Oleh: Ziaw Noha
Awan hitam menggelayut di langit metropolitan. Menghapus keindahan seluet senja sore ini. Jarum-jarum bening perlahan menghujam jalanan kota, menandai tiap atap warung-warung yang berdiri liar di sepanjang trotoar, juga motor-motor yang terparkir di sekitarnya. Jalan-jalan aspal yang berdebu sudah beradu menyerap basah, menguarkan aroma khas yang disukai oleh Agus. Pemuda tampan itu bergegas menghindar. Tas hitam di tangan kirinya berusaha melindungi kepala dari runtuhan lembut gerimis. Sejurus kemudian dia berhasil naik di pelataran stasiun--tepat ketika langit dengan buas menumpahkan segala beban yang dikandung oleh awan hitam.
Sejenak Agus memandangi kegaduhan para pedagang yang semburat melindungi barang-barangnya. Di seberang jalan, bendera merah-putih tampak berkibar gagah tertiup angin beku. Seketika kenangan 'itu' menyeruak begitu saja. Di antara luasnya kenangan masa lalu yang serupa gunung es tenggelam dalam ingatannya, kenangan yang satu ini seakan tak pernah benar-benar masuk dalam garis batas kesadarannya. Setiap kali Agus melihat hujan, 'wajahnya' senantiasa terlukis jelas di antara butiran air langit yang tumpah, bak pelukis termasyur yang mencipta goresan dengan tinta hujan, titik-titik air itu menjelma seraut wajah yang tersenyum kepadanya. Hingga tanpa sadar, Agus pun membalas senyumnya.
Tapi kali ini berbeda. Hujan di bulan proklamasi selalu memiliki tempat tersendiri. Bersama kibaran merah-putih yang didekap oleh selimut kabut riuhnya air hujan, Agus terseret dalam dimensi waktu. Partikel-partikel ingatannya kembali pada kenangan indah 7 tahun yang lalu. Kenangan yang tidak pernah bisa dilupakannya sampai detik ini.
16 Agustus 2016
Selasa, pukul 16:00 WIB
Sore itu angin bertiup kencang, menerbangkan daun-daun kering di lapangan sekolah. Langit bermuram durja. Agus bergegas mengemasi barangnya ke dalam tas. Latihan upacara bendera menyambut hari proklamasi kemerdekaan Indonesia sebenarnya telah usai sejam yang lalu. Bersamaan dengan bunyi bel nyaring yang menandakan sekolah hari ini telah dibubarkan. Tapi Agus memilih untuk menambah jam latihan. Sebagai pemimpin upacara, tugasnya tentu menjadi sorotan publik. Agus tak ingin besok melakukan kesalahan. Dia memastikan semua siap dan upacara bendera besok dalam rangka memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bisa berlangsung dengan khidmat dan lancar sampai akhir.
Langit menangis. Hari sudah terlalu sore. Â Sekolah tampak sepi menyisakan Agus seorang diri di depan teras sekolah. Sejenak Agus menimbang-nimbang, jika dirinya menunggu hujan reda, tidak ada kepastian kapan berhenti. "Apa aku nekat saja ya, menerobos hujan?" batinnya.
Agus bergegas menjalankan niatnya. Dimasukkan sepatunya ke dalam tas. Lalu bersiap untuk berlari. Tapi sebelum niatnya terlaksana, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Kau akan menembus hujan begitu saja?"
Agus mengurungkan niatnya, mencari sumber suara. Dilihatnya seorang gadis berdiri di belakangnya. Rambutnya sebahu tampak hitam berkilau tertimpa cahaya lampu sekolah. Sebuah tas ransel bertengger di punggungnya. Seragam abu putih masih tampak rapi seperti seharian tanpa aktivitas. Agus mengenalnya. Eh, lebih tepatnya mengetahui siapa dia. Agus sering mendengar namanya Maria. Semua murid membicarakannya. Murid paling cantik kelas XII-A yang sangat pintar, kaya, tapi kabarnya anti-sosial itu selalu menjadi pusat perhatian. Sayangnya, tak ada seorangpun yang benar-benar mengenalnya. Maria jarang bergaul, bahkan cenderung terlihat tak punya teman. Ke mana-mana selalu tampak sendirian. Sejauh yang di dengar oleh Agus, setiap hari Maria selalu datang paling pagi, membaca buku atau sekedar mengerjakan sesuatu--entah apa itu. Dia tak banyak bicara pada murid lain. Dan Agus lupa, Maria selalu pulang paling sore menunggu mobil jemputan ayahnya.