Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Overthinking Menilai Permendikbudrisetdikti Nomor 30 Tahun 2021, Kutuk Keras Predator Seks di Lingkungan Kampus

23 November 2021   18:43 Diperbarui: 23 November 2021   18:56 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Pendahuluan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini membuktikan bahwa proses bernegara di Indonesia harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dengan kata lain Indonesia menjunjung tinggi supremasi hukum. Pasal ini dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi rechtstaat dan rule of law.

Dalam pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum perumusan sila-sila pancasila yang
dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, karena pancasila
merupakan sumber hukum dalam arti materil yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus
dilaksanakan dan tercemin oleh dan dalam peraturan hukum Indonesia yang harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa, bersifat kerakyatan dan menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berbicara mengenai peraturan yang hadir dalam sebuah Negara, terlebih di Negara
demokrasi merupakan suatu konsekuensi logis ketika terjadi Pro-Kontra dalam memandang
sebuah legal policy. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi,
meneken Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual pada 31 Agustus 2021. 

Peraturan ini, menurut Nadiem, adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai terutama mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia atas tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Aturan ini menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual di kampus yang selama ini
tidak bisa berpegangan pada hukum lainnya, jelas Nadiem. Selain itu Nadiem juga berpandangan
jika ada sejumlah keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual apabila menggunakan KUHP, padahal banyak juga kasus kekerasan berbasis online yang tidak diatur di KUHP, Nadiem juga menjelaskan jika dampak psikologis yang dialami korban kekerasan seksual secara
digital juga sama dengan korban kekerasan seksual secara langsung.

B. Kedudukan Peraturan Menteri Dalam Ketatanegaraan Indonesia
Pasal 4 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Menteri-menteri negara tersebut merupakan pembantu presiden dan membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan.

Ketentuan mengenai kementerian negara ditempatkan tersendiri dalam Bab V UUD 1945 perubahan. Menurut Jimly Asshiddiqie alasan mengenai disusunnya ketentuan tentang Kementerian Negara dalam Bab V yang terpisah dari Bab II tentang kekuasaan pemerintahan negara, pada pokoknya disebabkan oleh karena kedudukan menteri-menteri negara itu dianggap sangat penting dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 perubahan.

Semenjak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah tercatat sebanyak 4 (empat) kali
terjadi perubahan terhadap hirarkhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertama; diaturdengan TAP MPRS XX/MPRS/1966. Kedua; diatur dengan TAP MPR Nomor III/ MPR/2000.
Ketiga; diatur dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Keempat. diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sekarang berlaku, susunan hirarkhi
peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. UUD 2. TAP MPR 3. UU/PERPU 4.
Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Melihat hirarkhi peraturan perundag-undangan diatas, jelas terlihat adanya
kegamangan dan inskonsistensi baik di lembaga MPR maupun DPR serta Pemerintah dalam
menempatkan suatu bentuk dan jenis peraturan dengan peraturan lainnya.

Meskipun di dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan hanya mencantumkan 7 bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan,akan tetapi masih banyak produk hukum (dilihat dari bentuk dan jenisnya) yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Hal ini diatur dalam pasal 8 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 "(1) Jenis peraturan
perundangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undangundang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala desa atau setingkat. (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun