Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Overthinking Menilai Permendikbudrisetdikti Nomor 30 Tahun 2021, Kutuk Keras Predator Seks di Lingkungan Kampus

23 November 2021   18:43 Diperbarui: 23 November 2021   18:56 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aturan ini menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual di kampus yang selama ini
tidak bisa berpegangan pada hukum lainnya, jelas Nadiem. Selain itu Nadiem juga berpandangan
jika ada sejumlah keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual apabila menggunakan KUHP, padahal banyak juga kasus kekerasan berbasis online yang tidak diatur di KUHP. Nadiem juga menjelaskan jika dampak psikologis yang dialami korban kekerasan seksual secara digital juga sama dengan korban kekerasan seksual secara langsung.

Data KRPA (Koalisi Ruang Publik Aman) tingkat terjadi kekerasan seksual: 1. Jalanan
Umum, 2. Transportasi Umum 3. Perguruan Tinggi (Lingkungan Kampus) Beleid yang
dikeluarkan oleh Menteri Nadiem ini punya dua tujuan utama yaitu sebagai pedoman bagi
Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga
Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.


Beleid yang dikeluarkan oleh Menteri Nadiem ini menuai dukungan dan juga penolakan.
Motor penolak beleid ini, misalnya adalah PKS. Partai ini, melalui legislatornya Sakinah Aljufri,
anggota Komisi X DPR RI menjelaskan jika Permendikbudristek ini tidak mengatur perbuatan zina dan perilaku menyimpang LGBT yang dilarang oleh agama sebagai satu bentuk kejahatan seksual. Selain itu Permendikbud ini memuat frasa tanpa persetujuan Korban. Ini artinya Mendikbudristek sama saja melegalkan secara diam-diam seks bebas dan perbuatan menyimpang LGBT di kampus asal dilakukan dengan persetujuan pelakunya, ini merusak generasi bangsa.

Ia juga mencontohnya tentang pelaku yang membuka pakaian Korban tanpa persetujuan
Korban termasuk Kekerasan Seksual. Artinya, menurut Sakinah, jika dilakukan dengan
persetujuan Korban, dilakukan dengan dalih suka sama suka berarti tidak merupakan Kekerasan
Seksual. Perbuatan ini dengan atau tanpa persetujuan korban tetap salah dan tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang luhur serta budaya luhur bangsa kita.

Di sisi lain, para pendukung Permendikbud-Rister, misalnya Alissa Wahid, menjelaskan
peraturan itu adalah bentuk komitmen Mendikbudristek, Nadiem Makarim untuk memberantas salah satu dosa besar di dunia pendidikan Indonesia, yaitu pelecehan seksual. Alissa juga berpendapat, jika korban kekerasan seksual di kampus sulit untuk memproses kasusnya dan bahkan malah kerap mendapat tekanan dari kampus dan kehidupan sosial. Berdasarkan data (Internasional NGO Forum on Indonesionan Development) INFID tahun 2020 57% korban mengaku tidak ada penyelesaian, 39,9% menyelesaikan kasus tersebut dengan membayar uang, 26,2% menikah dengan pelaku, 23,8% berdamai dengan keluarga Menilik pandangan yang diberikan dari kedua persepsi yang mendukung atau menolak di atas, penulis memandang ketika kita berbicara dalam menafsirkan sebuah pasal yang menjadi

polemic yakni tertuang dalam Pasal 5 adanya frasa "Tanpa Persetujuan Korban", dalam
menafsirkan sebuah produk hukum kita kenal dengan penafsiran ekstensif ialah bagaimana kita
menafsirkan secara mendalam daripada hanya sebatas penafsiran gramatikal (bahasa), Hal
tersebut pula memberikan ruang antara pemikiran yang humanis melawan pemikiran teologis, 

Sejatinya janganlah kita menafsirkan hanya dalam perspektif yang pendek saja, karena sampai sekarang dasar hukum untuk melakukan tindakan represif ketika terjadi kekerasan dan pelecehan seksual di kampus sangat sulit dengan factor penyebab paling besar adanya "relasi kuasa" maka sepatutnya perdebatan antara humanis dan teologis sudah selesai dan kita pula bersepakat bahwa tidak ada agama yang di akui Indonesia melegalkan yang namanya "perzinahan" dan biarkan
agama itu menjadi kewajiban individu dalam hal untuk berpedoman dalam hidup.

Coba kita bayangkan sampai kapan kekerasan dan pelecehan seksual terjadi dan tidak
ada penyelesaian untuk setiap kasus yang ada, bahkan hal tersebut pun sesuai data yang
dituangkan oleh penulis banyak sekali kasus dengan tidak ada penyelesaiannya, apalagi dalam
permendikbud nomor 30 tahun 2021 memberikan sebuah mekanisme yang secara komprehensif
dari pencegahan, penanggulangan serta membuat satuan tugas di lingkungan kampus bahkan
sampai pada sanksi admnisitratif secara ringan, sedang dan berat untuk diberikan kepada
predator seks di kampus, maka daripada itu penulis sangat prihatin ketika permendikbud hadir
ditafsirkan secara overthinking (berlebihan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun