Tetapi, saat saya melihat penjualnya menyendokkan salah satu lauknya pada piring pengunjung yang lain, saya yakin itu adalah daging babi. Oleh karena itu, sayapun memastikan pada sang supir. Kemudian, ia berbahasa yang kami tidak mengerti dengan sang penjual (mungkin itu Bahasa Toraja), dan ia memberitahu bahwa Pa'piong ayamnya habis.
Karena temanku sangat pengertian, maka ia bertanya, "cici mau coba makanan nonhalal nya?" "Iya, boleh ya," ucapku. Akhirnya, saya dan teman pisah tempat makan. Saya makan di Warung Inul Singki, mencobai Pa'piong babi, yang menurut saya kalo versi makanan halalnya, ia seperti makanan pepes. Temanku makan di rumah makan halal (tidak diingat nama rumah makan tersebut) yang menjual konro, namun menurutnya konro tersebut kurang enak.
Setelah temanku melaksanakan sholat Zuhur, kami mengunjungi Museum Ne' Gandeng yaitu museum dengan latar pemandangan alam yang indah. Selain bangunan Tongkonan yang dibangun, dan penjelasan-penjelasan terhadap barang-barang adat yang dipajang, hari itu juga sedang ada turnamen olahraga yang diadakan di Museum Ne' Gandeng, sehingga suasananya ramai sekali.
Sekitar jam 4 sore, mulai hujan di Rantepao, jadi kami mengakhiri wisata kami hari itu. Kemudian, jam 7 malam, kami dijemput oleh sang supir untuk makan malam. Setelah berkeliling banyak putaran, kami masih belum menemukan rumah makan halal. Ada pasar malam di Toraja ini, tetapi menurut info supir, pasar malam tersebut hanya menjual cemilan, dan tidak menjual makanan berat.
Akhirnya kami menemukan penjual makanan di sudut suatu jalan, dengan spanduk yang mencantumkan logo halal, namanya "Sari Laut Paraikate". Menunya meliputi Coto Makassar, ayam goreng dan ikan goreng, dengan pilihan ikan lele, dan ikan mujair. Hari itu, saya memesan ikan mujair goreng, makanan disajikan dengan nasi putih, lalapan (mentimun segar, kacang panjang mentah, dan kol goreng), serta semangkok kecil kuah Coto Makassar. Menu ini dihargai Rp35.000
Keesokan harinya, kami melanjutkan wisata ke Ke'te Kessu, yang merupakan kompleks dengan bangunan Tongkonan yang sudah berusia ratusan tahun. Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Londa, yaitu goa dengan peti-peti mayat yang tersimpan di tebing batu terjal.Â
Setelah itu, kami ingin mengunjungi Baby Grave Kambira (di Kecamatan Sangalla), tetapi saat tiba di situ tidak ada penjaga loket, dan panah yang menunjuk arah Baby Grave mengarahkan pada tangga yang menuju semak-semak, dan pepohonan yang bertumbangan, jadi tempat wisata ini tampak agak kurang terurus, dan kami memutuskan untuk tidak turun ke sana,Â
melainkan langsung berlanjut ke destinasi berikutnya, yaitu Patung Yesus Memberkati, di Buntu Burake, Makale.
Sebelum menaiki bukit tersebut, kami makan dulu di Warung Makan Regina, di Jalan Nusantara, Makale yang juga mencantumkan Halal pada spanduknya. Di sini, kami makan nasi goreng merah, seharga Rp25.000/ porsi.