Jika berani mencintai, bersiaplah untuk patah hati
Mencintai berarti berani
Berani menghadapi apa yang akan terjadi
Yang pasti adalah patah hati
Logika dan perasaan jauh bertemu
Kala perasan terguncang
Jadikan logika penawarnya
Maka ia akan kembali stabil
Dan pintalah pikiran jernih untuk hati yang patah
Menahan cinta lebih aman daripada mengungkapkannya, dan Adam amat canggung saat berbicara tentang cinta dibandingkan Hawa, karena Adam lahir dari akal murni sedangkan Hawa lahir dari dominasi perasaan. Saat Hawa tersudutkan maka sifat lahirnya keluar, perasaan, saat itu akal murni Adam menjadi beku dan ia tertaklukan.
Mengungkapkan cinta adalah siap menghadapi resiko, yang pasti adalah kecewa dan patah hati. Saat perasaan meletup kadang pikiranpun mati olehnya, hati menggema, bibir bergetar dan kata-kata terbatah mengungkap isi hati. Namun itu belumlah aman karena jawaban adalah kunci kepuasan, jika ia belum terujar maka jiwa menjadi gelisah.
Menghadapi cercaan, menempuh badai, menaklukkan singa buas lebih berani daripada berhadapan dengan Hawa untuk mengungkap hati. Adam menjadi kacun melihat Hawa, hingga sanguinis menjadi plegmatis yang diam.
Melankolis amat indah merangkai kata kala pilu menerpa, cairan otaknya mengalir, dan sajak tangis melintasi pikirnya. Namun kembali cairan itu membeku saat ia berhadapan dengan Hawa, beku dan bisu, padahal hatinya bergetar.
Jika pernah merasa patah hati, maka kesal seribu kesal, kenapa langkah pernah kesana. Berjanji tidak akan menanam cinta namun esoknya kembali ditanam dan kembali patah. Tampak bodoh diri yang bercinta namun ia belum terikat label HALAL.
Halalkan jika iya, dan tinggalkan jika tidak. Ada hikmah dibalik larangan, tapi larangan begitu candu dibuat apalagi tentang cinta. Bahkan saat adat yang membatasi dua insan, mengharamkan antara Zainuddin dan Hayati, namun cinta amat jujur, kuat terikat hingga badaipun ditantang.
Setiap orang punya kisah cinta, tak selalu kisah kita sedramatis Qais dan Laila, akan tetapi pilunya sama. Aku merasa tersakiti dan kamupun merasa tersakiti, satu dua waktu ia amatlah menawan dan menenangkan hati, jauh sangat merindukan, dan itulah yang membuatnya makin subur, rindu.
Satu dua waktu, ucap sinis mulai terdengar, saling tuduh begitu mudah apalagi emosi yang lepas saja. Terikat dengan susah dan terputus dengan mudah lagi pedih. Galau, sebuah perilaku kehilangan diri, bingung ingin bertindak apa, yang berlalu amat menyesalkan dan kedepan begitu canggung.Â
Meski malam telah hampir pagi, mata masih belum berhenti berkhayal. Menangislah, karena air mata bukan tanda kelemahan, tapi tanda bahwa kita masih memiliki perasaan.
Cinta yang hanya menawarkan bahagia adalah kebohongan terencana, sebab hati terkadang perlu patah, agar lebih bijak menentukan arah. Tumbuhlah, berpindahlah, move on dan pragmatislah, ungkapkan rasa itu pada waktu yang tepat dan pada orang yang tepat. Belajarlah untuk mulai bersabar, bersabar menahan perasaan yang meluap.
Bijaklah dan jujurlah, cinta yang bukan pada waktunya hanya akan berakhir dengan kecewa. Lebih baik menghilang dan datang saat sudah siap. Jangan peduli dengan omongan orang, pegang 'keyakinan' itu dan rasakan keajaibannya, kamu hanya perlu yakin dan percaya, buktikan pada orang bahwa jalan ini adalah benar dan akan menghasilkan saat waktunya tiba. Hari ini hanya segelintir orang yang bisa, semoga aku adalah itu.
Aku percaya 'janji' itu, bukan janji aku dan kamu. Kita kadang seperti anak-anak yang cepat suka dan cepat pula bosan, tak ada tujuan, hanya kesenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H