Pada dasarnya ada tiga sumber pendanaan atau pendanaan partai, yaitu: iuran anggota, yang umumnya dibayarkan secara berkala oleh anggota partai; kemudian kontribusi kader partai; dan yang terakhir adalah promosi dana oleh pemerintah.Â
Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 dan kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Dukungan Keuangan Kepada Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Sumber Utama Pendanaan Bagi Indonesia Partai Politik dapat berasal dari iuran anggota, sumbangan dan insentif pemerintah.Â
Sumber lain adalah biaya keanggotaan. Sumber pendapatan ini sepenuhnya berasal dari otonomi internal pihak yang bersangkutan, yang digunakan untuk mengontrol jumlah termasuk waktu pemungutannya. Namun, iuran keanggotaan umumnya hanya dikeluarkan untuk anggota partai politik yang menduduki kursi legislatif atau eksekutif melalui: Mekanisme pengurangan pendapatan.Â
Pada saat yang sama, kader partai biasa relatif tidak aktif. Peraturan ini memungkinkan adanya insentif berupa sumbangan dari APBN/APBD berupa uang, jasa, dan/atau barang yang dialokasikan secara merata kepada partai politik yang memperoleh kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yang penghitungannya didasarkan pada jumlah suara.Â
Mengenai pembiayaan Pilkada dan Pilkada itu sendiri, sumber pendanaan Pasal 74 UU Pilkada diperoleh dari 4 sumber, yaitu sumbangan dari partai politik, sumbangan dari pesaing, sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta dengan optimal. membatasi. sebesar Rp750.000.000.
Namun, realitas dinamika keuangan dan pendanaan parpol khususnya dalam hal pendanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah masih jauh dari kata transparan, jujur dan akuntabel. Untuk Surbakti dkk. navy(AL)(2015) mengatakan dalam jurnalnya Map of Cases in Indonesian Political Finance bahwa banyak implikasi yang menyebabkan masalah pembiayaan partai politik.Â
Pertama, fokus parpol yang duduk di kursi legislatif yang seharusnya fokus pada ketertiban umum, bergeser ke fokus mencari kekuasaan, kemudian isu ini mengarah pada tiga sumber pendanaan yang disebutkan sebelumnya, karena yang ada adalah sumber pendanaan. di Indonesia dari para pemimpin partai dan anggotanya yang duduk di sofa di legislatif dan pemimpin daerah, didukung oleh pengusaha yang menginginkan kebijakan khusus yang dapat mendukung kekayaan dan kehendak perusahaan dan menjamin keamanan kader partai dengan pengaruh signifikan, individu, organisasi atau kelompok elit (Surbakti et marinen (AL., 2015).
Bertentangan dengan komentar Surbakti, jabatan dan kontribusi kader sebenarnya tidak dilakukan untuk memutar roda politik partai bagi pemilih yang memilihnya berdasarkan kebijakan publik dan pandangan hidup, melainkan ditujukan untuk menghimpun kekuasaan dalam sistem kartel. . yang menciptakan lingkaran setan korupsi politik antar partai: politisi, politisi dan kader, kroni-kroni bisnis dengan nafsunya, birokrat kotor, lalu kembali ke keuntungan dan hegemoni partai politik. lingkaran setan hanya melayani kepentingan, mengejar keuntungan.
Tak heran jika aturan dan sistem donasi uang partai yang diatur dalam peraturan pemerintah sangat longgar dan tidak terkendali. Apalagi saat pilkada dan pilkada digelar, regulasi keuangan parpol masih belum jelas dan kepastian hukum yang kurang tegas serta penegakan hukum yang sangat lemah. Misalnya, Kejaksaan Agung RI menangani 94 pelanggaran pemilu pada Pilkada 2020, yang tersebar di 26 jaksa agung.Â
Pada 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyusun laporan yang mengkaji insentif keuangan APBN/APBD. Dari 10 laporan pertanggungjawaban parpol nasional, 7 menambahkan laporan pertanggungjawaban yang tidak lengkap atau tidak sah (Surbakti et navy(AL)., 2015).
Isu ini juga disebabkan oleh independensi dan integritas partai yang telah hilang karena ada unsur kepentingan korporasi dan kelompok elit yang juga ingin mendistribusikan dana dan keuntungan, yang merugikan sistem demokrasi ini.Â