakkir Manaf-T. A Khalid apalagi Muzakkir Manaf dipandang salah merekrut wakil yang waktu itu tidak punya basis suara kuat.

Kemenangan Irwandi-Nova pada Pilkada 2017, persentase nominal suaranya terpaut lebih kurang 1% lebih rendah berbanding kemenangan Irwandi-Nazar pada Pilkada 2006. Pilkada langsung pertama di Aceh, dimana waktu itu mobilisasi suara terbanyak dipengaruhi oleh popularitas dan talenta Muhammad Nazar sebagai Aktifis yang hanya menjadi Cawagub karena berbagai alasan dan tidak memprioritaskan dirinya sebagai Cagub.

Wagub Siluman Riskan Bagi Nova dan Aceh

Nova Iriansyah menjadi Gubernur dinilai sebagai kecelakaan sejarah, dimana tidak, sebelum maju sebagai Wagub mendampingi Irwandi, Nova Iriansyah pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI, namun gagal karena kalah suara dari calon-calon yang lain. Nova Iriansyah menjadi Gubernur hanya faktor undang-undang dan nasib.

Secara demografis, Nova Iriansyah yang berasal dari etnik minoritas gayo juga tidak mungkin memaksakan dirinya menjadi Calon Gubernur dan itu disadari benar oleh Nova. Maka sewaktu maju dengan Muhammad Nazar pada Pilkada 2012, Nova juga memilih jadi Cawagub saja.

Faktor demografis kesukuan, agama dan ras tetap berlaku dalam pemilu, One man One vote, bahkan di negara maju sekalipun, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia. Sama seperti Capres Cawapres, Non Jawa masih harus puas sebagai Cawapres. Dalam kasus Nova sebagai Gubernur Aceh, kembali bahwa dirinya menjadi Gubernur adalah karena undang-undang tetapi sangat minim legitimasi.

Didorong oleh faktor minimnya legitimasi tersebut dan ditambah lagi dengan faktor politik praktis, sementara di DPRA yang didominasi oleh anggota DPR dari Kabupaten, maka beberapa langkah kilat tetap kurang dan nampak jelas yang sedang dilakukan Gubernur Nova untuk menutupi kekurangan legitimasi.

Termasuk di dalamnya kebijakan membagi bagikan uang kepada kelompok sipil yang selama ini cenderung kritis seperti OKP, Ormas dan lain-lain sebagai langkah menutupi Legitimasi. Juga memainkan beberapa orang di DPRA dengan tujuan memecah belah agar tidak ada intervensi.

Sayangnya, kebijakan itu seketika menjadi blunder ketika diumumkan ke publik. Tak terkecuali dalam hal gonta ganti eselon dua dan tiga, juga nampak untuk kepentingan jangka pendek. Bukan kepentingan jangka panjang apalagi kepentingan masyarakat.

Dengan demikian langkah langkah itu tidak murni langkah pembangunan ideal sesuai visi misi semula sewaktu kampanye dan bukan pula untuk pembangunan Aceh secara layak mengejar ketertinggalan.

Dalam contoh dana hibah itu misalnya, jika ditelisik detail itu mirip dana operasional pembungkaman kekritisan elemen sipil dan menutupi kekurangan legitimasi sosial politik. Juga langkah pemecah belahan DPRA hingga mempermainkan partai-partai pengusung dalam topik pengisian Wagub yang sangat dibutuhkan oleh Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun