Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
Ungkapan di atas tidak asing di telinga kita, bukan? Sebagian orang awam menganggapnya sebagai hadis Nabi ﷺ. Bahkan banyak ustadz kondang mendakwahkannya dan belum tahu bahwa ini adalah hadis bermasalah. Teks lengkap hadis ini ialah,
نوم الصائم عبادة وصمته تسبيح وعمله مضاعف ودعاؤه مستجاب وذنبه مغفور
"Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, (pahala) amalnya berlipat ganda, doanya dikabulkan dan dosanya diampuni".
Hadis ini terdapat pada kitab Syu'ab al-Iman karya Imam al-Baihaqi dan al-Jami' al-Shagir karya Imam al-Suyuthi. Kedua imam ahli hadis ini menyatakan bahwa hadis tersebut dha'if (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (sandaran argumentasi). Setidaknya, karena di dalam transmisi sanadnya terdapat sosok Sulaiman bin Amr al-Nakha'i. Para kritikus hadis menilainya sebagai perawi yang gemar memalsukan hadis. Maka jelas hadis ini tidak sahih.
Namun bila diselami maknanya, ungkapan di atas tidak sepenuhnya salah. Kita anggap saja benar bahwa "tidurnya orang puasa adalah ibadah", maka pemahaman kita-lah yang harus disesuaikan dengan konteks ini. Menurut para ulama hadis ini bermaksud; ketika kita sedang berpuasa, dalam kondisi tidur pun, puasa kita masih tetap dinilai sah, tidak batal. Lain halnya dengan shalat, zakat, tawaf, dan ibadah lainnya yang mana tidak sah dilakukan sambil tidur.
Namun ungkapan ini tidak lantas menjadi legitimasi kita untuk bermalas-malasan sepanjang siang Ramadan. Sebab esensi ungkapan ini bukan untuk menghimbau agar kita banyak tidur sehingga banyak ibadah dan pahala. Melainkan, saat kita lelah bekerja dan beribadah dalam kondisi berpuasa, lalu kita tertidur, maka puasa kita masih tetap dinilai ibadah tanpa berkurang pahalanya sedikit pun. Maka dari itu, janganlah jadikan puasa sebagai alasan bermalasan, minim semangat, ngantuk; tapi justru hidupkanlah Ramadan dengan berbagai ibadah dan kegiatan positif. Jangan jadi hamba yang merugi!
Dua Kebahagiaan Orang Berpuasa
Lumrah kita ketahui bahwa ketika kita sedang berpuasa, salah satu cobaan terberat ialah menahan lapar dan dahaga. Detik-detik menjelang azan Maghrib adalah waktu membahagiakan yang sangat dinanti setiap harinya. Saat azan berkumandang, aliran minuman yang membasahi kerongkongan ibarat guyuran air hujan di musim kemarau. Setiap yang berpuasa tentu merasa bahagia di momen ini. Inilah kebahagiaan pertama, kata Nabi ﷺ. Ada kebahagiaan kedua yang akan dirasakan oleh setiap mereka yang rajin berpuasa. Namun kebahagiaan kedua ini statusnya masih ditangguhkan hingga hari akhir kelak. Hadisnya adalah sebagai berikut,
للصائم فرحتان ؛ فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه
"Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa; kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabb-nya". [HR. Bukhari dan Muslim]
Akidah Ahlussunnah waljama'ah meyakini bahwa di akhirat kelak setiap orang yang beriman akan diberi anugerah berupa kesempatan melihat Allah dengan matanya sendiri. Berbeda dari golongan Mu'tazilah, Murji'ah, dan sebagainya yang menyatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat di akhirat kelak. Wajib kita pahami bahwa ini adalah suatu keistimewaan, apalagi bagi yang berpuasa; surga khusus yang terpisah dari lainnya, dapat bertemu Sang Khalik dan memandangNya tanpa ada penghalang apapun. Maka, jangan jadi hamba yang merugi!
Bulan Saat Setan Dibelenggu
Seringkali kita mendengar hadis bahwa saat Ramadan datang, pintu-pintu surga akan dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, dan setan-setan yang menggoda manusia akan dibelenggu. Ini adalah hadis sahih riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, dan lainnya. Namun dalam memahami hadis ini kita kerap kebingungan. Bukan karena terjemah bahasa Arabnya, melainkan melihat fakta yang ada, bahwa masih banyak saja orang yang melakukan maksiat di bulan Ramadan. Katanya, setan dibelenggu? 'Kok di mana-mana korupsi masih merajalela, pencurian, penipuan, dan sebagainya?
Hadis semacam ini tidak dapat dimaknai secara harfiyah, melainkan harus ditarik ke makna konotasinya. Meskipun bisa saja hadis ini diartikan secara haqiqi (denotatif), sebagaimana salah satu pendapat al-Qadhi Iyadh, namun yang lebih mudah difahami nalar awam ialah makna majazi-nya. Hadis ini selain menjadi penghormatan khusus bagi datangnya Ramadan, tapi juga dimaksudkan sebagai motivasi kita agar senantiasa memperbanyak amal saleh.
Penerimaan Allah -yang digambarkan sebagai 'pintu surga yang terbuka'- amatlah luas pada bulan ini. Amalan kecil pun akan dinilai pahala berlipatganda. Sebaliknya, potensi maksiat di bulan ini ditutup rapat-rapat, agar kita tidak sedikit pun terbesit untuk melanggar larangan Allah. Sebaliknya, dosa dari maksiat yang dilakukan di bulan ini pun sungguh besar; di samping karena dosa itu sendiri, karena kita juga merendahkan bulan Allah yang mulia ini.
Dengan kata lain, jika di bulan Ramadan saja kita acuh pada larangan Allah, apalagi di sebelas bulan lainnya? Jika setan saja sudah dibelenggu demi menghormati Ramadan, lantas kita masih bermaksiat, separah apakah 'kaderisasi' setan pada diri kita sehingga begitu membekas? Doktrinasi apakah yang setan selalu tanamkan pada otak dan hati kita sehingga saat Ramadan pun kita ikhlas mengikuti pengaruh tersebut? Wal-iyadzu billah. Sungguh Nabi ﷺ telah berpesan, "(Pengaruh) setan menjalar di tubuh anak cucu Adam sebagaimana aliran darah". [HR. Abu Daud] Maka ingat, jangan jadi hamba yang merugi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H