Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Decak Iman di Yogyakarta

31 Juli 2018   20:37 Diperbarui: 1 Agustus 2018   14:45 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta adalah kota yang ku idam-idamkan hendak berkunjung ke sana. Kota yang rapi dan bersih serta masyarakatnya yang berbudi santun, begitulah yang ku baca dan dengar.

Tiga hari sebelumnya pada tanggal 13 Juli 2018 ku hirup kembali udara Indonesia setelah setahun kurang belajar di bumi Musa, Mesir. Selama perjalanan ke Indonesia sangat mengesankan, disamping ditemani oleh teman yang humoris ia juga agamis, maka imanku berdecak kagum.

Mendarat di Bandara Soekarno-Hatta kira-kira pukul setengah sembilan malam, bagasiku tak ditemukan, kemungkinan tertinggal di tempat transit sebelumnya. Aku tidak terlalu terkejut karena maskapai yang ku gunakan ini memang sering meninggalkan bagasi penumpangnya. Dan Alhamdulillah keesokan harinya bagasiku ditemukan dan langsung diantarkan ke alamat.

Hampir aku tak jadi berangkat ke Jogja karena bagasiku hilang, ketika bagasiku sampai di alamatku di Tanggerang, malam itu langsungku pesan tiket ke Yogyakarta. Mimpiku semakin dekat.

Pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 22:20 WIB dengan menggunakan kereta api Progo 186 ku mulai perjalannku menuju bumi Hemengkubuwono. Sebelumnya saat di ruangan tunggu sempat aku ngobrol dengan anak muda yang lebih tua beberapa tahun dariku. Ia juga baru kali ini naik kereta dari Jakarta ke Jogja, dari tuturnya ia hendak mencari pekerjaan di Jakarta karena gajinya lebih tinggi daripada perusahaannya di Jogja, perbedaannya hampir 2X lipat. Selanjutnya ketika ia bertanya tentangku dan bercerita tentang Mesir, ternyata ia berminat juga hendak kuliah di Mesir, setelah tanya ini dan itu akhirnya kami masuk kereta, karena beda gerbong kamipun berpisah.

Inilah pengalam pertamaku naik kereta, biasanya naik kereta jenis KRL. Disini kursinya berhadap-hadapan hingga kaki ini harus berselingan dengan kaki orang didepan. Kebetulan orang didekat dan didepanku adalah cowok semua jadi lebih santai. Kereta ini sangat dingin karena AC-nya tepat diatas kepalaku, ada WC-nya juga yang bersih.

Perjalanan ini memakan waktu lebih kurang 8 jam, seperti perjalanan dari Jakarta ke Abu Dhabi menggunakan pesawat. Tapi perjalanan dengan kereta lebih menyenangkan dari pada pesawat, karena dengan kereta bisa mundar mandir dan banyak transitnya. Perjalanan malam sangat seru karena tak ada pemandangan yang bisa dilihat jadi bisa langsung tidur. Tujuanku adalah stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.

Saat kereta akan sampai di stasiun terakhir segeraku hubungi sahabat lama, Fikri. Kereta Progo 186  berhenti dengan pas di stasiun Lempuyangan, hari masih pagi udaranyapun terasa dingin, ekspektasi awalku Jogja adalah kota yang panas sesuai cerita Fikri ternyata berbeda.

Cukup lamaku menunggu Fikri yang katanya sudah diperjalanan menjemputku, hanya fikri teman yang bisa ku hubungi karena teman-teman yang lain pada pulang kampung. Sambil menunggunya ku pandangi stasiun Lempuyangan yang kecil ini, dibelakang stasiun ada pemandangan pohon dan langit yang tak berawan. Tak lama setelah lamunan itu jemputanku sampai, Fikri.

Obrolan kami cukup dalam, biasalah sahabat lama sudah lama tak berjumpa. Kesana-sini kami berkisah, perjalananku dan perjalanan sahabatku ini. Untung di Mesir sempat baca buku-buku Indonesia, jika tidak mungkin aku tidak bisa mengimbangi pemikiran sahabatku ini. Setelah cukup lama ngobrol di kontrakan sahabatku ini segera kami keluar untuk cari makan, karena di kereta tadi hanya makan roti saja, itupun malu-malu.

Sarapan kami adalah lontong pical karena sudah rindu sangat. usai sarapan kami hendak melihat-lihat kampus UIN Yogyakarta, kampus yang cukup liberal canda kami. Selama perjalanan saya sangat memperhatikan sekeliling, susunan kota ini benar rapi dan bersih, tak ada sampah di trotoar jalan, bangunannya juga tidak ada yang terlalu tinggi karena bandaranya lumayan dekat dengan pusat kota.

Tujuan kami selanjutnya adalah Kraton, sejarah panjang telah dilalui oleh Kraton dan yang menyebabkan biaya hidup di Jogja sangat murah murah, yang salah satu sebabnya adalah karena kebijakan Kraton. Biaya masuk cukup murah tapi anehnya kami juga harus bayar Rp. 2000 untuk izin foto, padahal didalam kraton tidak ada petugas yang berjaga.

Di depan Kraton ada alun-alun tempat masyarakat Jogja berkumpul jika ada event-event dan kegiatan adat, namun tampaknya sudah lama tidak digunakan tampak dari rumputnya sudah mulai meninggi. Lalu kami melihat pakaian adat Kraton, dari tutur sahabatku ini setiap pakaian lambangkan kedudukan seseorang di Kraton, apakah sebagai permaisuri, putri selir, pangeran, algojo dan lain-lain.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Lalu tak jauh dari museum pakaian adat tersebut ada ukiran perjuangan Kraton dari Hemengkubuwono I hingga Hemengkubuwono IX.Lalu kami menaiki tangga menuju tempat kegiatan adat dan upacara lainnya, kabarnya Soekarno pernah dilantik disini. Yang menarik adalah salah satu Hemengkubuwono ada yang berputra 78 orang. Luar biasa!

Selanjutnya kami berjalan menuju Masjid Gedhe Kauman, tempat sakral bagi aku sebagai kader PII ( Pelajar Islam Indonesia). Disinilah Yoesdi Ghazali pendiri PII mendapat ilham untuk menggabungkan pelajar umum dan santri. Masjid yang lumayan luas, terbuat dari kayu dan banyak ukiran, melihat atap dalamnya sempat berpikir "gimana orang dulu membuatnya?" tiba dibagian dalam masjid langsung ku rebahkan badan ini, rasanya capek sekali, baru sampai Jogja langsung putar-putar, ya gimana lagi wong aku cuma tiga hari di Jogja.

Sampai di kontrakkan sahabatku langsung badan ini tepar hingga ashar. Usai shalat ashar masih terbawa hawa-hawa kasur alias masih belum sepenuhnya sadar akupun termenung dalam lamunan. Fikripun datang dan kami mengobrol kesan kemari, cukup lama kami ngobrol dan dalam, ngobrol kali ini rasanya lebih serius dan berat dari yang tadi pagi, "sudah lama aku tak mengobrol seperti ini...".

Sorenya berjalan-jalan ke toko buku, toh Jogja terkenal dengan buku-bukunya yang murah. Dapat buku-buku langka lagi murah. Malamnya kami makan diluar lagi, nama restorannya Preksu (ayam geprek-susu). Iman saya berdecak kagum melihat restoran ini. Seluruh karyawan perempuannya menggunakan jilbab yang dalam, tak ada yang berpakaian ketat, semuanya tertutup dan longgar, seperti akhwat Malaysia jika di Mesir, laki-lakinya semuanya menggunakan peci.

Saat azan berkumandang semua karyawan langsung bergerak menuju musholla yang berada di kawasan restoran. Subhanallah, luar biasa, tak pernah saya menyaksikan pemandangan seindah ini sebelumnya, bahkan di Mesir sekalipun. Tidak sampai disitu tak sengaja saya membaca tulisan yang ada di dekat kami, "puasa senin-kamis dapat paket gratis", Allahu Akbar !!!

Pulang dari Preksu kagumku pada Jogja semakin bertambah, ditambah dengan cerita sahabatku Fikri yang menceritakan tentang perkembangan pengajian di Jogja. Memang budaya-budaya seperti ini harus tetap dilestarikan. Malam ini aku tidur lebih cepat, dan ternyata tidurku malam ini adalah tidur yang paling terpuas sejak datang ke Indonesia.

Next Trip to Prambanan. Kembali saya dibuat kaget dengan harga soto disini yang sangat murah, masih ditertawakan oleh Fikri yang melihatku takjub dengan Jogja. Ternyata Prambanan cukup dekat dengan pusat kota. Walaupun sudah keliling dan masuk candi tapi takjubku tak berdenyut. Usai foto sana sini kamipun segera pulang, mungkin hanya setengah jam kami jalan-jalan di candi ini.

Usai shalat zuhur kamipun segera pulang, rencananya mau ke Malioboro untuk beli oleh-oleh eh malah singgah dulu di kedai jus. Teringat teman seperjuangan di PII dulu, sahabat yang banyak membantu dalam beraktivitas dan bisa diandalkan selama kepengurusan kami. Kamipun berjumpa setelah sekian lama.

Wisata kuliner Jojga memang nomor satu, sagala jenis makanan ada dan bervariasi, aneh-aneh saja jenis makanan disini, aku yang biasa makan telur dan nasi menyebabkan perutku agak mules saat makan makanan baru disini. Agak menyedihkan kelihatan mereka yang sudah lama di jojga.

Next trip shopping sovenir, bukan baju dan gantungan kunci ya, tapi buku! Tujuan utamaku selain ingin menyaksikan Jogja dengan mata kepala sendiri juga ingin membeli buku. Ternyata memang benar, buku disini murah-mudah, udah murah bisa nego lagi, aku memang belum terbiasa nego disini tapi dua sahabat saya ini, apalagi yang PII ini pintar banget nego buku, yang awalnya seratus lebih bisa jadi Rp. 70.000, gila! Lagi-lagi saya terkagum.

Ba'da maghrib karena sudah janjian dengan teman-teman PII Jogja maka kami bertiga bertandang ke sekretariat PW PII Yogyakarta. Awalnya hanya 2 orang saja disana, lalu datang mantan ketua sebelumnya baru obrolan kita jadi lebih nyaman. Ternyata masjid Jogokarian sangat dekat dari sekretariat, pas sekali timingnya, masjid yang sudah menasional dan bahkan mendunia bisa saya kunjungi, eh sholat disana maksudnya.

Ternyata ukuran masjid ini tidak terlalu besar tapi bertingkat dan ada bagian tambahan di luarnya. Padahal shalat Isya tapi serasa shalat Jum'at, ramai bahkan hingga lantai duanya. Anak-anak ribut disebelah belakang tambah membuat suasana masjid ini lengkap, apalagai imamnya bersuara merdu, subhanallah, berdecak-decak imanku disini. Saat keluar masjid benar-benarku perhatikan setiap sudut ruang masjid ini, sebelumnya aku hanya menyaksikannya dari video ceramah Fahri Hamzah di masjid ini.

Usai Isya baru agak ramai di sekretariat, ketua yang priode saat ini baru datang dari luar, dan juga ada kader PII dari Papua, inilah yang bikin aku penasaran dari tadi, orang Papua. Ternyata ekspektasi aku dan Fikri keliru, disangka berkulit hitam ternyata berkulit putih. Dari sini obrolan kami mulai menarik, dimulai dari diriku yang berkisah tentang Mesir, kehidupan disana, kuliah dan politik.

Tapi obrolan kami semakin menggigit saat kami makan keluar dan kader dari Papua berkisah tentang bagaimana kehidupan di Papua dan Freeport. Teman kami dari Papua ini intelek tampak dari tutur katanya yang rapi dan jelas, pertanyaan-pertanyaannya ke padaku pun sangan berbobot hingga membuatku mengeluarkan segala informasi tentang Mesir.

Saat ia berkisah tentang Papua semua kami terpana mendengarkan kisahnya, bagaimana ia KKN di pulau antah barantah, hidup bersama masyarakat pulau tersebut, pulang dengan badan kurus plus malaria. Belum lagi klimaks dari kisahnya adalah tentang Freeport. Kami yang mendengarkannya kadang tertawa, kaget, antusias dan pasti geram. Bagaimana tidak masyarakat Papua yang tidur diatas emas namun hidup dalam miskin papa. Semoga suatu hari nanti bisa berkunjung ke Indonesia bagian timur tersebut.

Malam ini begitu berkesan, bertemu dengan kader-kader PII membuka pola pikirku yang masih sempit, rasanya semakin bodoh dan kerdil ketika berjalan sejauh ini. Hari esok telah menungguku, Jakarta telah memanggil pulang, walau hanya 3 hari di Jogja rasanya telah seminggu karena banyak hal yang ku dapatkan. Terimakasih Jogja, niatku tahun depan bisa kembali ke kota yang penuh tradisi ini.

Saat di kereta menuju Jakarta, aku duduk diantara 3 perempuan, anak sekolah, mbak-mbak dan nenek-nenek...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun