Mohon tunggu...
Ziaw Noha
Ziaw Noha Mohon Tunggu... Akuntan - Menulis adalah nafasku

Aku menulis karena aku mencintainya. Di setiap ide-ide yang terlintas dalam benakku, di setiap aksara yang tergores dari penaku dan di setiap kebenaran yang terpancar untuk masyarakatku. Sungguh, aku mencintainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aromanya Sudah Tidak Enak Lagi

26 Juli 2020   21:07 Diperbarui: 26 Juli 2020   21:02 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gio membuka mata, semua yang dilihatnya tampak putih. Tirai putih, langit-langit putih, dinding di kanan-kirinya putih, sprei yang menopang tubuhnya juga putih. Pintu terbuka. Gio tidak perduli warna putih yang melapisinya, matanya menatap 2 orang berpakaian putih seperti astronot yang mendatanginya.

Orang yang sama dengan yang membawa tandu ibunya. Dibelakangnya menyusul seseorang berjas putih. 'Sepertinya dia dokter,' pikir Gio. Wajahnya tidak terlihat karena memakai masker. "Di mana ibu saya? Adik saya juga." Gio buru-buru bangkit.

"Adik kamu baik-baik saja. Hasil rapid test kamu juga negatif. Kamu boleh menemui adikmu sekarang. Mari saya antar." Gio tidak mengerti apa yang dikatakannya, ia tak ingin bertanya apa itu rapid test atau yang lainnya, ia hanya ingin bertemu ibu dan adiknya secepatnya. Ia mempercepat langkahnya mengikuti dokter itu. Sekilas Gio melirik kedua astronot tadi sedang membereskan sprei dan gorden.

"Ini minumlah," Dokter itu menyuguhkan minuman kepada Gio.  "Aku tahu kau suka kopi."

Gio heran. Ia hendak bertanya, tapi diurungkannya ketika melihat adiknya berlari ke arah mereka. Keduanya berpelukan. "Di mana ibu kami?"

Dokter itu diam. "Di mana? Di mana ibu kami?" Gio mengguncang jasnya. "Maafkan aku. Ibu kalian telah meninggal. Tapi hasil test swabnya negatif. Kemungkinan penyebabnya adalah kanker yang diidapnya sudah cukup parah. Kami tak bisa menolong nyawanya."

Awan putih berarak cerah tertiup angin lembut. Tapi hati Gio begitu kelam mendengarnya. Adik Gio berteriak. Kopi di tangan Gio terlepas. Aromanya sudah tidak enak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun