Mohon tunggu...
Ziaw Noha
Ziaw Noha Mohon Tunggu... Akuntan - Menulis adalah nafasku

Aku menulis karena aku mencintainya. Di setiap ide-ide yang terlintas dalam benakku, di setiap aksara yang tergores dari penaku dan di setiap kebenaran yang terpancar untuk masyarakatku. Sungguh, aku mencintainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Bulan Proklamasi

16 Agustus 2023   06:30 Diperbarui: 16 Agustus 2023   09:19 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit retak. Petir menggelegar tepat di atas kepala Agus. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Seakan ada gelombang air bah yang menghantam hatinya. Rasanya begitu menyakitkan sekali.

"Kupikir aku mencintainya. Ternyata aku salah. Aku menyukainya karena wajahnya mengingatkanku padamu. Entah kenapa aku begitu mencintaimu hingga logikaku musnah. Dia yang kuanggap dirimu, sudah beristri, tapi aku tak rela meninggalkannya. Hingga kau hadir kembali dalam kehidupanku. Saat itulah hatiku menyadarinya, bahwa yang kucintai adalah dirimu, bukan dirinya." Maria kembali menumpahkan air mata.

Agus kembali tak bisa berkata-kata. Berita ini di luar ekspektasinya. Skenario yang telah lama disusun menjadi berantakan semua. Agus hanya bisa menatap Maria dengan mata menggenang. Sekali lagi, nilai-nilai bawah sadar Agus berteriak bahwa dirinya adalah laki-laki. Pantang baginya untuk menangis. Tapi apa mau dikata, pertahanan Agus kembali runtuh. Pipinya telah basah.

Maria beranjak dari tempat duduknya. Menatap Agus dengan senyum paling tulus. "Selamat tinggal, Kak. Setelah ini, kau tidak perlu menghubungiku lagi. Karena aku sudah menjadi milik orang lain. Jika ada kehidupan setelah kematian, kuharap aku bisa mengungkapkan rasa cintaku lebih awal. Kau tahu, aku benci menjadi wanita yang selalu hanya bisa menunggu."

Maria pergi meninggalkan Agus sendirian di meja kafe. Ada penyesalan mendalam dalam dirinya yang begitu pengecut untuk menyatakan cinta. Ternyata cintanya bagai gayung bersambut. Andai saat MOS dulu Agus menyatakan cinta lebih awal, andai saja ketika menerima payung pemberiannya dia menyatakan rasa di hatinya, andai saja... Ah, Agus merasa dirinya adalah laki-laki paling bodoh di dunia.

"Maafkan aku, Maria." sesal Agus di antara isaknya.

Buru-buru Agus membayar pesanan minuman di meja. Lalu beranjak mengejar Maria yang telah menerobos hujan. Agus berteriak memanggilnya dari teras kafe.

"Kau tahu, aku selalu menyukai hujan. Hujan menumpahkan segala rasa dan kenangan. Tak pernah pilih kasih. Hujan menyamarkan air mata, juga mampu melukiskan bahagia saat kau melompat bersamanya."

Agus menatap Maria dengan hati nelangsa. "Lalu bagaimana jika sebuah perpisahan terjadi ketika hujan? Apakah aku harus menanggung kepedihan di setiap kehadirannya?"

Maria tidak menjawab. Ia berjalan menuju sebuah mobil hitam yang sedari tadi telah menunggunya. Sebelum pergi, Maria berbalik menatap Agus. Matanya seakan mengucapkan, 'Selamat tinggal,' dengan senyum merekah bersama kepedihan hatinya. Sejurus kemudian mobil itu berlalu pergi.

Samar-samar denting accoustic lagu 'Hari Merdeka 17 Agustus 1945' terdengar memenuhi ruangan kafe. Agus menatap ekor mobil yang ditumpangi Maria berlalu menembus hujan. Sepotong hati Agus tertinggal bersama kepergiannya saat hujan di bulan Proklamasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun