Saat itu, orang-orang sangat ketakutan. Mereka tidak mau dekat-dekat bangunan meski hanya pagar setinggi satu meter. Setiap kali ada gempa susulan, kami langsung berhamburan. Anak-anak menangis sampai histeris. Berbulan-bulan kemudian, kami hidup di tenda. Bukan hanya karena tidak ada rumah untuk dihuni, tapi karena trauma mendalam yang tak jua mau pergi.Â
Hampir setahun berlalu, barulah bantuan dari pemerintah maulun LSM datang. Rumah yang rubuh dibangun kembali. Sebagian besar malah lebih bagus daripada rumah sebelumnya. Hampir-hampir setiap desa di Bantul tidak bisa dikenali lagi karena semuanya bertransformasi.
Timbul Kembali
Lalu, malam tadi, gempa cukup besar terjadi lagi. Menguak luka yang belasan tahun telah dicoba untuk ditutup rapat-rapat. Tapi ternyata menguat kembali bak kotak pandora yang terbuka.
Gempa semalem memang tidak sebesar 17 tahun lalu. Tapi saya yakin, gempa tersebut cukup membuat warga Bantul terngiang kembali memori kelam 17 tahun silam. Tidak hanya bayangan yang tergambar mata, tapi juga perasaan takut, kalut, panik dan tak berdaya yang juga menghegemoni perasaan orang-orang semalam.
Lebih-lebih, di negeri ini, gempa masih jua belum bisa diprediksi. Datangnya sekonyong-konyong tanpa permisi. Sehingga meskipun rumah-rumah telah dibangun kembali, trauma tetap juga tidak bisa terobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H