Saya sedang dalam perjalanan pulang dari klinik tempat saya praktek, ketika ban motor terasa bergoyang dan orang-orang berhamburan ke luar ruangan. Mata langsung saya arahkan ke tiang listrik. Oh, semua bergoyang. Pastilah terjadi gempa bumi.Â
Sampai di rumah, kerabat dekat sudah ramai menanyai kabar kami di WhatsApp. Ternyata gempa semalam magnitudonya cukup besar, 6,6 SR dan berpusat tidak jauh dari daratan Bantul, DIY. Kedalamannya pun hanya 12 kilometer. Tidak heran getarannya terasa kuat dan lama.Â
Diberitakan pula, puluhan bangunan di Bantul, Gunungkidul, Kota Yogyakarta maupun di Sleman rusak karena gempa semalam. Belasan orang dilaporkan luka-luka dan bahkan 1 orang meninggal karena kaget.Â
Menjelang tidur semalam, saya tidak bisa tidur. Sebagai penyinyas gempa Bantul tahun 2006, masih ada trauma yang timbul kalau terjadi gempa. Rasanya takut sekali kalau-kalau terjadi gempa besar lagi dan merusak rumah kami. Saya yakin banyak warga Bantul yang juga tidak tidur atau memilih tidur di teras. Memori 17 tahun lalu masih amat jelas tergambar di benak kami.Â
17 Tahun Silam
Kala itu, gempa terjadi pukul 5.59 saat orang-orang bersiap-siap sekolah dan bekerja. Getaran terasa kuat sekali hingga menghancurkan 71.763 rumah dan membuat lebih dari 130.000 rumah rusak berat maupun ringan. Korban jiwa mencapai 5.782 jiwa dan 26.299 orang lainnya luka berat maupun ringan.
Sebuah angka yang besar. Yang tidak hanya terasa besar di atas kertas, tapi karena saat itu untuk pertama kalinya saya menjadi korban bencana alam yang masif.Â
Tergambar jelas di benak saya rumah-rumah tetangga rubuh rata dengan tanah. Orang-orang berhamburan keluar dengan wajah panik dan ketakutan. Satu dua orang mengucurkan darah di kepala, tangan, atau kakinya. Beberapa orang tertimpa bangunan dan berteriak minta tolong.
Ada pula yang masih berada di dalam reruntuhan dan perlu berjam-jam untuk mengevakuasinya. Sebanyak 11 tetangga kami meninggal dan hampir semuanya kehilangan rumah karena hanya ada 11 rumah yang masih tegak berdiri.Â
Saat itu, orang-orang sangat ketakutan. Mereka tidak mau dekat-dekat bangunan meski hanya pagar setinggi satu meter. Setiap kali ada gempa susulan, kami langsung berhamburan. Anak-anak menangis sampai histeris. Berbulan-bulan kemudian, kami hidup di tenda. Bukan hanya karena tidak ada rumah untuk dihuni, tapi karena trauma mendalam yang tak jua mau pergi.Â
Hampir setahun berlalu, barulah bantuan dari pemerintah maulun LSM datang. Rumah yang rubuh dibangun kembali. Sebagian besar malah lebih bagus daripada rumah sebelumnya. Hampir-hampir setiap desa di Bantul tidak bisa dikenali lagi karena semuanya bertransformasi.
Timbul Kembali
Lalu, malam tadi, gempa cukup besar terjadi lagi. Menguak luka yang belasan tahun telah dicoba untuk ditutup rapat-rapat. Tapi ternyata menguat kembali bak kotak pandora yang terbuka.
Gempa semalem memang tidak sebesar 17 tahun lalu. Tapi saya yakin, gempa tersebut cukup membuat warga Bantul terngiang kembali memori kelam 17 tahun silam. Tidak hanya bayangan yang tergambar mata, tapi juga perasaan takut, kalut, panik dan tak berdaya yang juga menghegemoni perasaan orang-orang semalam.
Lebih-lebih, di negeri ini, gempa masih jua belum bisa diprediksi. Datangnya sekonyong-konyong tanpa permisi. Sehingga meskipun rumah-rumah telah dibangun kembali, trauma tetap juga tidak bisa terobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H