Mohon tunggu...
Ziaw Noha
Ziaw Noha Mohon Tunggu... Akuntan - Menulis adalah nafasku

Aku menulis karena aku mencintainya. Di setiap ide-ide yang terlintas dalam benakku, di setiap aksara yang tergores dari penaku dan di setiap kebenaran yang terpancar untuk masyarakatku. Sungguh, aku mencintainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aromanya Sudah Tidak Enak Lagi

26 Juli 2020   21:07 Diperbarui: 26 Juli 2020   21:02 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ah, tidak. Uang ini lebih berguna untuk ibu berobat," Gio menepis pikirannya itu. Selama ini ia menyimpan uang pemberian ini tanpa sepengetahuan ibunya. Ia tak ingin ibunya marah dan melarang membantunya mencari barang rongsokan lagi.

Malam ini Gio ingin jujur kepada ibunya perihal uang pemberian orang lewat. Ibunya sedang sakit, tapi ibunya selalu mengatakan dirinya baik-baik saja. Tapi Gio tahu kebohongan itu. Semakin hari tubuh ibunya semakin lemah. Gio bertekad akan menggunakan uang simpanan ini untuk mengobati ibunya.

Sekelebat cahaya kilat menyambar awan hitam. Benarlah kata bapak tadi, sebentar lagi hujan. Gio berharap ada yang keluar dari kedai dan membiarkan dirinya menghirup aroma kopi sekali lagi sebelum ia beranjak pulang. Ah, rupanya harapan Gio didengarkan oleh Tuhan, beberapa menit kemudian, seorang pemuda keluar dari kedai. Gio mengenali bajunya.

Bukankah dia yang tadi menyelipkan uang di tangannya? Buru-buru Gio berdiri untuk mengejarnya. Tapi terlambat, sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan pemuda itu, Gio melihatnya masuk dan mobil itu melaju sebelum Gio sempat mencegahnya. Aroma kopi mengiringi kepergian malaikat baik hati itu.

Barisan gedung pencakar langit berdiri megah di sepanjang jalan kota ini. Malam telah larut, tapi kota ini seakan tak pernah lelah setelah seharian bekerja. Jajanan pinggir jalan masih ramai dikunjungi pembeli. Gio berjalan cepat, tidak tertarik dengan semua itu.

Mereka semua orang-orang berduit, mudah saja bagi mereka menghamburkan uang dan waktunya. Berbeda dengan dirinya. Jangankan membeli kopi mahal di kedai tadi, untuk kopi hitam di kios kecil saja harus berpikir berkali-kali---untuk makan besok cukup atau tidak?

Rencana Gio untuk menceritakan perihal uang berobat ternyata bukan perkara mudah. Dari kejauhan kerlap-kerlip sirine ambulance terlihat jelas terparkir di depan gang sempit. Gio bergegas mempercepat langkahnya. Sejurus kemudian ia melihat orang-orang berkerumun melihat seorang ditandu oleh orang-orang aneh yang mengenakan pakaian seperti jas hujan berwarna putih.

Hidung dan mulut mereka tertutup masker sehingga Gio tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dibelakangnya seorang gadis kecil histeris mengikuti mereka sembari memanggil ibunya. Deg, kaki Gio bergetar hebat. Gadis kecil itu adalah adiknya. Gio mengalihkan pandangan kepada seseorang yang terbaring ditandu. Ibu?

Dilemparkan karung dari pundaknya begitu saja. Gio berlari sekuat tenaga ke arah tandu. Tapi sebelum sempat Gio menyentuhnya, seseorang menahan tubuhnya, Gio meronta-ronta, matanya tak berkedip melihat sosok tak berdaya yang kini sedang tergeletak di tandu menuju ambulance. Benar, wajah itu, Gio mengenalnya. "Ibuuu...." teriaknya.

Langit menangis. Tubuh Gio lunglai.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun