Mohon tunggu...
Ziaw Noha
Ziaw Noha Mohon Tunggu... Akuntan - Menulis adalah nafasku

Aku menulis karena aku mencintainya. Di setiap ide-ide yang terlintas dalam benakku, di setiap aksara yang tergores dari penaku dan di setiap kebenaran yang terpancar untuk masyarakatku. Sungguh, aku mencintainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Kelapa

9 Januari 2020   18:22 Diperbarui: 9 Januari 2020   18:33 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin dingin berhembus lembut membelai wajahku ketika matahari tergelincir di ufuk barat. Malam sebentar lagi menyelimuti, tapi aku memutuskan tetap berjalan di bibir pantai untuk menghindari keramaian. 

Beberapa jam lagi pesta akan di mulai. Tapi aku rindu berjalan di antara pohon kelapa yang berjajar menghadap pantai. Saat ini aku hanya ingin sendiri, butuh sedikit ketenangan, setelah dia---kekasihku pergi meninggalkanku.

Kurasa belum saatnya aku melupakannya di saat aku masih begitu menyayanginya. Hatiku masih ingin mengenang rasa yang dulu pernah kami ukir bersama. 

Ya, di pantai seperti inilah dulu aku bertemu dengannya. Saat itu dia terlihat begitu cantik dengan rambutnya yang basah tersapu lembut ombak di tepi pantai. 

Tak sengaja mata kami bertemu dan aku ingat seketika wajahku bersemu merah. Entah kenapa, pandangan pertama itu mampu mengguncang degup jantungku. Aku buru-buru memalingkan wajah, tapi terlambat, aku sudah ketahuan memerhatikannya sedari tadi.

"Hai, kamu baru datang ke sini ya?" tiba-tiba dia sudah berada di sampingku. Aku gugup. Pertama karena menatap matanya dari jarak yang begitu dekat. Sungguh, aku bisa melihat debur ombak di matanya menabrak karang selaksa membelah hatiku.  Kedua, karena aku tak tahu bagaimana menjawab pertanyaannya, "Bagaimana dia tahu aku baru pertama kali datang ke sini?" batinku.

"Ibuku membuka kios es krim di sana, aku tahu kamu pelanggan baru di pantai ini." dia menunjuk penjual es krim di bawah pohon kelapa tak jauh dari tempat kami berdiri. Entah karena hatiku yang saat itu sedang berbunga-bunga telah mengaburkan mataku, atau memang penjualnya mengecat kiosnya dengan motif bunga-bunga yang berwarna-warni. 

Aku tak menjawab. "Kamu bisa mengusir terik matahari dengan es krim ibuku. Aku yakin kamu pasti suka rasanya." Dia tersenyum dan meninggalkanku. Aku melihatnya tertawa seraya berlari bersama anak kecil yang melempar bola ke arahnya. Saat itu yang kurasakan hanyalah kesejukan angin pantai yang membelai lembut hatiku.

Kenangan tentangnya masih berlari-lari kecil dalam benakku. Sama cerianya seperti saat kami berlari-lari di atas pasir, dia begitu manja, kadang sesekali dia memonyongkan bibirnya seakan menawarkan ciuman untukku, tapi aku tahu dia bukan wanita segampang itu.

"Ayahku meninggal saat aku masih kecil. Ibukulah yang merawatku selama ini. Dia wanita yang tegar. Apapun dia lakukan untukku." Untuk pertama kalinya aku melihatnya berbicara dengan wajah serius sepanjang kami bersama. Tak ada guratan senyum di wajahnya sama sekali saat dia mengatakan itu. 

"Karena itu aku tak ingin mengecewakan hatinya. Itulah kenapa aku selalu menolak berciuman dengan pria, sekalipun aku mencintainya. Karena cinta ibu lebih besar dari apapun. Tak ada yang lebih berhak menciumku kecuali suamiku kelak. Karena dialah yang telah berikrar mencintaiku sebagaimana cinta ibuku."

Aku benar-benar bodoh. Seharusnya aku mendengarkannya dengan bijaksana. Dia begitu menghargai "ciuman" tak seperti wanita-wanita lainnya yang selama ini bersamaku. 

Kepribadiannya benar-benar menyentuhku. Tapi apa yang kuperbuat justru merusak semuanya. Sampai kapan pun aku tak akan pernah melupakan kesalahan terbesarku di malam itu.

Sebenarnya malam itu aku tak menyadari hari ulang tahunku. Seperti biasa selepas kerja aku bersenang-senang bersama teman-temanku. Kali ini mereka sengaja mengajakkua ke klab malam. Mereka sudah merencanakan pesta ulang tahunku diam-diam. Akibatnya aku pulang dalam keadaan mabuk berat, diantarkan seorang wanita ke apartemenku (aku tak tahu bahwa wanita itu ternyata bagian dari kejutan ulang tahunku).

Dia, wanita yang kucintai jauh-jauh datang dari desa nelayan hanya untuk memberikan kado ulang tahun untukku. Sialnya, dia datang di saat wanita "kejutan" itu menciumku. 

Aku tersentak saat menyadari dia melihat apa yang telah kami lakukan. Buru-buru aku mengejarnya, tapi terlambat. Hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya, bukannya melihat dia tertawa, tapi justru untuk pertama kalinya melihatnya menangis. Dan mungkin untuk terakhir kalinya.

Setahun kemudian aku mendapatkan kiriman surat undangan pernikahan darinya. Ada yang retak di dalam dadaku saat membacanya. Tak menunggu waktu lama, retaknya menjalar ke seluruh tubuhku. Badanku bergetar hebat. Air mataku tumpah.

---

Malam ini udara terasa begitu dingin. Alunan musik di villa sudah mulai terdengar. Setelah tadi siang aku mendatangi pernikahannya yang berlangsung dengan hikmat, malam ini sengaja diadakan pesta perayaan sebelum dia pergi ke kota London mengikuti suaminya.

Aku membiarkan saja angin pantai menyergap tubuhku yang menggigil. Bukan karena tubuhku yang tak mampu melawan hawa dingin pantai, tapi karena jiwaku yang tak kuasa membayangkan dia tadi tersenyum bersama pria lain, pria yang mengucapkan ikrar suci yang dulu pernah kujanjikan padanya. 

Bendungan air mataku tak sanggup ku tahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Dengan bersandar di bawah pohon kelapa, ku lepas semua penyesalan yang sekian lama menyiksa.

Bulan purnama tersenyum menyapa hatiku yang gelap. Membuat pantai terlihat begitu tenang. Ah, pada akhirnya semuanya harus kurelakan. Bukankah mencintai bukanlah menggenggamnya dalam tangan? Laksana merpati putih, sejatinya mencintai adalah melepaskannya bebas demi melihatnya bahagia. Mungkin ini sudah menjadi takdir kami berdua. Bisa jadi dia lebih bahagia bersama pilihan Sang Maha Cinta.

Sudah berjam-jam aku tak kembali. Pestanya pasti sudah selesai. Aku menghapus sisa air mata di wajahku, lalu beranjak pergi. Bersiap menghadapi lembaran baru dengan hati yang lapang. Tiba-tiba terdengar sesuatu yang jatuh.

"Dug." Aku menoleh. Sebutir buah kelapa jatuh tak jauh dari tempatku berdiri. Aku tertawa mengingat dulu kami pernah minum air kelapa bersama selepas berkejar-kejaran di bibir pantai. Aku membungkuk meraih buah kelapa yang hampir saja menimpa kepalaku. Beruntung aku sudah berjalan agak jauh dari pohon kelapa tempatku bersandar tadi.

"Andi." seseorang memanggil namaku.

Aku memalingkan wajah ke arah suara. Kulihat dia berdiri di depanku. Oh, aku lupa mengenalkan namanya. Hani. Namanya Hani. Gaun pengantin yang dikenakannya tadi pagi masih terlihat anggun bersamanya. Sebuah jaket tebal menutupi lengannya, mungkin untuk melawan angin pantai yang semakin dingin malam ini. Wajahnya terlihat pucat. Memandang dengan mata  terbelalak ke arahku. "Apa yang kau pegang itu?"

Aku mengabaikan perasaanku yang sempat membuncah sesaat. Segera meredamnya dan menyadari bahwa dirinya bukan milikku lagi. Kuberikan senyuman "aku baik-baik saja" kepadanya (sekuat tenaga kupaksakan). "Oh, tadi aku menemukan buah kelap ..."

Seketika suaraku tersekat di tenggorokan. Jantungku berdegup kencang. Mataku ikut terbelalak tak percaya memandang ke arah tanganku. Buah kelapa yang kubawa tadi berubah menjadi kepala manusia berlumuran darah. Seraut wajah mengerikan menyeringai menatapku.

"Hai, kamu baru datang ke sini ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun