Oleh: Ziaw Noha
Kuhitung kerlip bintang
Serupa jasa pahlawan-pahlawanku
Sekejap nampak, sekejap pendarnya tak lagi cemerlang
Digempur arus globalisasi milenial baru
Pahlawanku
Dulu asa-mu larung bersama angin
Mengibarkan merah putihku
Terhirup di setiap denyut nadiku
Angin juga mengabarkan perjuanganmu
Peristiwa merajut akar kemerdekaan negeriku
Kala itu, menggema dahsyat di tanah airku
Tak terperi selaksa pilu bertalu
Hujan 10 November
Yang deras bukan air tapi peluru membara
Yang jatuh bukan air tapi rumpun-rumpun nyawa
Yang menggenang bukan air tapi simbahan darah
Yang banjir bukan air bah tapi air mata
Perjuangaku kini bukan melawan serdadu
Bukan pula menantang bulir-bulir mesiu
Kolonialisme temporer serupa kabut beracun
Merasuki pori-pori tunas  Ibu Pertiwi
Kebanggaan NKRI terucap dari lidah
Tapi tiada tercermin oleh laku raga
Adat daerah musnah
Berganti adat negeri antah-berantah
Pahlawanku
Bilakah kutemukan penerusmu?
Bercita-cita tegakkan Pancasila
Bermoral mulia warisan leluhur
Berwawasan luas pemikiran mutakhir
Bermental kuat, tak gentar dihadang kematian
Demi keadilan rakyat, siap melarat
Hujan 10 November
Bilakah kutemukan penerus pahlawanku?
Jakarta, 10 November 2021
*) Puisi ini didedikasikan untuk menyambut Hari Pahlawan
Foto: combiboilersleeds.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H