Kualitas kesehatan yang sangat buruk di Batavia sejak zaman VOC hingga pemerintah Hindia Belanda yang diikuti dengan banyaknya wabah, memicu pembangunan pendidikan kesehatan di Batavia. Berbagai jenis penyakit yang terjadi di Batavia seperti wabah, malaria, kolera, hingga diare yang telah menelan banyak korban jiwa penduduk di Batavia. Pelayanan kesehatan di Batavia saat itu hanya bisa di nikmati berbagai kalangan seperti para militer, kaum borjouis, hingga para pegawai di pemerintahan sedangkan, masyarakat kecil menjadi korban.(*)
Berawal dari klinik pengobatan pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1946, merupakan cikal bakal berdirinya rumah sakit Putri Margriet di Jakarta (sebelum dikenal sebagai Batavia) yang mempunyai fungsi memberikan pengobatan kepada masyarakat Jakarta.
Menanggapi Permintaan yang diajukan Putri Juliana kepada Roode Kruis agar diizinkan untuk menamai rumah sakit yang akan di dirikan dengan nama rumah sakit Putri Margriet. Isi pesan telegram tersebut berisi tentang "Roode Kruis Batavia sangat menghargai niat yang mulia Putri Margriet dan dengan hormat memberikan izin untuk menamai rumah sakit tersebut dengan nama putri Margriet".(*)
Sejarah pelayanan bedah saraf di Indonesia pertama kali didirikan pada tahun 1946 di rumah sakit Putri Margriet di Jakarta oleh Rode Kruis Afdeling Indie(*) distrik Batavia yang kini menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusomo (RSCM Kintani) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu bedah saraf di Indonesia.
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit pertama di Indonesia yang dilengkapi dengan fasilitas diagnostik, perawatan, serta rehabilitasi khusus untuk kasus-kasus bedah saraf. Rencananya rumah sakit ini mempunyai 150 kapasitas tempat tidur untuk pasien yang berobat di rumah sakit Putri Margriet. (*)
Â
Pada awalnya, tujuan dibangunnya rumah sakit ini adalah untuk merawat tantara Belanda yang mengalami cedera pada sistem saraf. Untuk memenuhi kebutuhan dokter saraf, Palang Merah Batavia menunjuk para spesialis bedah saraf dari perkumpulan bedah saraf Belanda seperti, dari Rotterdam yaitu dr. Dr. P.R.M.J Hanraets yang sekaligus menjadi kepala Departemen bedah saraf di rumah sakit Putri Margriet.Â
Dalam prakteknya dr Hanraets tidak sendiri, ia ditemani oleh beberapa dokter ahli di bidang saraf seperti Dr. C.H. Lensoek dari Amsterdam yang kemudian menjadi ahli bedah saraf di Groningen, Dr. P. Albert, ahli bedah saraf dari Spanyol, yang memperpanjang kontraknya dengan pemerintah Indonesia hingga akhir tahun 1952 dan terakhir dr. DR. M.P.A.M. de Grood dari Tilburg.(*) dr. de Grood sebelumnya menjadi ahli bedah saraf di rumah sakit Wilhemina Gasthuis di Amsterdam.Â
Atas permintaan dan saran dari Pemerintah Belanda, dr De Grood menghabiskan waktu enam bulan untuk mengajar bedah saraf di beberapa Fakultas Kedokteran di Jakarta dan menjadi kepala rumah sakit Putri Margriet. Pada bulan April tahun 1951 dr. de Grood pergi meninggalkan Jakarta dan akan melakukan kunjungan ke Australia.(*)
Pada bulan April tahun 1946, rumah sakit Putri Margriet di Batavia diresmikan sebagai rumah sakit resmi, dengan status sebagai rumah sakit pemerintah. Rumah sakit Putri Margriet diresmikan pada hari sabtu pagi yang dihadiri dari berbagai kalangan tamu penting, seperti Nyonya Van Mook, Tuan Blom, Jendral Mansergh, Tuan Zimmerman, dan beberapa tamu lainnya.(*)Â
Dalam pidato pembukaannya Zimmerman menekankan banyaknya tantangan yang perlu diatasi untuk mendirikan rumah sakit Putri Margriet. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berupaya semaksimal mungkin dalam pembangunan rumah sakit Putri Margriet. Zimmerman menjelaskan pertumbuhan fasiltas rumah sakit Putri Margriet sangat meningkat.Â
Dua bulan sejak diresmikannya rumah sakit Putri Margriet, mampu meningkatkan kapasitas tempat tidur yang semula hanya 28 tempat tidur kini menjadi 203 tempat tidur. (*)
Â
Pasca diresimakannya rumah sakit Putri Margriet, tepatnya 4 bulan pertama sejak didirikannya rumah sakit Putri Margriet, sudah 100 pasien pasien menjalani operasi besar dan operasi kecil di rumah sakit Putri Margriet.Â
Sepertiga dari pasien yang dirawat dirumah sakit ini kebanyakan pasien kecelakaan lalu lintas.(*) Pada tahun 1948, jumlah pasien yang dirawat dirumah sakit Putri Margriet mengalami pengingkatan.Â
Pada tahun pertama sejak diresmikannya rumah sakit jumlah pasien rumah sakit Putri Margriet berjumlah 100 pasien dan pada tahun 1948 mengalami peningkatan sebesar 1.230 pasien yang di rawat di rumah sakit ini.Â
Jumlah pasien yang dirawat dirumah sakit Putri Margriet rata-rata pasien poliknik bedah.(*) Tercatat bahwa rumah sakit ini sudah menyembuhkan 2.300 orang Eropa, 1.500 orang Tionghoa, serta 1.100 masyarakat Indonesia sembuh setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama 23 hari.Â
Tidak hanya itu sebagai bentuk pelayanan publik dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat, rumah sakit Putri Margriet memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat sebanyak 1.700 pasien.(*)
Sejak dibukannya rumah sakit Putri Margriet, banyak permasalahan yang timbul di rumah sakit ini. Terbatasnya sumber daya manusia, menjadi penyebab permasalahan yang timbul di rumah sakit ini seperti kurangnya staff hingga perawat di rumah sakit Putri Margriet.Â
Berkat kerjasama yang baik antara rumah sakit Putri Margriet dan Palang Merah Belanda, secara resmi membuka kesempatan pelatihan khusus untuk staff dan perawat rumah sakit Putri Margriet.Â
Pelatihan khusus staff dan perawat ini juga mendapat gelar keperawatan A-I dan melanjutkan ke jenjang gelar berikutnya yaitu A-II. Tujuan dari kursus ini adalah memberikan kesempatan kepada generasi muda dari berbagai daerah yang ingin menyelesaikan pendidikannya di bidang keperawatan.(*) Pelatihan untuk gelar A-I berlangsung selama empat tahun, selama waktu tersebut calon perawat menjalankan fungsi rumah sakit.
Pelatihan akan berlangsung sesuai jadwal. Pada masa uji coba, calon perawat akan di instruksikan terlebih dahulu sebelum melakukan praktik di ruang pelatihan.Â
Mereka dilatih seperti memandikan pasien ketika pasien rawat inap, mencatat suhu tubuh pasien, mengukur denyut nadi pasien dan lainnya. Pelatihan berlangsung setiap hari dari pagi hingga sore, setiap pelatihan dibekali pembelajaran teori.Â
Jadwal pelatihan calon perawat dirancang sedemikian rupa agar tidak mengganggu pelayanan rumah sakit Putri Margriet. Sejak dibukanya pelatihan khusus perawat, rumah sakit Putri Margriet kini memliki calon perawat berjumlah 243 siswa yang siap menjadi perawat dan staff di rumah Sakit Putri Margriet.(*)
Pada akhir tahun 1950-an, kemerosotan kondisi ekonomi berdampak buruk pada perkembangan bedah saraf. Kurangnya peralatan modern membatasi jangkauan layanan pada pelayanan yang tersedia.Â
Pada awal tahun 1953, Dr. dr. SK Handoyo berhasil menyelesaikan pendidikanya pada bidang bedah saraf di Belanda dan menjadi ahli bedah saraf pertama di Indonesia. Setibanya di tanah air dr. handoyo mulai menjalankan profesinya di rumah sakit Putri Margriet.(*)Â
Lima tahun kemudian, dua dokter Indonesia dr. Soewadji Prawirohardjo dan dr. Basoeki menyelesaikan pelatihan bedah saraf di luar negeri dan bergabung dengan dr. SK Handoyo di rumah sakit Putri Margriet.Â
Pelayanan bedah saraf di rumah sakit Putri Margriet terus berkembang tanpa adanya perubahan pelayanan, fasilitas serta jumlah dokter bedah saraf. Dr. SK Handoyo dan dan dr. Soewadji Prawirohardjo bertanggung jawab atas pelayanan bedah saraf di Jakarta sedangkan, dr. Basoeki dipindahkan ke Surabaya Universitas Airlangga, untuk mengembangkan layanan bedah saraf di bagian timur Indonesia.(*)
DAFTAR PUSTAKA
Eka Julianta, Neurosurgery in Indonesia, (Jurnal International Neurosurgery in Indonesia, Vol 1, 6, 2015, hlm. 2. https://sciendo.com/abstract/journals/inj/1/1/article-p77.xml.
Mumuh Muhsin Z, Bibliografi Sejarah Kesehatan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, (Jurnal Paramita Vol. 22 2, 2012).
De Locomotief, Prinses Margriet Hospitaal, 27 Juli 1948.
Het Dagblad, Chirurgische kliniek van het Prinses Margriet-hospitaal, 19 Februari 1949.
Het Dagblad, Margriet Hospitaal, 21 Januari 1946.
Het Dagblad, Neuro-Chirurgische kliniek. 19 Februari 1949.
Het Dagblad, Prinses Margriet Hospitaal, 8 Maret 1946.
Het Dagblad, Prinses Margriet Hospitaal, 3 April 1946.
Het Dagblad, Reeds 4500 kleine Batavianen zagen het levenslicht in onze drie Kraamklinieken. 19 Februari 1949.
Het Dagblad, Prinses Margriet Hospitaal, 14 Januari 1948.
Het Dagblad, Verplegend personeel in opleiding, 19 Februari 1949.
Het Nieuwsblad van het zuiden, Dr. De Grood tijdelijk naar Indonesi, 25 Juli, 1950.
Java Bode, Prinses Margriet Hospitaal, hlm. 5.
Palang Merah Indonesia, Sejarah Palang Merah Indonesia, https://pmikotasemarang.or.id/sejarah-lengkap/ (di kunjungi 12 November 2023).
PERSPEBSI, History of Indonesia Society of Neorosurgery, http://www.ins.or.id/ (di Kunjungi 12 November 2023).
***
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H