Mohon tunggu...
Zia ul Haramein
Zia ul Haramein Mohon Tunggu... Guru - Jangan mati sebelum menulis

Kutulis apa yang kubaca dan pahami, tak peduli engkau setuju atau murka

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

[Renungan Ramadan] Jangan Jadi Hamba yang Merugi! (Part 3 | Habis)

15 April 2021   09:38 Diperbarui: 15 April 2021   10:03 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ramadan Bulan Kesabaran

Pada dasarnya, puasa bermakna imsak, yaitu menahan. Kondisi ini tidak dapat terealisasi kecuali dengan menerapkan kesabaran. Dalam kitab Lathaif al-Ma'arif, disebutkan bahwa kesabaran mencakup tiga hal; yaitu, 1) Sabar dalam ketaatan pada Allah, 2) Sabar menahan dari larangan Allah, dan 3) Sabar dalam takdir Allah yang menyulitkan.

Poin pertama, sebagaimana puasa pada umumnya, kita sabar menahan tidak makan dan minum di siang Ramadan, menjalankan tarawih, tadarus, dan lain-lain. Semuanya bertujuan pada ketaatan. Poin kedua, dalam berpuasa tentu ada larangannya. Upaya kita dalam menahan diri dari segala larangan ini, adalah proses dari kesabaran. Makna puasa jauh lebih sakral dibanding hanya menahan lapar dan haus. Namun puasa sejatinya ialah menahan segala keburukan anggota tubuh yang sering kita lakukan.

Dan poin ketiga, sabar terhadap takdir Allah yang menyedihkan. Inilah praktik sabar dalam setiap aspek kehidupan. Sebab tidak semua yang kita inginkan ialah kehendak Allah. Dan seringkali yang Allah kehendaki terjadi pada kita, justru yang tidak kita senangi. Maka sabar di poin ini cakupannya lebih luas ketimbang hanya kondisi lapar dan haus di bulan Ramadan. Dan kesabaran dalam aspek ini telah diberi peringatan oleh Nabi , "Kesabaran yang sesungguhnya ialah pada awal musibah menimpa". [HR. Bukhari dan Muslim]

Ketiga poin di atas masuk dalam tujuan berpuasa. Demi menjadi hamba yang bertakwa, tentu kita harus lulus dari tiga ujian kesabaran tersebut. Karena puasa bukanlah ritual mengosongkan perut semata, jauh lebih penting dari itu puasa mengajarkan kita agar senantiasa menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang mengandung maksiat pada Allah.

Sahabat Jabir bin Abdillah ra. pernah berpesan,

إذا صمت؛ فلتصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمحارم ، ودع أذى الجار ولتكن عليك سكينة ووقار يوم صومك ، ولا تجعل يوم صومك يوم فطرك سواءً

"Jika engkau berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu dari dusta dan segala larangan Allah. Janganlah menyakiti tetanggamu, maka akan kau temui ketentraman dalam puasamu. Dan janganlah kau buat hari-hari Ramadan-mu sama seperti hari-hari lainnya di luar Ramadan".

Tingkatan Orang Berpuasa

Dalam kitab Ihya' Ulumiddin, Imam al-Ghazali menuturkan bahwa orang berpuasa terbagi pada tiga level esensial;

  1. Puasa orang awam, yaitu mereka yang hanya menahan lapar, haus, hubungan suami-istri di siang Ramadan. Tingkatan pertama ini umum dilakukan muslim di berbagai belahan dunia.

  2. Puasa orang khusus, yaitu mereka yang selain menahan diri dari lapar dan haus, juga menahan segala anggota tubuh dari hal yang diharamkan. Mata, telinga, lisan, tangan, dijaganya dari menyakiti orang lain. Juga menahan dari mendengar dan meihat yang diharamkan. Ini dilakukan oleh sebagian kecil umat muslim saat Ramadan.

  3. Puasa VIP (very important persons), yaitu mereka yang mempuasakan hatinya dari kecondongan hina, pikiran tentang keduniawian, dan baginya cukup hanya Allah yang menjadi tujuan puasanya.

Mungkin orang-orang dengan poin pertama dan kedua seringkali kita temui di kehidupan kita. Namun untuk poin ketiga ini agaknya jarang sekali kita temui. Sebab hamba semacam ini diibaratkan sudah selesai dengan 'dunia'. Tujuan utama puasanya ialah untuk Allah semata. Tidak peduli ia harus sahur dengan apa, berbuka di mana, makan malam dengan siapa; semuanya sudah jauh ia lalui. Tidak hanya puasa, segala jenis ketaatan yang biasa ia lakukan di luar Ramadan tentu ia tingkatkan lagi kualitasnya di bulan ini. Tingkatan hamba seperti ini adalah posisinya para Nabi, wali Allah, para sholihin, salik, dan lain-lain. Lantas di manakah level ketaatan kita selama Ramadan?

Konsumerisme Ramadan

Tidak dipungkiri lagi bahwa Ramadan ibarat berlian para bulan. Aura keistimewaan Ramadan dirasakan bukan hanya oleh mereka yang beriman, tapi juga orang-orang awam bahkan non-muslim. Saat para mu'minin sibuk menjaring pahala sebanyak-banyaknya dengan amal saleh, kondisi ini juga dimanfaatkan oleh pihak lain untuk meraup keuntungan duniawi. Berbagai potongan harga (diskon) bisa kita lihat di setiap toko komersial. Bahkan pengguna aplikasi toko daring (e-commerce) pun merasakan hal yang sama. Bombardir diskon memenuhi kolom pemberitahuan di gawai mereka.

Kondisi ini ternyata sudah diprediksi sekitar 17 tahun lalu oleh Walter Armbrust, seorang pengamat dari Universitas Oxford, Inggris. Ia menyatakan bahwa konsumerisme di kalangan masyarakat saat Ramadan datang meningkat drastis dibanding selain Ramadan. Disadari atau tidak, kini kita lebih banyak terdistraksi tawaran-tawaran semacam ini. Dan sedihnya, kita menyambut mereka dengan suka cita. Betapa banyak dari kita yang membeli atau mengganti peralatan rumah tangga dan elektronik justru menunggu Ramadan datang. Fenomena ini Armbrust menyebutnya sebagai The Important Business Period.

Kita berlomba-lomba dalam berbelanja dan memanjakan selera hawa nafsu, namun melupakan hakikat Ramadan yang amatlah berharga. Senada dengan ini, sekarang kita juga dijajah oleh godaan kuliner yang beraneka macam; jenis masakan, restoran, paket berbuka, parsel Ramadan, dan semacamnya. Bahkan kita lebih mementingkan kapan berbuka puasa di mana, berkumpul dengan siapa; hal ini jauh-jauh hari direncanakan. Bersuka ria dengan sahabat dan kolega hingga melewatkan shalat tarawih, bahkan hingga larut malam. Amat disayangkan kita justru melupakan esensi ketaatan yang sejati di malam hari, waktu yang terasa sangat singkat di kala Ramadan. Ingat, jangan jadi hamba yang merugi!

Ramadan Bulan Pengampunan

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di bulan ini Allah membuka lebar pintu pengampunanNya. Ini merupakan suatu privilege atau keistimewaan bagi setiap hamba, tentunya, yang beriman. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam suatu sabdanya,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Siapa pun yang berpuasa Ramadan, dengan penuh keimanan dan pengharapan (atas pahala dan ridhaNya), maka dosanya yang telah lalu akan diampuni". [HR. Bukhari dan Muslim] dalam riwayat lain, "Siapa pun yang mendirikan shalat malam" dan "Siapa pun yang shalat pada Lailatul Qadar".

Pengampunan dosa yang Allah berikan bagi hambaNya yang beriman tentu tidak berlaku mutlak untuk semua dosa. Para ulama menjelaskan bahwa dosa yang diampuni di hadis tersebut hanyalah dosa-dosa kecil. Sedangkan dosa besar, sebagaimana yang kita pahami bersama, masih memerlukan taubat nasuha agar dapat diampuni. Meski demikian, hal ini bukan berarti sebuah legitimasi bagi kita untuk meremehkan dosa kecil. Sebab orang yang melanggengkan dosa kecil, hatinya akan menjadi 'keras' akan larangan Allah, dengan begitu ia akan mudah untuk melakukan dosa besar. Na'udzu billah! Maka, jangan jadi hamba yang merugi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun