Dunia ini ibarat tempat persinggahan; tidak ada yang mampu tinggal menetap kecuali ia akan berangkat lagi ke tujuan selanjutnya. Imam al-Ghazali mengibaratkan bahwa hidup manusia di dunia tidak lebih dari perjalanan sebuah perahu yang sedang menepi dan para penumpang turun untuk mengambil perbekalan. Meski hanya berupa pemberhentian sesaat, namun tidak sedikit manusia yang tergiur dengan kemewahan dunia. Banyak yang enggan kembali naik ke perahu karena persinggahan ini begitu menggiurkan. Padahal tujuan akhir nanti adalah pemberhentian terakhir, perahu tidak dapat kembali berlayar, manusia akan kekal abadi di sana; kampung akhirat.
Betapa pun dunia tidak tampak berharga dibandingkan akhirat, namun ia tetaplah ladang untuk manusia mencari bekal pahala. Kesempatan setiap hamba Allah untuk mengumpulkan perbekalan ialah hanya di dunia ini. Ibarat ketika sudah harus kembali ke perahu, maka semua keindahan tempat transit harus ditinggalkan. Yang tersisa hanyalah 'kawan' satu-satunya yang menjadi lentera di liang kubur, yang sekaligus bermanfaat kelak di kampung halaman; yaitu amal. Timbangan amal baik seorang hamba di hadapan Tuhannya adalah hal terakhir yang dapat diharapkan, sebagaimana Allah berfirman,
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal saleh kalian dahulu di dunia". [QS. al-Zukhruf : 72]
Atau seringkali Allah menyebutkan sifat dan kenikmatan ahli surga dengan diakhiri kalimat,
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Sebagai balasan atas amal saleh yang dulu mereka lakukan di dunia"
Amal Bukan Kunci Surga
Namun ternyata perkara amal saleh dan surga sebagai balasannya bukanlah proses kausalitas. Ia tidak menjadi sunnatullah yang bersifat sebab-akibat. Karena Nabi ﷺ telah mengisyaratkan bahwa kelak amal kita bukanlah 'kunci' untuk membuka pintu-pintu surgaNya. Dengan kata lain, manusia tidak lantas masuk surga semata-mata karena amalannya.
Dari Abu Hurairah ra., Nabi ﷺ bersabda,
لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
"Tidak ada satu pun dari amal saleh kalian yang dapat menghantarkan masuk surga atau menghalangi masuk neraka." Lalu para sahabat bertanya, "Begitu pula dengan engkau, wahai Rasulullah?" "Ya, begitu pun aku. Namun Allah telah merahmatiku." [HR. Muslim] Dalam redaksi lain disebutkan, "Namun Allah telah menaungiku dengan rahmah (kasih sayang) dan maghfirah (ampunan)Nya."
Lantas bagaimana bisa perkataan Nabi ﷺ ini dapat menyelisihi 'pendapat' Allah dalam ayat-ayatNya di atas?
Perlu kita pahami bahwa amal saleh kita tidak mampu menjadi 'alat tukar' terhadap surga agungNya. Betapa cacatnya amal kita di hadapan Allah jika digunakan untuk menukar surga yang sempurna. Betapa sedikitnya amal kita dibandingkan dengan balasan yang melimpah tiada akhir di surga kelak. Tentu tidak sebanding 'membeli' surga dengan amal saleh kita yang serba minimalis. Maka Imam al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim mencoba mereda kebingungan umat dalam memahami dua teks yang tampak bertentangan ini,
"Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa amal bisa mengantarkan ke surga tidak lantas bertentangan dengan hadis-hadis di atas. Firman Allah menunjukkan amalan seseorang bisa menjadi sebab masuk surga. Namun dalam beramal tentu membutuhkan taufiq dari Allah, begitu pula hidayah untuk ikhlas beramal. Artinya, tidak ada amal yang diterima oleh Allah kecuali ada faktor rahmat dan hidayahNya".
Amal Saleh Alasan Rahmat Allah
Dengan demikian perlu kita pahami bahwa manusia tidak dapat mengandalkan amal saleh dalam meraih surgaNya kelak. Sebaliknya, jangan hanya karena membaca hadis di atas lantas kita berpangku tangan dan tidak melakukan kebaikan apa-apa. Hadis semacam ini memang terkesan tricky, nampak menjebak nalar. Maka memahaminya pun harus secara komprehensif. Bagaimana mungkin seorang hamba mengharap rahmat dan maghfirahNya tanpa melakukan kebaikan apapun? Bagaimana mungkin surga menerima orang yang tidak pernah melakukan kebajikan?
Maka untuk memahami hadis di atas, tidak cukup membaca sepintas atau terjemahannya saja. Kita harus memahami bahwa salah satu sebab turunnya rahmat, maghfirah dan ridha Allah ialah dengan ber-taqorrub padaNya. Salah satu bentuk taqorrub ialah dengan melakukan amal saleh dan meninggalkan maksiat. Itulah mengapa seringkali Allah menyebutkan bahwa keabadian surga diberikan kepada siapa yang beramal baik selama di dunia. Begitu pula kesengsaraan di neraka ditimpakan kepada mereka yang gemar melakukan maksiat dan enggan beramal baik.
أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
"Itulah mereka para penghuni surga, kekal abadi di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan di dunia". [QS. al-Ahqaf : 14]
فَذُوقُوا۟ بِمَا نَسِيتُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَآ إِنَّا نَسِينَٰكُمْ ۖ وَذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلْخُلْدِ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
"Maka rasakanlah (siksa ini) sebab kamu melupakan hari pertemuanmu hari ini, dan sungguh kami pun melupakanmu, rasakanlah siksa yang kekal sebab apa yang selalu kamu lakukan". [QS. al-Sajdah : 14]
Maka telah jelas dan terang benderang, bahwa hadis di atas sama sekali bukanlah anjuran untuk meninggalkan amal saleh, namun justru agar kita beramal lebih baik dan meinggalkan segenap keburukan. Kita tidak pernah tahu di antara amal-amal kita yang cacat, ternyata Allah menurunkan rahmat, maghfirah dan ridhaNya sebab konsistensi kita dalam menjalankan amal tersebut. Sebab Rasulullah ﷺ pernah menganjurkan, "Ibadah yang paling dicintai Allah ialah yang dilakukan secara konsisten meskipun sedikit" [HR. Muslim]. Semoga kita menjadi hamba-hamba yang senantiasa istiqomah melakukan amal saleh, dengan mengharap ridhaNya. Sebab hal inilah yang kelak akan membawa kita kepada jannahNya.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H