Mohon tunggu...
Zarna Fitri
Zarna Fitri Mohon Tunggu... Freelancer - Terus bermimpi

Hidup harus bermakna

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Awas Gratifikasi di Hari Guru

26 November 2024   18:22 Diperbarui: 26 November 2024   18:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 25 November kemarin diperingati sebagai Hari Guru Nasional(HGN). Tema tahun ini yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) adalah 'Guru Hebat, Indonesia Kuat'. Peringatan HGN ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Tanggal yang bertepatan dengan hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tahun 1945.

Biasanya, peringatan HGN ini hanya dengan upacara saja di lapangan atau di kantor bupati/walikota/gubernur. Namun, makin ke sini, ada perubahan pola dari yang bukan sekedar peringatan tetapi menjadi suatu 'beban'. Belakangan (entah sejak kapan tradisi ini dimulai) semakin marak pemberian hadiah kepada guru. Terlebih di hari guru, kenaikan kelas, lebaran, dan entah momen-momen tertentu lainnya.

Di lingkungan sekitar, saya sering menerima curhatan dari para wali murid yang semakin resah dengan rutinitas ini. Dari mereka yang awalnya sukarela memberi sampai menjadi keharusan dan akhirnya menjadi beban bahkan sampai menjadi prahara dalam rumah tangga.

Mungkin beranggapan hadiah adalah sebagai bentuk terima kasih kepada guru karena telah mengajar anak kita. Sebagai bentuk penghormatan kepada guru. Lantas, kenapa tidak kepada semua pekerja kita berterima kasih? Misalnya, kepada penyapu jalanan karena telah memberikan jalanan, kepada kasir karena telah menghitung belanjaan kita, kepada supir angkot yang telah membawa kita ke tujuan, dan kepada pemegang profesi lainnya.

Beberapa Alasan Memberi Hadiah kepada Guru

  • Guru gajinya kecil

Kalau dikatakan, banyak gaji guru yang tidak sepadan. Kenyataannya di lapangan, yang diberikan bukan hanya guru honorer, tapi guru yang dengan status pegawai negeri sipil. Apa kabar tenaga kesehatan yang status honorer? Kenapa pilih kasih sekali hanya memberi kepada guru saja, padahal tenaga kesehatan yang honorer lebih memprihatinkan lho dari segi gaji.

  • Sebagai bentuk terima kasih

Kalau alasan begini, seharusnya semua elemen pendidik di sekolah mendapat hadiah, bukan hanya guru tertentu. Kenyataannya adalah hanya guru tertentu saja yang mendapat hadiah seperti wali kelas. Guru BK (bimbingan konseling) kenapa tidak iktu dikasih? Apa karena mereka sering memberikan hukuman? Kenapa guru yang tersemat julukan killer juga tidak dapat? Mengapa?

  • Agar guru semakin semangat mengajar

Hei, menjalani suatu profesi, apapun itu memang harus dilakukan dengan baik. Apalagi guru. Terlepas berapa nominal yang diterima sebagai upah atas profesi tersebut. Ketika sudah mengazamkan diri terhadap sesuatu, haruslah dikerjakan dengans sempurna dan sungguh-sungguh. Apa jaminannya dengan hadiah tersebut guru akan bersemangat? Atau apakah dengan tidak menerima hadiah lantas si guru jadi tidak bersemangat.

Dan segudang alasan lain dari yang positif sampai ke negatif.

Mirisnya, hal ini sudah menjadi suatu kebudayaan dan keharusan. Artinya, jika memberikan hadiah maka akan menjadi perbincangan sampai parahnya ada yang dikucilkan.apalagi ada oknum-oknum guru yang sampai request untuk hadiah yang diberikan. Mungkin bagi orang tua yang berkecukupan tidak menjadi persoalan, bagaimana dengan yang bisa membayar uang sekolah anak saja sudah kesusahan?

Beberapa fakta di lapangan, memberi hadiah kepada guru juga menjadi ajang perlombaan bagi orang tua murid. Tidak mau kalah. Kalau missal orang tua si A memberikan tas misalnya, maka orang tua yang lain akan memberikan yang lebih wah lagi. Ditambah, guru yang menerima hadiah tersebut mengupload ke media sosialnya, apalagi dengan kesengajaan. Bisa terjadi kesenjangan di antara orang tua murid dan juga kesenjangan di antara guru itu sendiri.

Guru yang hanya menerima satu hadiah misalnya, akan membandingkan dirinya dengan guru yang menerima lebih dari satu hadiah. Bisa menajdi pergolakan yang membuat keresahan. Yang akhirnya membuat niat awal guru dari seorang pendidik, bisa saja menjadi ternodai dengan pemberian hadiah tersebut.

Tidak Salah Memberi Hadiah

Memberi hadiah tidak ada salahnya. Terlebih kepada guru. Namun, harus dilihat dulu unsur-unsur dibalik alasan pemberian hadiah. Alih-alih malah jadinya gratifikasi. Menurut penjelasan pasal 12B pada UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan tas UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian usng, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.

Pemberian kepada guru bisa menjadi terlarang dan menajdi gratifikasi kalau masuk ke dalam pasal tersebut. Berdasarkan pasal tersebut ada dua unsur gratifikasi yaitu berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Kalau bukan mereka seorang guru tentu tidak akan memberi bukan? Kalau bukan wali kelas, apakah masih memberi hadiah? Seterusnya adalah guru tidak seharusnya menerima hadiah karena mengajar adalah kewajiban dari seorang guru. Sama halnya dengan seorang ksir yang tugasnya adalah menghitung belanjaan konsumennya.

Terkadang dan sering kali fakta di lapangan ditemukan, pemberian hadiah ini ada unsur terselubung. Misalnya agar nilai si anak tidak diberi nilai jelek. Ini menjadi sebuah pertentangan besar ketika yang menerima adalah guru yang jujur. Hatinya akan berontak ketika muridnya tidak sesuai dengan keinginan orang tua si anak pemberi hadiah. Integritasnya sebagai seorang guru akan diuji.

Pemberian hadiah tidak salah ketika memang tanpa tujuan tertentu. Misalnya diberikan secara bersama dan pembagiannya adil terhadap guru-guru yang bersangkutan. Bukan ditujukan kepada guru tertentu dan bukan oleh sekelompok tertentu.

Sejatinya, tolok ukur bagi seorang guru pendidik sejati adalah melihat murid-muridnya paham dengan yang diajarkan, menjadi pribadi lebih baik dan membawa kemanfaatan terhadap sekitar. Bukan dari seberapa besar dan banyaknya hadiah yang diterima.

Memang, di dalam agama saling memberi hadiah merupakan sebuah anjuran. Tetapi jika dengan adanya hadiah tersebut membuat ketidakadilan entah apapun itu maka hukumnya bisa menjadi haram. Yang di negara dinamakan dengan gratifikasi dan bisa menjadi akar dari terjadinya korupsi.

Melihat banyaknya penyimpangan di lapangan terhadap pemberian hadiah ini, sudah seharusnya ada penegasan peraturan yang secara tegas membatasi agar praktek-praktek yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Yuk, bijak dalam memberi dan tentunya bijak dalam menerima. Jangan asal biar tidak menyesal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun