Maria menganguk. Kini giliran wajahnya yang berubah seperti tomat.
"Sejak kamu membantuku dari bully-an kakak-kakak senior waktu masa orientasi siswa, aku selalu bahagia melihatmu. Setiap kali kamu menjadi pemimpin upacara, aku selalu senang. Saat itu, aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Sampai ketika kamu menerima payung pemberianku sore itu. Aku yakin bahwa aku mencintaimu."
Agus hampir saja tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ada perasaan hangat menjalar di tubuhnya. Kali ini Agus berhasil mengendalikan dirinya.
"Aku juga." Agus merasa ini waktu yang tepat. "Sejak melihatmu pertama kali dengan kuncir lucu saat masa orientasi siswa, aku selalu bahagia. Setiap hari aku selalu mencarimu hanya untuk dapat melihatmu dari jauh. Di kelas, di perpustakaan, di kantin, entah di manapun, aku tak bisa jika sehari saja tanpa melihatmu sama sekali. Aku sudah mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Tapi bodohnya aku yang tak punya keberanian untuk mengatakannya padamu."
Maria tersenyum. Senyuman yang sama dengan yang Agus lihat setiap kali hujan turun.
"Apakah aku masih punya kesempatan untuk mencintaimu?" Agus bertanya dengan hati-hati. "Apakah hatimu sudah ada yang memiliki?"
Maria menggeleng. Senyumnya seketika berubah menjadi kesedihan. "Kamu terlambat."
Kepalanya menunduk, sejurus kemudian Maria menangis. Agus tak mengerti. Apa salahnya? Kenapa Maria tiba-tiba menangis? Apakah ada kata-katanya yang menyinggung hati? Agus menyalahkan dirinya karena menanyakan hal se-sensitif itu.
"Ma... Maafkan aku jika pertanyaanku membuatmu sedih."
Maria sekali lagi menggeleng. Dia berusaha menguasai keadaan. Setelah mengusap air matanya dengan tisu dan meminum seteguk air, Maria menceritakan semuanya.
"Aku akan menikah dengan suami orang. Aku tahu ini salah. Tapi sudah terlambat. Aku mengandung bayinya."