Masih hangat di benak kita tentang kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak yang cukup menyita perhatian khalayak. Kasus seperti ini hampir tiap tahun berulang dengan berbagai motif dan modusnya. Kasus yang tergolong besar seperti yang terjadi di JIS (Jakarta Interntional School) telah membuka mata masyarakat kita, bahwa kejahatan seksual pada anak justru terjadi di lingkungan yang terhitung ‘dekat’ dengan kehidupan anak-anak. Ya, sekolah. Kasus pelecehan justru terjadi di sekolah, tempat di mana anak-anak harusnya mendapat didikan moral yang baik. Tidak hanya di sekolah, kejahatan seksual pada anak juga banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, guru ngaji, kakak tingkat, tetangga, bahkan saudara dekat.
Republika (9/10) menyebutkan, berdasarkan data lembaga perlindungan anak di 179 kota/kabupaten dan 34 provinsi di Indonesia pada kurun 2010-2014, tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah itu, 58% dikategorikan sebagai kejahatan seksual. Sisanya berupa kekerasan fisik, penelantaran, dan lainnya. Data Polri pada tahun 2014 mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di separuh tahun 2014. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang.
"Kalau dari data tahun 2014 ada 40 kasus, tahun 2015 belum habis per September sudah 41 kasus, berarti ada peningkatan," ujar Kepala Subdit Renakta (Remaja Anak dan Wanita) Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Suparmo, dalam keterangannya seperti dikutip oleh viva.co.id.
Karenanya, sangat wajar jika Indonesia ditetapkan sebagai negara dengan extraordinary crime atau kejadian luar biasa pada kasus ini.
Faktor Penyebab
Dr. Asrorun Niam Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak. Pertama, faktor moralitas dan rendahnya internalisasi ajaran agama serta longgarnya pengawasan di level keluarga dan masyarakat. Kedua, faktor permisifitas dan abainya masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual. Ketiga, faktor kegagapan budaya dimana tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan destruktif lainnya ditonton, namun minim proses penyaringan pemahaman. Keempat, faktor perhatian orang tua dan keluarga yang relatif longgar terhadap anaknya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang bersifat mencegah kejahatan pelecehan seksual. (arrahmah.com, 26/2/2013).
Menurut Devi Rahmawati, Sosiolog Univeristas Indonesia (UI), munculnya tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur banyak dipengaruhi oleh budaya asing yang masuk ke tanah air. Sementara itu, Pangamat Psikologi Universitas Indonesia (UI), Fitriani F. Syahrul menegaskan penyimpangan sosial yang bisa jadi disebabkan oleh depresi yang kemudian menyebabkan rusaknya pola pikir para pelaku pelecehan terhadap anak-anak. Sedangkan kasus perceraian juga menjadi faktor lain penyebab perkosaan di dalam keluarga (jpnn.com, 17/4/2014).
Adapun Prof. Bambang Widodo Umar, kriminolog dari UI, faktor utama pelecehan seksual terhadap bocah karena adanya pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat. Menurutnya, nilai-nilai etika, moral yang sebelumnya dipegang masyarakat sudah tidak lagi dianggap. Yaitu terjadi dekadensi moral. Selain itu, pemukiman padat penduduk kalangan menengah ke bawah juga menjadi salah satu faktor penyebab. Menurutnya, “Kita tidak bisa pisahkan tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan dengan gejala psikologis seseorang. Ini saling mempengaruhi” (beritasatu.com, 14/10/2013).
Melihat pendapat dari para pakar, ternyata kasus keerasan seksual terhadap anak dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, bukan hanya faktor tunggal saja. Bisa dikatakan juga bahwa faktor dominan dari semua itu adalah buah dari penerapan ideologi liberal sekuler di negeri ini.
Long Term Effect
Tidak ada satupun aktivitas di dunia ini yang tidak mempunyai pengaruh, sekecil apapun aktivitas tersebut. Baik aktivitas taat maupun maksiat. Demikian juga tindak kriminal kekerasan dan pelecehan seksual pada anak. Tidak hanya efek fisik yang diderita si kecil, namun juga efek psikis jangka panjang (long term effect).
Dikatakan demikian bukanlah tanpa dasar, namun justru berdasarkan kajian terhadap fakta ilmiah yang dilakukan oleh banyak psikolog. Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dapat menyebabkan depresi berat, kegelisahan yang berlebihan, paranoid terhadap situasi tertentu, stres pasca trauma, gangguan makan (hilangnya nafsu makan), merasa rendah diri, susah tidur, penyimpangan perilaku seksualnya, hingga keinginan bunuh diri. Hal-hal tersebut dipastikan hampir semuanya terjadi pada anak korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Betapa miris kita melihat dampak kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak. Jika tidak ditangani secara intensif, anak-anak yang menjadi korban ketika mereka beranjak dewasa, bukan tidak mungkin jika mereka menjadi pelaku kejahatan seksual. Bahkan survei memebuktikan para pelaku kejahatan seksual, adalah mereka yang dulu ketika kecil merupakan korban kejahatan seksual juga. Sangat memprihatinkan.
Mau dibawa ke mana negeri ini jika anak-anaknya mempunyai masa depan yang suram, jauh dari kemajuan. Bukankah anak-anak adalah aset sebuah negara?
Hukum yang Tidak Adil
Indonesia negeri hukum, yang hukum disini sangat dijunjung tinggi. Namun faktanya hukum dan keadilan itu bisa dibeli dengan uang. Hukum apapun itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negeri seperti pisau bermata dua. Jika ke atas ia tumpul, jika ke bawah ia tajam. Ya inilah hukum di negeri ini. Tak terkecuali dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak.
Vonis 10 tahun penjara bagi pelaku kejahatan seksual di JIS dianggap sebagai terobosan baru di bidang hukum, sekalipun vonis tersebut lebih ringan 2 tahun dari tuntutan jaksa. Jika kita amati, hukuman ini dirasa sangat tidak adil. Bayangkan saja, vonis 10 tahun penjara dan denda yang akan didapatkan pelaku, tidak sebanding dengan perbuatan mereka dalam merusak masa depan anak-anak. 10 tahun penjara tidak akan memberi efek jera bagi pelaku. Malah tak jarang dri mereka yang ketika keluar dari jeruji besi, kembali berulah dan memakan korban.
Mereka merusak generasi muda bangsa ini dengan kebejatan moral. Masa depan anak-anak yang harusnya dibangun sejak mereka masih kecil, harus hancur lantaran mereka depresi, minder, stres, paranoid, selalu ingin bunuh diri dan sebagainya. Anak-anak akhirnya tumbuh menjadi generasi yang pasrah pada keadaan, generasi pembebek, generasi malas, generasi berotak porno, generasi bermental lemah. Sungguh sangat menyesakkan dada.
Solusi Sitemik
Sebagai seorang muslim, sudah sangat wajar apabila kita mengambil solusi dari Islam. Bukan semata-mata karena Islam agama keTuhanan. Namun lebih dari itu. Islam mempunyai sistem aturan hidup yang sempurna dan paripurna. Islam tidak hanya mengajarkan cara sholat, cara berdo’a, cara ibadah lainnya. Tapi Islam juga mengajarkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan dan sebagainya. bukankah Allah telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhoi Islam itu sebagai agamamu.” (QS. Al Maidah 3).
Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari berbagai nikmat yang Allah berikan kepada umat ini. Yaitu Allah telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama yang lain dan juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka, Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan menjadikannya pula sebagai nabi yang diutus kepada seluruh manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal melainkan apa yang dihalalkannya dan tidak ada yang haram selain apa yang diharamkannya serta tidak ada agama yang benar kecuali agama yang disyari’atkannya.”
Penanganan kasus kejahatan seksual membutuhkan solusi yang sitemik, menyeluruh bukan parsial seperti yang selama ini dilakukan pemerintah. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketaqwaan individu pada masyarakat. Ketaqwaan individu yang didukung oleh kontrol sosial masyarakat akan jauh lebih baik dibandingkan jika dimiliki oleh individu-individu saja. Negara sebagai penjaga akidah ummat, wajib membentengi dan melindungi masyarakat dari budaya hidup yang tidak Islami, misalnya pornografi, penyimpangan seksual, hedonisme, liberalisme, dan lain-lain. Negara wajib menjatuhkan sanksi tegas kepada pelaku tindak kriminal. Agar masyarakat tidak rusak oleh perilaku mereka.
Sistem Islam yang diterapkan akan meminimalkan seminimal mungkin faktor-faktor yang dapat memicu tidak kejahatan seksual pada anak maupun perilaku menyimpang lainnya. Namun jika masih ada yang melakukannya, maka sistem sanksi (‘uqubat) akan menjadi perisai yang akan melindungi masyarakat. Pelaku akan dijatuhi sanksi hukum yang tegas dan berat agar memberi efek jera bagi pelaku dan sebagai tindakan preventif untuk mencegah ‘penularan’ penyakit ini di masyarakat. Pedofilia akan dijatuhi hukuman mati, pun juga pelaku homoseksual. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
« مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »
“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).
Ijmak sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meskipun di antara mereka berbeda pendapat tentang cara eksekusi hukuman mati. Hal tersebut tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshon) ataupun belum pernah menikah (ghayru muhshon). Apabila kejahatan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi tetapi dalam bentuk pemerkosaan, maka harus dilihat: 1. Jika pelaku sudah menikah (muhshon) maka akan dirajam sampai meninggal. 2. Jika pelaku belum menikah (ghoiru muhshon) maka akan dijilid seratus kali. Jika kejahatan seksual tidak sampai kondisi sodomi atau pemerkosaan, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir yang bentuk dan kadar sansinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah dan qadli.
Faktor ekonomi yang sering terkait dalam kasus ini juga akan diperhatikan oleh negara. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok akan diberikan oleh negara melalui mekanisme yang sesuai syari’at. Setiap orang yang hidup dalam Daulah Islam berhak mendapatkan peluang yang sama untuk mengakses berbagai pelayanan publik dan sumber daya ekonomi. Dalam sistem ekonomi Islam, harta akan berputar merata ke seluruh kalangan masyarakat, jadi tidak berputar di satu tempat saja. Sistem ekonominya bersifat real bukan non real seperti saham, obligasi, dan sebagainya. sistem ekonomi Islam mengharamkan riba. Dengan begitu faktor himpitan dan tekanan ekonomi menjadi minimal.
Dalam bidang pendidikan, Daulah akan menjadikan akidah Islam sebagai asas pendidikannya. Pemikiran-pemikiran asing akan dengan disaring oleh negara. Sehingga kesholihan individu dan masyarakat benar-benar terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Masalah i’jtimai atau sistem sosial (pergaulan), Islam sangat memperhatikan. Laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan tanpa udzur yang syar’i dilarang berduaan (khalwat) maupun campur baur (ikhtilath), agar tidak terjerumus dalam perzinahan yang diharamkan oleh Allah Swt. Tidak hanya itu, wanita muslimah diwajibkan menutup aurat ketika berada di kehidupan umum (luar rumah), laki-laki pun diharuskan menahan pandangannya (ghadlul bashar) dari pandangan yang bukan haknya. Sehingga masyarakat akan terhindar dari hal-hal berbau seksual yang tidak pada tempatnya.
Demikian solusi sistemik dalam memberantas kejahatan seksual yang menimpa anak-anak. Sistem rusak ini harus segera dicampakkan dan diganti dengan sistem yang lahir dari Dzat Yang Maha Benar, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Wallahu’alam bish showab.
Oleh: Zidna F. Adh.
(Pengajar, Remote Sensing Analist, Pecinta Astronomi, tinggal di Malang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H